MAKASSAR - Kasus kematian akibat kelaparan alias tidak makan dalam kurun waktu tertentu, sangat boleh jadi akan terus terjadi di kota ini. Itu jika menilik pada populasi warga miskin yang jumlahnya tergolong cukup besar; 68.477 Kepala Keluarga atau 342.385 jiwa.
Atau setara dengan 22,825 persen persen dari total warga kota yang diperkirakan mencapai 1,5 juta jiwa, berdasarkan penyaluran jatah beras untuk rakyat miskin (Raskin) yang dimiliki Divre Bulog Makassar. Rinciannya, lihat grafis di halaman satu.
Kepala Dinas Sosial Makassar, Ibrahim Saleh yang dikonfirmasi malam tadi, juga membenarkan tingginya jumlah orang miskin di Makassar. Mantan Kadis Sosial Bantaeng ini bahkan mengungkapkan bahwa data yang dimiliki pihaknya lebih besar lagi.
"Data yang dimiliki Dinas Sosial Makassar tentang masyarakat miskin di kota ini adalah 71.424 KK. Ini masih merupakan data 2005 yang selalu kami pedomani sampai sekarang," kata Ibrahim.
Dia mengatakan, ada berbagai penyebab sehingga masyarakat yang masuk kategori miskin selalu membengkak di Makassar. Antara lain, laju urbanisasi yang juga tergolong tinggi. Salah satu di antara pelaku urbanisasi itu adalah keluarga Basri dan mendiang Basse.
"Meninggalnya ibu yang sedang mengandung itu adalah salah satu kasus yang memang terjadi di Makassar. Ini terjadi karena mereka tak pernah melaporkan diri ke RT/RW atau kepada kelurahan setempat. Jadinya, mereka tak terdata," jelasnya.
Untuk mencegah terulangnya kasus yang boleh jadi bukan yang pertama dan terakhir itu, Ibrahim mengaku bahwa sejak Minggu, 2 Maret, Dinas Sosial Makassar telah mengaktifkan posko sistem 24 jam yang siap memberikan bantuan kepada masyarakat miskin yang menderita kelaparan.
"Silakan telepon ke nomor 0411-5275757 atau 0411-448313, kapan pun dalam 24 jam. Kami siap memberikan bantuan. Dengan catatan, yang menjadi korban benar-benar miskin dan tak bisa mencari nafkah," jelasnya.
Ibrahim juga mengimbau seluruh Kepala Kelurahan (lurah) se- Makassar untuk terus mengoptimalkan sistem koordinasinya dengan Dinas Sosial Makassar. "Kecolongan kita, ada yang meninggal kelaparan. Itu juga karena aparat pemerintahan lokal, seperti lurah, tidak mengetahui kalau ada warganya yang sakit," kritiknya..
Menurut dia, bulan ini Dinas Sosial Makassar akan melakukan verifikasi masyarakat miskin. Caranya, masyarakat yang sudah terdata sebagai warga miskin akan dipasangkan identitas di rumahnya berupa pemasangan stiker yang memberikan tanda bahwa masyarakat tersebut masuk kategori miskin.
"Dengan demikian, masyarakat atau pihak pemerintah seperti lurah dan kepala RT/RW bisa melakukan pemantauan terhadap warganya yang masuk kategori miskin tersebut," jelas Ibrahim.
Kantong Warga Miskin
Secara terpisah, Firnandar, Lurah Parangtambung --lokasi tewasnya ibu dan anak yang diakibatkan kelaparan-- mengakui jika daerahnya memang merupakan wilayah yang banyak menampung warga miskin. Juga termasuk daerah pertumbuhan warga miskin dengan laju cukup tinggi.
Di Kelurahan Parangtambung, kata Firnandar, sedikitnya tercatat 1.408 kepala keluarga (KK) yang hidup di bawah garis kemiskinan. Data tersebut, kata dia, terakhir dilansir pada Desember 2007 lalu. Sementara untuk bulan Januari dan Februari, hingga saat ini masih dilakukan pendataan keluarga miskin. Namun diprediksi jika jumlah tersebut tidak akan berubah jauh dari pendataan akhir.
Firnandar melanjutkan, penduduknya yang terdata hingga saat ini berjumlah 31 ribu jiwa. Jumlah itu terbagi di dalam 6.000 kepala keluarga. Pekerjaan masyarakat untuk Kelurahan Parangtambung dari berbagai sektor. Mulai dari pegawai negeri sipil hingga pengayuh becak.
"Yang pasti, kami selalu melakukan pengawasan dan pemantauan ke masyarakat untuk mengantisipasi kejadian serupa di Jl Dg Tata," sebutnya.
Ia mengakui pihaknya memang luput melakukan pemantauan keluarga Basri yang ditimpa musibah kematian tragis tersebut. Penyebabnya, kilah Firnandar, yang bersangkutan selalu berpindah-pindah sehingga sulit untuk dilakukan pendataan.
