2.239 Bayi di Surabaya Menderita Gizi Buruk
Jum'at, 14 Maret 2008 | 15:18 WIB
Jum'at, 14 Maret 2008 | 15:18 WIB
TEMPO Interaktif, Surabaya:Anak penderita gizi buruk di Surabaya, Jawa Timur, masih sangat tinggi. Bahkan, data Dinas Kesehatan setempat menyebutkan selama tahun 2007, dari total 11.401 bayi yang diperiksa, terdapat 10.071 bayi yang mengalami kekurangan energi protein (KEP).
"Dari jumlah itu, gizi buruk memang masih tinggi atau mencapai 2.239 bayi, sedangkan sisanya 7.832 bayi belum sampai tahap gizi buruk," tutur Kepala Sub Bidang Kesehatan Dinkes Surabaya, Sri Setyani, di hadapan anggota Komisi D DPRD setempat, Jumat (14/3).
Sri mengakui tingginya penderita marasmus kwashiorkor ini disebabkan kurang maksimalnya tugas puskesmas dan posyandu dalam mengawal gizi anak. Apalagi, para orang tua biasanya hanya membawa anaknya ke Posyandu hingga usia 1 tahun. Padahal di usia lebih dari 1 tahun anak rawan terkena gizi buruk, karena asupan ASI dari orang tuanya sudah berkurang.
"Biasanya keluarga miskin tidak memiliki kemampuan untuk memberikan asupan gizi yang cukup. Padahal produksi ASI ibunya tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi bayi usia lebih 1 tahun," tambahnya.
Di tempat yang sama, Dr Didik dari RSUD Dr Soewandi Surabaya mengatakan hingga saat ini penderita gizi buruk memang masih cukup tinggi. Di rumah sakit milik pemerintah Kota Surabaya ini misalnya, selama kurun dua minggu sejak awal Maret hingga saat ini telah menangani 12 anak dengan gizi buruk. "Padahal pasien gizi buruk bulan Februari lalu hanya 9 anak," kata Didik.
Menanggapi tingginya penderita gizi buruk, Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Ahmad Jabir, meminta Dinas Kesehatan memaksimalkan kinerja 53 puskesmas dan 2.766 posyandu yang ada di Surabaya. "Dana sudah ada, saya kira tinggal memaksimalkan kinerja puskesmas dan posyandu," kata dia.
Meski anggaran untuk itu sudah ada, menurut Sri Seyani, keterbatasan jumlah petugas yang ada di puskesmas membuat program ini sangat sulit dijalankan. "Dana Rp 8 miliar memang sudah disiapkan, tapi personel kita di puskesmas terbatas, kader-kader di posyandu juga sangat minim," tambahnya.
Rohman Taufiq
"Dari jumlah itu, gizi buruk memang masih tinggi atau mencapai 2.239 bayi, sedangkan sisanya 7.832 bayi belum sampai tahap gizi buruk," tutur Kepala Sub Bidang Kesehatan Dinkes Surabaya, Sri Setyani, di hadapan anggota Komisi D DPRD setempat, Jumat (14/3).
Sri mengakui tingginya penderita marasmus kwashiorkor ini disebabkan kurang maksimalnya tugas puskesmas dan posyandu dalam mengawal gizi anak. Apalagi, para orang tua biasanya hanya membawa anaknya ke Posyandu hingga usia 1 tahun. Padahal di usia lebih dari 1 tahun anak rawan terkena gizi buruk, karena asupan ASI dari orang tuanya sudah berkurang.
"Biasanya keluarga miskin tidak memiliki kemampuan untuk memberikan asupan gizi yang cukup. Padahal produksi ASI ibunya tidak lagi mencukupi kebutuhan gizi bayi usia lebih 1 tahun," tambahnya.
Di tempat yang sama, Dr Didik dari RSUD Dr Soewandi Surabaya mengatakan hingga saat ini penderita gizi buruk memang masih cukup tinggi. Di rumah sakit milik pemerintah Kota Surabaya ini misalnya, selama kurun dua minggu sejak awal Maret hingga saat ini telah menangani 12 anak dengan gizi buruk. "Padahal pasien gizi buruk bulan Februari lalu hanya 9 anak," kata Didik.
Menanggapi tingginya penderita gizi buruk, Ketua Komisi D DPRD Surabaya, Ahmad Jabir, meminta Dinas Kesehatan memaksimalkan kinerja 53 puskesmas dan 2.766 posyandu yang ada di Surabaya. "Dana sudah ada, saya kira tinggal memaksimalkan kinerja puskesmas dan posyandu," kata dia.
Meski anggaran untuk itu sudah ada, menurut Sri Seyani, keterbatasan jumlah petugas yang ada di puskesmas membuat program ini sangat sulit dijalankan. "Dana Rp 8 miliar memang sudah disiapkan, tapi personel kita di puskesmas terbatas, kader-kader di posyandu juga sangat minim," tambahnya.
Rohman Taufiq
You rock. That's why Blockbuster's offering you one month of Blockbuster Total Access, No Cost.