Jumat, 18 April 2008 | 02:31 WIB
Oleh : Khairina dan Iwan Santosa
"Kami bosan hidup miskin." Itu kira-kira ungkapan perasaan puluhan gadis China Benteng yang tinggal di Kampung Belakang, Kelurahan Kamal, Jakarta Barat. Mereka sudah bosan kekurangan uang. Mereka juga tak mau lagi berimpitan di dalam rumah setengah gubuk dan bertetangga dengan tumpukan sampah. Gadis-gadis itu memilih jalan pintas menjadi kaya: menjadi istri laki-laki Taiwan.
Tiga tahun terakhir, menurut Ina (bukan nama sebenarnya), seorang mak comblang lokal, perkawinan antara gadis China Benteng dan pria Taiwan semakin marak. Ina saja dalam tiga tahun sudah mencomblangi 10 pasangan dan semuanya kini tinggal di Taiwan.
"Sekarang mereka malas mencari pemuda sekitar sini. Soalnya pemuda di sini kehidupannya sama saja. Mereka tidak mau lagi hidup miskin," ujar Ina.
Kehidupan masyarakat China Benteng memang memprihatinkan. Rumah semipermanen berimpitan di lahan bekas persawahan yang kini dikepung pabrik, pengolahan limbah dan tumpukan plastik, kertas bekas, dan berbagai logam yang akan didaur ulang. Jalan di depan rumah mereka hanya cukup dilewati satu motor. Jika ada motor yang akan lewat, motor lainnya harus menepi.
Berbeda dengan warga keturunan China pada umumnya, masyarakat China Benteng bekerja serabutan. Mereka umumnya bekerja sebagai petani, buruh pabrik, tukang ojek, sopir bajaj, atau pekerja bangunan.
China Benteng berkulit sawo matang dengan mata yang tidak terlalu sipit. Mereka tidak bisa berbahasa China, baik Hokkian maupun Mandarin. Sehari-hari mereka menggunakan bahasa Indonesia dengan dialek Betawi dan hidup bersama dengan komunitas asli Betawi yang juga hidup berdempetan dalam lingkungan kumuh itu.
Komunitas China Benteng adalah keturunan kesekian dari China Hokkian yang datang ke Tangerang ratusan tahun lalu. Mereka tidak lagi mengenal asal- usulnya atau nenek moyangnya. Mereka sejatinya adalah bangsa Indonesia. Namun, dalam berbagai hal, mereka dipersulit. Banyak warga China Benteng yang tidak memiliki kartu tanda penduduk (KTP) atau akta lahir yang sah.
"Sulit mengurus KTP atau akta kelahiran di sini. Alasannya macam-macam," ujar seorang warga.
Terjepit secara ekonomi dan sosial membuat gadis-gadis China Benteng tak berdaya. Untuk melepaskan diri dari jeratan kemiskinan, mereka memilih menikah dengan laki-laki Taiwan yang baru dikenalnya. Kendati tak ada cinta, mereka berharap kepergian mereka ke Taiwan akan mengubur rapat kisah kelam masa lalu.
Menurut peneliti Taiwan Li Ju Chen, perempuan Indonesia menempati urutan ketiga wanita asing yang dinikahi pria Taiwan. Sedikitnya terdapat 26.000 perempuan Indonesia yang bermukim di Taiwan. Tren pernikahan itu bermula pada awal dekade 1980-an. Namun, kendala sosial dan budaya kerap menghadang proses pembauran warga Indonesia dan Taiwan.
Perjaka tua
Kebanyakan pria Taiwan yang datang ke Indonesia adalah pria- pria "setengah tua" berusia 30-50 tahun, tetapi masih sendiri. Mereka kesulitan mencari jodoh di Taiwan karena mahalnya biaya yang harus dibayarkan seorang calon mempelai pria kepada keluarga wanita. Mahar dihitung dari biaya yang dikeluarkan orangtua pihak wanita sejak anak perempuan itu lahir.
Di Taiwan, biaya untuk mahar saja bisa menghabiskan lebih dari Rp 100 juta. Sementara dengan menikahi gadis China Benteng, hanya dengan biaya sekitar Rp 30 juta sudah dapat menyelenggarakan pesta pernikahan sederhana.
