Opini/Surat Pembaca
Pungutan liar terhadap tenaga kerja Indonesia yang bekerja di luar negeri tidak hanya terjadi di Kedutaan Besar Indonesia di Kuala Lumpur, tapi di Jakarta. Dimulai dari surat Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Nomor 211 A/Men/2003 kepada PT Anugerah Karya Utama Persada untuk membangun, mengelola, dan mengoperasikan sistem komputerisasi TKI ke luar negeri.
Dalam kegiatan operasional, PT Anugrah melakukan pemungutan lima kali kepada seorang calon TKI yang sama, yakni saat dilakukan pemeriksaan kesehatan, saat mengikuti pendidikan Balai Latihan Kerja, saat melakukan uji kompetensi, saat mengikuti pembekalan akhir pemberangkatan (PAP), dan saat melakukan pembayaran asuransi sebelum proses pemberangkatan.
Bila dihitung jumlah nominalnya sejak 6 September 2004 sampai hari ini, diperkirakan ada 50 ribu orang x Rp 28 ribu x 41 bulan = Rp 57,4 miliar. Semua jumlah tersebut tidak masuk kas negara dan terindikasi dibagi-bagi dengan pihak penentu kebijakan. Tindakan tersebut tidak
hanya menunjukkan lemahnya kebijakan pemerintah, tapi merupakan indikasi konspirasi korupsi dari oknum pejabat tertentu yang sudah saatnya diusut secara tuntas. Sebab, pungutan ini bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri Pasal 69 ayat 3, yang menyatakan bahwa PAP menjadi
tanggung jawab pemerintah.
Dari audit diketahui bahwa ada biaya yang tersedia dalam anggaran pendapatan dan belanja negara untuk membangun sistem penempatan yang jumlahnya sekian miliar. Selain itu, sebenarnya pemerintah tidak sulit membiayai pembangunan dan operasionalisasi, karena ada kontribusi dana triliunan rupiah yang diterima dari PJTKI/PPTKIS dan TKI oleh pemerintah melalui dua pos penerimaan. Pertama, melalui pos penerimaan devisa, dan kedua, penerimaan melalui dana pembinaan US$ 15, yang sudah berjalan 25 tahun.
Sampai surat ini dikirimkan, badan pemerintah yang dibentuk khusus untuk penempatan TKI ke luar negeri yang diharapkan bisa meminimalisasi praktek-praktek korupsi seperti ini malah terkesan menyamarkan dan memanfaatkan sistem ini dengan praktek lain, termasuk pemeriksaan kesehatan. Suatu pertanyaan mendasar, apakah dibolehkan institusi swasta, dengan bersembunyi di balik atribut pemerintah, melakukan pungutan kepada publik? Atas nama pemberantasan korupsi di negeri ini, kami mohon Komisi Pemberantasan Korupsi atau Kejaksaan Agung menindaklanjuti hasil audit Badan Pemeriksa Kesehatan tentang pungutan kepada TKI yang melanggar hukum ini sampai tuntas.
Abdul Choliq
Desa Gempoldenok RT 04 RW 01
Kecamatan Dempeet, Kabupaten Demak