MAKASSAR -- Simpati warga Kota Makassar dan sekitarnya terhadap keluarga korban kelaparan di Jl Dg Tata I Blok IV D, terbilang sangat besar.Salah satu korban yang masih hidup, Aco, 4, dan sejak Jumat, 29 Februari lalu dirawat di RS Haji, terus dikunjungi warga dari berbagai penjuru.
Namun rupanya, apresiasi masyarakat tersebut justru berdampak kurang baik bagi Aco. Akibat kunjungan pembesuk tak putus ke kamar perawatan anak No.1 Lantai II RS Haji, anak bungsu mendiang Dg Basse, pun menjadi shock.
Beberapa kali ia terbangun dan menangis saat kamar tempatnya dirawat disesaki warga.
Makanya, sejak Minggu, 2 Maret petang kemarin, Aco diisolasi petugas rumah sakit. Selain keluarga dekatnya, tidak satupun yang boleh masuk ke kamar itu.
Petugas RS Haji bersama pihak kelurahan mulai berjaga di pintu masuk ruang perawatan anak. Pintu tersebut ditutup rapat, dan setiap yang mendekat langsung ditanya tujuannya.
Paling beruntung, warga yang datang sejak petang bisa melihat Aco dari pintu kamar. Itupun jika orang-orang yang berjaga di pintu mengizinkan masuk karena kasihan sejumlah pengunjung datang dari luar Makassar atau berjalan kaki dari rumahnya.
Sebelumnya, saat sore, pihak perawat juga sudah mengatur orang yang masuk ke kamar Aco. Setiap kunjungan hanya boleh dua hingga tiga orang. Itupun waktunya dibatasi. "Dia (Aco, Red) shock kalau terlalu banyak orang.
Makanya panas badanya naik turun," kata Ilham, perawat yang bertugas khusus mengawasi Aco.
Meski suhu badannya terkadang tiba-tiba naik, tapi menurut Ilham, kondisi Aco jauh lebih baik dari hari-hari sebelumnya.
"Sekarang sudah mau makan dan minum meski hanya sedikit. Kalau sebelumnya, memang hanya menangis dan diinfus saja," ungkap Ilham.
Hingga hari ketiga kemarin, Aco yang sempat ditemani bapaknya, Basri yang sudah pulang dari pemakaman istrinya, belum diberikan obat. Dokter masih fokus hanya memberinya infus saja. Meski demikian, dokter tetap intens memeriksa perkembangan kesehatan Aco.
Informasi lain yang dhimpun usai pemeriksaan sekira pukul 07.30 malam tadi oleh dr Besse, kondisi panas badan Aco memang cukup memprihatinkan. "Panasnya yang paling mengkhawatirkan. Tangan tempat pemasangan infusnya juga bengkak," ungkap dr Besse ke perawat yang mendampinginya.
Kembali ke pengunjung. Hingga pukul 22.00 Wita malam tadi, warga yang ingin menjenguk Aco tetap berdatangan. Mereka mengaku prihatin dan iba setelah membaca dan melihat berita soal Aco dan keluarganya. Selain membawa makanan, susu, dan kue-kue, warga juga menyumbang sejumlah uang.
Bahkan hingga sekira pukul 21.00 Wita, total sumbangan untuk Aco sudah mencapai belasan jutaan. Untuk hari Sabtu, sumbangan warga yang dikumpulkan pihak RS Haji mencapai Rp6.250.000. Sedangkan kemarin juga jumlahnya hampir sama. "Sumbangan ini sengaja dikumpul pihak RS agar lebih teratur dan pasti sampai di tangan keluarga korban," kata lurah Parangtambung, Firnandar.
"Sumbangan ini nantinya akan dihitung keseluruhan dan dipotong untuk biaya rumah sakitnya," tukas kata perawat, Ilham.
Kepedulian Legislator
Sesuai janjinya, anggota Komisi IX DPR RI asal Sulsel, Kasmawati Basalamah kemarin menjenguk keluarga Basri, korban kelaparan di Jl Dg Tata I Blok 4 D. Di tempat ini, dia mengelilingi rumah kontrakan milik almarhum Basse.
