-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

19 March 2008

Pendidikan: Anak dari Keluarga Miskin Semakin Terpinggirkan

Kompas, Jakarta, Rabu, 19 Maret 2008 - Anak dari keluarga miskin semakin terpinggirkan dalam dunia pendidikan akibat kondisi perekonomian yang terus mengimpit kalangan lemah. Pemerintah dinilai tak sensitif dalam mengantisipasi kenaikan harga berbagai bahan pokok, tarif listrik, hingga pencabutan subsidi minyak tanah.
Kompas/Agus Susanto / Kompas Images
Rigal dan Nono beristirahat setelah mengumpulkan beras di Pasar Induk Beras Cipinang, Jakarta Timur, Selasa (18/3). Kedua anak ini sehari-harinya memulung beras yang tercecer dari karung yang digancu oleh para kuli panggul saat beras karungan itu akan diangkut atau diturunkan dari truk menuju ke toko atau pembeli.

”Gejala anak putus sekolah mulai marak itu sudah sejak tahun 2006 ketika harga BBM (bahan bakar minyak) naik. Itulah bisulnya, yang sekarang ini mulai meledak,” kata Lies Sugeng, Wakil Ketua Perhimpunan Orangtua Murid Indonesia, Selasa (18/3).

Lies mengatakan, kenaikan harga berbagai bahan pokok, diikuti tarif listrik dan minyak tanah, pada akhirnya memicu krisis di bidang lain. Bidang yang paling krusial terkena dampaknya adalah pendidikan dan kesehatan.

”Meski sekolah di negeri gratis, bagaimanapun anak tetap butuh biaya untuk ongkos, alat tulis, dan buku. Sementara bagi keluarga yang penghasilannya sehari Rp 10.000-Rp 15.000 akan lebih mementingkan untuk makan sekeluarga daripada sekolah. Jadi tidak heran fenomena putus sekolah pasti meledak seiring krisis harga bahan pokok dan minyak tanah,” kata Lies.

Kepala Dinas Pendidikan Dasar DKI Jakarta Sylviana Murni mengatakan, di wilayah Jakarta saja terdapat 2.254 sekolah dasar negeri. Namun, SD sebanyak itu tidak diimbangi dengan jumlah sekolah menengah pertama negeri (SMPN) yang setara, yang jumlahnya hanya 288 SMPN.

”Jadi yang tidak tertampung di SMP negeri mau tak mau mencari yang swasta,” kata Sylviana.

Lies menambahkan, sering kali anak-anak dari keluarga miskin terpaksa mencari sekolah swasta karena tidak bisa tertampung di sekolah negeri. Dengan demikian, anak dari keluarga miskin itu terpaksa keluar biaya lebih besar karena sekolahnya tidak gratis.

”Banyak sekolah swasta yang dipenuhi anak-anak dari keluarga miskin. Swasta itu tidak mesti elite,” kata Lies.

Reni Edi Nuryanto (48), tukang perahu di Sungai Cisadane, Tangerang, misalnya. Ayah dari empat anak ini tak lagi sanggup membiayai sekolah anak-anaknya, yaitu Ryanto (18), Rio (16), Rica (14), dan Richard (5). Reni mengenakan tarif Rp 1.000 per penumpang untuk menyeberang.

”Penghasilan saya tak tentu, Rp 4.000 hingga Rp 8.000. Bisa beli beras seliter Rp 5.000. Kalau lebih, bisa beli lauk,” ujarnya saat ditemui di rumahnya, Selasa.

Reni mengaku, dengan penghasilan sejumlah itu, dia lebih mementingkan urusan perut dibandingkan pendidikan anak- anaknya. (SF/*)