-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

17 March 2008

Reformasi Kehilangan Makna, Rakyat Kian Menderita

Radio Nederland Wereldomroep, 17-03-2008

Gizi buruk masih melilit kehidupan rakyat Indonesia. Berita mengejutkan di Sulawesi Selatan misalnya, seorang ibu yang sedang hamil dengan anaknya meninggal dunia akibat kekurangan gizi, di kawasan yang merupakan lumbung padi di Indonesia Timur. Dewasa ini mereka tak mampu lagi membeli sembako, yang merupakan kebutuhan elementer rakyat. Jumlah angka kemiskinan terus meningkat. Apakah reformasi sudah benar-benar kehilangan maknanya? Berikut penjelasan Lala Kolopaking, pakar kemiskinan IPB.

DOEL1_armoede.jpg


Lala Kolopaking [ LK ]: Saya pikir kembali ke kondisi ekonomi dan budaya Indonesia. Pertama kita mengenal dualistik ekonomi di mana satu sisi kalau saya mau mengkutubkan, ada golongan yang memang sangat merasakan sulitnya kehidupan sekarang ini, karena semua biaya hidup meningkat sementara daya beli tidak ada perubahan bahkan menurun.

Kemiskinan meningkat
Sementara pihak lain segolongan kecil itu, dengan kondisi seperti sekarang dapat mengambil manfaat dan boleh jadi dia mempunyai keuntungan-keuntungan dalam kondisi masyarakat yang seperti ini, gitu. Tapi kalau ditanya apakah secara agregatif kita sedang terlanda kemiskinan: Ya, saya jawab ya begitu, pak ya. Dengan indikasi-indikasi yang bapak katakan.

Sejauh mana atau sebesar apa proporsi kemiskinan itu, dugaan saya, ini dugaan ya dari parameter yang kita gunakan di beberapa desa itu cenderung meningkat. Ada kecenderungan meningkat jumlah orang miskin. Dan kesulitan semakin sulit, gitu. Jadi kalau ditanya apakah benar kita mengalami kemiskinan, ya saya pikir ya. Dan terutama yang mendapatkan dera kemiskinan itu adalah golongan yang memang sebelumnya pada golongan yang rentan untuk menghadapi kemiskinan.

Makna reformasi tak jelas
Radio Nederland Wereldomroep [ RNW ]: Di dalam gerak reformasi yang pernah digelindingkan itu, termasuk juga mengangkat kemiskinan rakyat itu menjadi lebih baik keadaan hidupnya itu. Ini menunjukkan bahwa memang makna dari reformasi itu sendiri sudah tidak jelas lagi, hanya semboyan-semboyan belaka. Tapi dalam pelaksanaannya tidak. Nyatanya rakyat semakin memburuk?

LK: Saya pikir persoalannya adalah ada satu masalah dalam menggerakkan reformasi. Jadi kesalahannya adalah menyiapkan infrastruktur management. Management dalam arti kata bukan perusahaan. Management pengelolaan bagaimana melakukan upaya meningkatkan kesejahteraan rakyat. Ada mekanisme yang mungkin ada lack, kesenjangan.

Pertama, satu bagus. Jiwa to reformnya kan, adalah bagaimana mendekatkan kebijakan yang dulunya tersentralisir dan boleh dimanfaatkan oleh orang-orang di pusat, untuk kepentingan pribadi atau kepentingan golongan. Itu disilangkan dengan mendekatkan kebijakan ke sedekat mungkin kepada masyarakat dengan desentralisasi. Dengan istilah politiknya otonomi daerah.

Yang jadi persoalannya itu adalah desentralisasi itu di dua tempat, yaitu di kabupaten dan desa. Kekeliruan mulai timbul di situ. Ternyata jiwa tentang mendekatkan kebijakan dari pusat itu ke daerah ternyata tidak berjalan. Yang ada adalah mekanisme pembangunan pusat pindah ke kabupaten desa gitu, di mana semua media pengawasan tidak berjalan, masyarakat belum terbiasa. Kalau menurut saya belum terbiasa dalam proses pembelajaran, mengawasi dengan benar pelaksanaan yang diberikan ya, kabupaten dan desa.

Tapi persoalannya saya melihat belum ada mekanisme yang jelas, bagaimana pusat yang sudah membagi habis pengalokasian anggaran. Kalau saya katakan pengalokasian bagian habis, jadi ada dana yang diberikan secara desentralisasi kan begitu pak ya, ke daerah. Kemudian dia juga punya dana dekonsentrasi yang terbatas untuk memberikan input-input kepada daerah, itu ada mekanisme yang tidak berjalan. Sehingga rancangan penanggulangan kemiskinan yang desentralisasi itu kedodoran.