Setelah mengamati, anggota DPR RI dari Partai Bintang Reformasi ini menyimpulkan bahwa rumah kontrakan milik mendiang Basse, cukup memprihatinkan, kotor dan kumuh. Kondisi itu, kata dia, sangat rentan bagi penghuninya untuk diserang penyakit.
Tidak hanya itu, anggota DPR RI asal daerah pemilihan (DP) Sulsel I ini menyebutkan bahwa kematian ibu yang sedang hamil tujuh bulan tersebut, dan anaknya akibat kelaparan, menjadi salah satu bukti kurangnya perhatian pemerintah terhadap warga miskin.
"Harusnya kan perangkat pemerintah, seperti RT/RW, dan lurah, itu proaktif mengunjungi masyarakatnya memperhatikan apa masalah yang dialami. Jangan dibiarkan mereka menyelesaikan masalah mereka sendiri tanpa perhatian pemerintah. Apalagi, sampai meninggal akibat kelaparan," kritik Kasmawati yang saat berkunjung didampingi petugas Dinkes Kota Makassar, dr Sukma.
Bila petugas pemerintah proaktif turun mengunjungi warganya, lanjut Kasmawati, besar kemungkinan peristiwa memilukan seperti dialami keluarga Basri, dapat dihindarkan. "Saya kira, perangkat pemerintah, warga sekitar rumah korban, walikota dan gubernur, ikut berdosa atas peristiwa yang menimpa Basse dan anaknya. Masa, mereka "dibiarkan" meninggal akibat tidak makan selama tiga hari," ujarnya dengan nada prihatin.
Ke depan, Kasmawati mengusulkan, pemerintah daerah harus menggunakaan kepekaan untuk melihat warganya yang masih berada di bawah garis kemiskinan.
"Ini peristiwa yang luar biasa. Di daerah lumbung padi, ada warga kita yang meninggal akibat kelaparan. Saya sudah mengumpulkan data, dan wawancara sejumlah warga. Dari kunjungan ini akan kami bahas bersama teman-teman di Komisi IX," terangnya.
Selain membahas di tingkat Komisi, Kasmawati mengaku, pihaknya juga akan mengusulkan agar Basir dan anaknya untuk dimasukkan dalam program transmigrasi milik Depnakertrans. Alasannya, fisik Basir masih terlihat kuat untuk bekerja dan mendapatkan penghasilan yang layak.
Lurah Tanda Tangan di RS
Sementara itu, Lurah Parangtambung, Firnandar kepada Fajar malam tadi mengaku sudah berada di RS Haji sejak Jumat lalu. Meski sempat pulang untuk mandi dan berganti pakaian, namun sejak kematian warganya akibat kelaparan, Firnandar terus meronda di RS.
"Saya sudah tiga hari di sini. Saya sengaja tinggal untuk memastikan perkembangan kesehatan warga saya. Kita juga mau menjaganya sebab sebelumnya ada keluarganya yang mau mengambilnya. Namun saya berkeras tidak akan menyerahkannya hingga dia sembuh. Ini tanggung jawab kami," kata Firnandar.
Akibat sibuk di RS, pria lajang tersebut terpaksa harus menandatangani persuratan warganya di RS.
Dipastikan Meninggal Kelaparan
Berita soal meninggalnya Basse dan Bahir akibat kelaparan banyak mendapat bantahan dari kalangan pejabat Kota Makassar. Menurut mereka, Basse dan keluarganya hanya terkena diare. Bahkan hasil diagnosa soal Aco yang menderita gizi buruk pun dibantah.
Namun bantahan itu sepertinya tidak akan mengubah kesimpulan terkini. Sebab menurut Lina, istri Dudding yang tinggal serumah dengannya dan menemani Basse dan anaknya hingga meregang nyawa, mereka memang meninggal karena kelaparan.
"Hari itu saya dengar ia dan anaknya menangis. Saya kemudian naik ke tempatnya. Basse mengaku sudah tiga hari tidak makan. Makanya saat pulang dari mencuci, saya membawakannya beras lima liter. Hari itu saya bahkan sempat memeriksa tempat berasnya. Sama sekali tidak ada isinya," tegas Lina. (syaihan)
Laporan: Amiruddin, Makassar