Senin, 21 April 2008 - 07:31 wib
Syukri Rahmatullah - Okezone
JAKARTA - Bertepatan dengan peringatan hari Kartini, pembantu rumah tangga di luar negeri melalui LSM Migran Care mengajukan tiga tuntutan, salah satunya menuntut poligami dihapuskan.
"Poligami adalah realitas yang senantiasa mengancam perempuan Indonesia yang bekerja di luar negeri," kata Direktur Eksekutif Anis Hidayah dalam rilisnya yang diterima okezone di Jakarta, Senin (21/4/2008)
Menurutnya, Keberangkatan PRT Migran wanita ke luar negeri sebagai tulang punggung ekonomi keluarga tidak serta merta mendapat pengakuan dari keluarga maupun masyarakat. "Kondisi ini justru mendorong para laki-laki/suami melakukan poligami ketika istrinya tengah bekerja di luar negeri," jelasnya.
Selain penghapusan poligami, dalam surat-surat Kartini paling tidak menyangkut 8 hal, antara lain pendidikan untuk perempuan dan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.
"Pendidikan untuk perempuan, mayoritas PRT Migrant Indonesia yang bekerja di luar negeri dilatarbelakangi dengan pendidikan yang relatif rendah," kata Anis
Di antara mereka tidak sekolah, lanjutnya, tidak lulus SD, lulus SD, lulus SMP dan sebagian kecil lulus SMA. Dan faktanya 43 % adalah lulusan SD. "Hal ini terjadi karena pendidikan di kalangan masyarakat bawah masih mahal untuk diakses perempuan," jelasnya.
Sedangkan mengenai dalam konteks hak atas upah, PRT Migran Indonesia hingga saat ini bisa dikatakan belum mendapatkan haknya. "Upah yang diterima PRT Migran Indonesia tidak hanya mengalami disparitas (perbedaan) penerimaan upah dengan laki-laki, tetapi juga dengan PRT Migran dari negara lain," paparnya.
Dia mencontohkan di Malaysia, upah PRT Migran Indonesia kisaran RM 400-500, sementara PRT Migran Philipinna mencapai RM 700 - 1200. Di Saudi Arabia, PRT Migran Indonesia hanya memperoleh upah 600 Real dengan jam kerja yang relatif tidak terbatas dan hal ini telah terjadi puluhan tahun. Sementara di Hongkong, PRT Migran Indonesia banyak yang menerima upah di bawah standar karena tingginya recruitment fee. (uky)
"Poligami adalah realitas yang senantiasa mengancam perempuan Indonesia yang bekerja di luar negeri," kata Direktur Eksekutif Anis Hidayah dalam rilisnya yang diterima okezone di Jakarta, Senin (21/4/2008)
Menurutnya, Keberangkatan PRT Migran wanita ke luar negeri sebagai tulang punggung ekonomi keluarga tidak serta merta mendapat pengakuan dari keluarga maupun masyarakat. "Kondisi ini justru mendorong para laki-laki/suami melakukan poligami ketika istrinya tengah bekerja di luar negeri," jelasnya.
Selain penghapusan poligami, dalam surat-surat Kartini paling tidak menyangkut 8 hal, antara lain pendidikan untuk perempuan dan upah yang sama untuk pekerjaan yang sama.
"Pendidikan untuk perempuan, mayoritas PRT Migrant Indonesia yang bekerja di luar negeri dilatarbelakangi dengan pendidikan yang relatif rendah," kata Anis
Di antara mereka tidak sekolah, lanjutnya, tidak lulus SD, lulus SD, lulus SMP dan sebagian kecil lulus SMA. Dan faktanya 43 % adalah lulusan SD. "Hal ini terjadi karena pendidikan di kalangan masyarakat bawah masih mahal untuk diakses perempuan," jelasnya.
Sedangkan mengenai dalam konteks hak atas upah, PRT Migran Indonesia hingga saat ini bisa dikatakan belum mendapatkan haknya. "Upah yang diterima PRT Migran Indonesia tidak hanya mengalami disparitas (perbedaan) penerimaan upah dengan laki-laki, tetapi juga dengan PRT Migran dari negara lain," paparnya.
Dia mencontohkan di Malaysia, upah PRT Migran Indonesia kisaran RM 400-500, sementara PRT Migran Philipinna mencapai RM 700 - 1200. Di Saudi Arabia, PRT Migran Indonesia hanya memperoleh upah 600 Real dengan jam kerja yang relatif tidak terbatas dan hal ini telah terjadi puluhan tahun. Sementara di Hongkong, PRT Migran Indonesia banyak yang menerima upah di bawah standar karena tingginya recruitment fee. (uky)
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.