"Ironisnya, keluarga mereka juga tidak terbuka dengan tetangga lainnya. Itu pula yang menjadi salah satu faktor keterlambatan kami mengantisipasinya," ujarnya.
Firnandar juga mengeluhkan sistem sewa kontrakan di wilayah kerjanya. Menurut dia, salah satu alasan sehingga banyak kaum urban yang memilih tinggal di daerah Parangtambung karena gampangnya mereka mengambil lokasi tempat tinggal. Salah satunya di wilayah Bontoduri yang terkenal dengan sebutan Kampung Tengah.
"Mereka dengan mudah mengambil lokasi tempat tinggal karena dijual murah dan pembayarannya bisa juga diangsur dengan odal yang kecil," ungkapnya.
Respons Aktivis Perempuan
Kelaparan yang menyebabkan kematian Dg Basse, 35, dan anaknya Bahir, 5, Jumat lalu, terus memantik respons keprihatinan dari sejumlah kalangan aktivis perempuan. Sosiolog Dwia Aries Tina, misalnya, melihat fenomena itu sebagai bukti makin memudarnya hubungan sosial yang terjadi di masyarakat (social capital).
Yang memprihatinkan, papar Dwia, kejadian tersebut tidak saja muncul pada masyarakat perkotaan, namun di masyarakat miskin yang terkenal semangat tolong-menolongnya, juga ikut memudar.
"Padahal keunggulan orang miskin dibanding orang mampu adalah semangat kebersamaan mereka," katanya kepada Fajar, kemarin.
Dwia yang juga Pembantu Rektor IV Unhas ini pun mempertanyakan kinerja program penanggulangan kemiskinan pemerintah yang dalam penilaiannya sekadar lips service saja. Termasuk lembaga-lembaga lokal seperti lembaga pemberdayaan yang terkesan mandul.
Patut disayangkan, kata dia, mengapa pemerintah tingkat bawah seperti lurah atau pun camat bisa luput menangani kasus ini. "Kenapa sampai bisa kecolongan? Mana peran masyarakat sekitar atau tetangganya?" Gugat Dwia.
Dari sisi kesehatan, lanjut Dwia, kasus tersebut membuktikan bahwa derajat kesehatan ibu hamil di Sulsel masih tergolong lemah. Ini juga sebagai indikasi bahwa risiko kematian bagi ibu hamil dan bayi di Sulsel tergolong tinggi.
"Kasus kelaparan tersebut merupakan tanggung jawab semua pihak. Tidak bisa hanya mengandalkan pemerintah. Ini tanggung jawab semua elemen masyarakat mulai tingkat RW hingga pusat," tegasnya.
Agar kejadian sama tidak terulang, Dwia menawarkan solusi perlunya penguatan kinerja. "Khususnya accessible kelompok-kelompok masyarakat atau kelompok lokal sebagai saluran informasi terdekat," ujarnya.
Berbeda dengan Dwia, Presidium Koalisi Perempuan Indonesia (KPI), Husaemah Husain justru menuding pemerintah yang paling bertanggung jawab dibalik kasus tersebut. "Ini adalah fakta bahwa hubungan sosial pemerintah dan masyarakat makin melemah," tukasnya dengan nada tinggi.
Husaemah malah mencurigai masih banyak kasus serupa atau yang lebih parah di kantong-kantong kemiskinan lainnya yang belum terdeteksi. Baginya, tingkat kepedulian pemerintah patut dipertanyakan, apalagi ternyata pemerintah tidak sanggup mengakomodir hak dasar warganya.
"Kebutuhan dasar melalui raskin ternyata tidak sepenuhnya berjalan. Belum lagi pengobatan gratis yang prosesnya berbelit-belit," katanya.
Jika kasus ini tidak disikapi secara cepat, ucap dia, kepercayaan masyarakat terhadap pemerintah bakal runtuh. "Pemerintah harus punya metode tepat, karena pemerintah jelmaan regulasi pelaksana kebijakan," tegasnya.
Hal senada diungkap Guru Besar Antropolog Unhas, Prof Dr Nurul Ilmi Idrus. Dalam konteks kemiskinan, kata Ilmi, pemerintah hendaknya tidak berpatokan pada angka-angka semata. Data-data kualitatif tentang kemiskinan menjadi hal yang sama pentingnya, agar pemerintah memahami keadaan masyarakat yang sesungguhnya.
"Pemerintah jangan bertindak seperti pemadam kebakaran, ada kasus baru bertindak," sindirnya. Sebab boleh jadi, tambah wanita berkacamata ini, masih banyak Basse-Basse lain di kota Makassar yang belum atau tidak muncul ke permukaan. "Ini teguran keras bagi Pemkot Makassar agar bertindak lebih proaktif," tukasnya. (sul-m04-m02)
Laporan: Amiruddin dan Sultan Rakib, Makassar