Para lelaki Taiwan itu datang ke Indonesia lewat perantara sebuah biro jodoh di Taiwan. Biro jodoh itu lalu menghubungi mak comblang di kawasan Kota untuk mengatur perjodohan. Mak comblang di Kota inilah yang lalu menghubungi mak comblang lokal macam Ina, yang lalu mencarikan gadis yang bersedia dinikahi.
Biasanya Ina mengumpulkan beberapa gadis. Mereka lalu diajak menemui sang lelaki di sebuah hotel di kawasan Mangga Besar. Lelaki itu lalu memilih perempuan yang cocok dengan hatinya. Apabila kedua belah pihak cocok, pertemuan dilanjutkan dengan Jie Sao (perkenalan).
Jie Sao dilanjutkan dengan acara Sangjitan atau pemberian seserahan dari pihak pria kepada wanita. Biasanya orangtua sang gadis mendapat bagian Rp 3 juta hingga Rp 5 juta. Selain itu, digelar pula acara makan-makan sederhana di rumah makan. Seluruh acara itu diatur oleh mak comblang.
Setelah acara Jie Sao dan Sangjit selesai, "kedua mempelai" berbulan madu di hotel. Hanya beberapa hari sang pria tinggal di Indonesia, mereka lalu pulang ke negaranya. Adapun sang istri baru menyusul beberapa bulan kemudian setelah surat-surat yang dibutuhkan selesai.
Ina mengaku selama ini belum pernah memaksa si gadis untuk menerima lamaran dari pria Taiwan yang menyukainya. "Saya lihat-lihat dulu orangnya, apa cocok atau enggak. Kalau karakternya enggak bagus, saya juga enggak mau melanjutkan," kata Ina.
Banyak contoh perkawinan yang gagal karena karakter pria kurang baik. Ani, sebut saja begitu, salah satunya. Ani menikah dengan seorang pria Taiwan pada September 2002 di Bekasi. Sebelum menikah, sebenarnya kedua orangtua Ani sudah mengingatkan gadis itu agar tidak buru-buru memutuskan menikah karena mereka melihat karakter sang pria kurang baik. Namun, Ani nekat karena melihat pria itu cukup berada dan tampangnya lumayan.
Beberapa bulan setelah proses Jie Sao dan Sangjitan selesai, Ani diboyong ke Taiwan. Di sana, baru dia tahu kelakuan sang suami yang sebenarnya. Selain pemabuk, suami Ani juga sering memukulinya. Ani memutuskan bercerai, tetapi anak satu-satunya buah perkawinan mereka ditahan oleh sang suami.
"Suaminya menawarkan pilih dikasih uang atau bawa anak. Kami memilih ambil uang saja karena kami juga tidak bisa merawat anak itu. Biayanya mahal," ujar Budi Thio, ayah Ani.
Ani menuntut 20.000 NTD (New Taiwan Dollar) untuk perceraiannya. Satu NTD nilainya kira-kira setara dengan Rp 250. Namun, sang mantan suami hanya mengabulkan 17.000 NTD atau sekitar Rp 4.350.000. Bukan hanya itu, sang suami juga melarang buah hati mereka memanggil Ani dengan sebutan mama. Ani hanya dipanggil tante oleh anaknya.
Kini Ani malah tengah ditahan di penjara Taiwan. Rupanya, selepas bercerai, Ani nekat ingin kembali ke Taiwan dan bekerja di sana karena tergiur gaji yang lebih besar. Dia dijanjikan bekerja di sebuah karaoke, tapi rupanya dia malah disuruh melayani lelaki hidung belang. Ani kabur tanpa membawa paspor dan surat-surat lain yang masih ditahan oleh si makelar. Saat ada razia pekerja ilegal, Ani pun tertangkap karena memang tidak membawa surat-surat.
Kisah sedih yang menimpa gadis-gadis Indonesia di Taiwan tidak hanya terjadi pada Ani. Banyak gadis yang menikah dengan pria Taiwan nyatanya diperlakukan seperti pembantu atau pemuas nafsu belaka. Namun, mereka tidak kapok. Menurut Ina, ada beberapa gadis yang dicomblanginya yang kini tengah menanti keberangkatan ke Taiwan.
Apa mereka tidak takut ditipu? "Ah, banyak juga kok laki-laki yang baik. Daripada di sini hidup miskin terus," ujar Ina.
Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.