Tragedi Kemiskinan

Ali Khomsan
Dua ibu dan anak di Sulawesi Selatan meninggal karena diare akut. Sehari-harinya mereka hanya makan bubur tawar dan dapat diperkirakan korban juga menderita kelaparan atau kurang gizi.
Kita tersentak menyaksikan tragedi kemiskinan yang menimpa sebagian anak bangsa, sehingga akses mereka terhadap pangan dan kesehatan tertutup. Ironisnya, dalam kehidupan bermasyarakat yang katanya masih mengandalkan kegotong-royongan, silih asah-asih-dan asuh, ternyata kejadian tragis ini seperti tak terelakkan.
Ini wujud pengabaian rakyat terhadap penderitaan sesama, wujud melunturnya nilai-nilai sosial dan kekerabatan. Kalau kita menjadi masyarakat yang hirau maka kita tidak akan membutakan mata, hati, dan menulikan telinga terhadap anggota masyarakat yang kekurangan dan membutuhkan pertolongan.
Hidup bertetangga mensyaratkan agar mereka yang membaui masakan kita juga mendapat bagian dari makanan yang kita masak. Jangan sampai ada tetangga sakit dan tidak mampu berobat, sementara kita tidur nyenyak dan kekenyangan.
Tidak diragukan lagi bahwa korban yang meninggal akibat infeksi diare akut adalah potret kemiskinan bangsa ini. Kemiskinan secara konvensional diartikan sebagai kondisi terbatasnya daya beli, sehingga akses terhadap pangan dan kesehatan menjadi sangat terbatas. Infeksi dan kurang gizi terkait secara sinergistis. Artinya, penderita infeksi akan mudah menderita kurang gizi. Sebaliknya orang kurang gizi akan mudah terserang infeksi (diare).
Ketidakmampuan suatu negara dalam menyediakan pangan yang cukup bagi warganya bisa jadi merupakan bentuk pengabaian HAM. Sebagai kebutuhan manusia yang paling pokok, maka makanan menduduki peringkat pertama dalam teori kebutuhan Maslow. Kebutuhan akan pangan ini diterjemahkan sebagai kebutuhan fisiologis. Bila kebutuhan dasar ini tidak terpenuhi, terjadilah kelaparan, kurang gizi, dan gangguan infeksi yang bermuara pada kematian.
Akses pangan di tingkat rumah tangga dapat terganggu karena daya beli rendah. Penyebab lainnya adalah terganggunya produksi akibat bencana alam, gagal panen, dan sebagainya.
Keterbatasan Berinteraksi
Kemiskinan tidak hanya menyangkut persoalan daya beli, tetapi juga merujuk pada keterbatasan untuk berinteraksi secara sosial dengan lingkungannya. Rasa malu yang muncul karena kemiskinan menyebabkan orang-orang miskin semakin menarik diri dari pergaulan dengan masyarakat sekitar. Dia tidak mampu menyumbang bila ada tetangga hajatan, dia tidak ikut arisan di tingkat RT, dan dia tidak mengikuti kegiatan-kegiatan sosial kemasyarakatan lainnya. Rasa rendah diri yang menghinggapi orang miskin mengakibatkan dirinya semakin tersisih dan keberadaannya semakin tidak disadari oleh tetangganya.
Apabila orang miskin menderita sakit dia tidak mampu berobat. Meski tarif puskesmas relatif murah, namun biaya transpor menuju puskesmas seringkali tidak terbayar akibat tekanan ekonomi yang berat. Lingkungan rumah yang buruk menyebabkan penyakit yang diderita orang miskin semakin bertambah parah.
Institusi kesehatan dan sosial seharusnya merasa kecolongan dengan kejadian tragis matinya dua orang, ibu-anak, secara bersamaan akibat diare. Pengabaian terhadap kelompok masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi adalah contoh bagaimana negara ini tidak melaksanakan amanat untuk memelihara fakir miskin sebagaimana dinyatakan dalam UUD.
Kita harus bersyukur bahwa negara Indonesia terletak di wilayah tropis. Matahari yang selalu bersinar, menyuburkan tanah, dan menumbuhkan berbagai tanaman pangan melalui aktivitas fotosintesis. Saya yakin bila negara kita memiliki empat musim (subtropis), maka banyak rakyat miskin yang meninggal karena sakit, kedinginan, dan mengalami kelangkaan pangan karena produktivitas lahan rendah.
Kekayaan alam negeri ini ternyata belum mampu menyejahterakan kehidupan penduduknya. Sebagian rakyat masih harus bergelut untuk mendapatkan pangan sesuai kebutuhan gizi tubuhnya. Persoalan bertambah rumit karena produksi pangan penting masih terbatas dan impor akhirnya menjadi andalan. Ketika harga pangan di tingkat dunia merambat naik bangsa ini semakin kalang-kabut dan tidak mampu menyediakan pangan murah bagi rakyat.
Rakyat (miskin) dituntut kesabarannya untuk menghadapi kondisi rawan pangan dan kesehatan akibat tekanan ekonomi dan bencana alam yang datang silih berganti. Pembangunan akan lancar bila perut rakyat kenyang dan tubuh sehat. Oleh karena itu, kemandirian pangan dan pembangunan bidang kesehatan harus benar-benar menjadi fokus perhatian pemerintah.
Kemiskinan merupakan resultant proses ekonomi, politik, dan sosial yang saling berinteraksi, yang kemudian mendorong terjadinya deprivation pemenuhan kebutuhan orang miskin. Kelangkaan lapangan kerja akan mengunci masyarakat dalam kemiskinan material. Oleh sebab itu, menyediakan kesempatan kerja melalui pertumbuhan ekonomi makro dan mikro akan menjadi salah satu exit strategy mengatasi kemiskinan.
Pada dasarnya masyarakat di manapun di dunia ini sangat takut menghadapi kemiskinan. Kemiskinan adalah sesuatu yang dibenci, tetapi sulit untuk diatasi.
Ada dua jenis kemiskinan. Pertama, kemiskinan absolut, yaitu apabila seseorang atau sekelompok masyarakat hidup di bawah nilai batas kemiskinan tertentu. Kedua, kemiskinan relatif. Kemiskinan jenis ini hanya membandingkan posisi kesejahteraan seseorang atau sekelompok masyarakat dengan masyarakat lain di lingkungannya. Misalnya, pegawai negeri secara relatif lebih makmur kehidupannya daripada petani.
Kemiskinan kini merupakan bagian tragedi yang dialami oleh 37 juta penduduk Indonesia. Pemerintah sudah sejak lama mengupayakan eradikasinya. Namun, kenyataannya problem kemiskinan masih merupakan hantu yang terus membayangi kehidupan kita.
Apakah pemerintah telah gagal dalam program pengentasan kemiskinan? Bagaimana dampak raskin, askeskin, sekolah gratis, dan kompor gas gratis yang selama ini dimaksudkan untuk memperbaiki kesejahteraan rakyat miskin?
Mereka yang mengalami kemiskinan kultural mungkin sudah pasrah dan menerima keadaan apa adanya. Kemiskinan kultural dapat memunculkan pengemis, suka meminta karena sudah putus asa. Program pengentasan kemiskinan disambut dengan suka cita karena berarti ada bantuan bagi mereka.
Penulis adalah Guru Besar IPB
Last modified: 14/3/08
