-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

28 April 2008

Kota yang Memihak Kaum Miskin

Sabtu, 26 April 2008 | 01:06 WIB

Oleh IVAN A HADAR

 

Tugas utama sebuah (perencanaan) kota adalah menjaga kebersamaan serta mengatur keseimbangan dari setumpuk perbedaan. Selain kriminalitas, masalah utama sebuah kota (besar) di negeri ini adalah tingginya angka kemiskinan warga dan manifestasinya dalam bentuk kekumuhan kota.

 

Cara efektif menanggulangi dengan melibatkan mereka, yang tak jarang merupakan mayoritas penduduk kota dan yang dalam kesehariannya adalah para pelaku yang "menghidupkan" kota, dalam proses pengambilan keputusan. Apakah hal ini sudah dilakukan?

 

Tampaknya belum banyak kota di negeri ini yang melakukannya, termasuk Jakarta sebagai panutan. Salah satu indikasinya, tiap tahun hanya seperempat total anggaran (APBD) yang dialokasikan untuk pembangunan. Tak banyak dari jumlah itu yang bisa dinikmati masyarakat miskin.

 

Indikasi berikutnya, tanpa banyak diketahui publik, DKI Jakarta memiliki Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) 2000- 2010 yang banyak menyimpan penyimpangan, seperti penghilangan berbagai jalur hijau kota dan reklamasi Pantai Indah Kapuk yang tidak memerhatikan dampak sosial ekologis.

 

Peran warga

Rencana itu juga "tidak membumi" karena masalah klasik permukiman kumuh dan pedagang kaki lima tidak tersentuh. Dalam praktik, penggalian dan pemecahan masalah perkotaan, kalaupun dilakukan, menjadi monopoli perancang kota dan penentu kebijakan. Padahal, banyak bukti menunjukkan, warga kota sering lebih mengetahui persoalan sebenarnya, bahkan mampu mengeluarkan ide-ide kreatif dan imajinatif segar. Asal, mereka diajak berembuk tentang kotanya, seperti pengalaman kota Porto Alegre, Brasil.

 

Orcamento Participaivo (OP), dua kata berarti "Keterlibatan Warga Kota dalam penentuan APBD", adalah hal yang dilakukan secara konsekuen di Porto Alegre. Ketika Partai Buruh menang pemilu di negara bagian ini, dikembangkan OP yang bisa berarti "APBD partisipatif". Dalam kerangka OP, kota dibagi 16 subregion. Warga dalam forum-forum lokal dan regional berdiskusi tentang persoalan kota dan mencari solusinya.

 

Selain mendapat informasi tentang sistem baru, warga juga dibekali brosur 30 halaman tentang fungsi dan haknya sebagai warga kota. Konon, 85 persen warga Porto Alegre memahami OP dan sekitar 20.000 warga terlibat aktif dalam kepentingan dan melakukan konseling.

 

Dari ratusan delegasi forum, dipilih 40 orang sebagai perwakilan dan berhak meneliti penggunaan keuntungan pemerintah kota. Aneka usulan dari 21 forum kota dirangkum dalam rancangan APBD, diserahkan gubernur terpilih kepada dewan kota. Dewan kota, sebagai satu-satunya instansi yang berhak memutuskan APBD.

 

Dengan cara ini, sejak beberapa tahun terakhir, warga kota dapat memutuskan penggunaan dana APBD sekitar 750 juta dollar AS (sekitar Rp 8,5 triliun). Sebagian besar dana itu diinvestasikan bagi kemaslahatan lapis sosial bawah, misalnya untuk kawasan kumuh, sebagian besar terlayani infrastruktur kota, seperti air minum, kanalisasi, jalan, sistem pendidikan, pembuangan dan daur-ulang sampah, perbaikan alat transportasi kota, serta jaringan pembuangan air limbah.

 

"Model Porto Alegre" menjadi acuan ratusan dewan kota di Brasil. Dalam kaitan ini, model demokrasi representatif, di Brasil, kian kehilangan pamor.

 

Kebutuhan dasar

Selain partisipasi warga, pemenuhan kebutuhan dasar papan adalah salah satu syarat utama kota pro-poor. Sebenarnya, sebagai anggota Habitat International, Indonesia telah meratifikasi klausul rumah sebagai basic need. Konstitusi pun tegas menyatakan, "Negara wajib membantu mengadakan rumah yang layak bagi rakyat Indonesia" (UUD 45, Pasal 48 H). Begitu pula UU No 25/2000 tentang Propenas dan UU Bangunan Gedung 2003 (Pasal 43 Ayat 4) yang mewajibkan pemerintah daerah "memberdayakan masyarakat miskin yang belum memiliki akses rumah." Arahan konstitusi itu bertujuan memberi aksesibilitas rumah bagi rakyat Indonesia, terutama bagi kelompok lemah ekonomi.

 

Secara teknis, teori krisis perumahan dan solusinya bisa dibagi dalam dua kelompok. Pertama, melihat masalah perumahan sebagai "persoalan modal dan penghasilan". Kelompok dua, menganggapnya "persoalan kebersihan, kesehatan, dan keteraturan".

 

Bagi kelompok pertama, krisis perumahan dianggap identik tingginya harga lahan yang disebabkan pemilikan yang tidak produktif, spekulasi lahan dan bangunan, serta pengendalian stok rumah dan kapling oleh segelintir. Teori ini berhasil "menelanjangi" berbagai perilaku melenceng para developer perumahan.

 

Kritik terhadap spekulasi lahan dan properti ini banyak didukung pemikir progresif, perencana, dan politisi kota yang di beberapa negara berhasil memicu gerakan reformasi perumahan. Solusi yang ditawarkan berangkat dari aspek keuangan, seperti kurangnya dana bagi pembangunan rumah sederhana, tingginya bunga kredit perumahan, maraknya manipulasi hipotek yang diberikan untuk pelelangan lahan secara spekulatif, serta rendahnya penghasilan masyarakat.

 

Sementara itu, teori kelompok kedua, mereduksi masalah perumahan menjadi sekadar persoalan "renovasi dan peremajaan kampung", "budaya kemiskinan", serta "kurangnya pengawasan negara dengan akibat mekarnya perumahan kumuh". Berbagai asumsi itu mewarnai kebijakan perumahan di Indonesia.

 

Pelajaran dari mancanegara bermanfaat sebagai masukan. Jerman bisa menjadi contoh. Usai Perang Dunia II, negeri yang sebagian besar kotanya diluluhlantakkan bom sekutu, menjadikan pembangunan perumahan sebagai motor pembangunan ekonomi dengan memberi insentif pajak, kredit murah, dan sejenisnya kepada developer yang membangun perumahan bagi masyarakat menengah bawah. Meski tingkat keuntungan relatif kecil, tingkat kepastian mendapat keuntungan nyaris 100 persen. Tak heran, lebih dari 60 persen perumahan di Jerman dibangun developer jenis ini. Mereka yang menginginkan keuntungan lebih harus mengikuti aturan pasar yang berisiko.

 

Dari paparan itu, banyak peluang untuk menyelesaikan krisis perkotaan dan perumahan di Tanah Air. Kemauan politik pemerintah dan semua pihak dalam mencari keseimbangan di antara pemangku kepentingan merupakan syarat yang harus dipenuhi. Selebihnya masalah teknis.

 

IVAN A HADAR Koordinator Nasional Target MDGs (Bappenas/UNDP); Pendapat Pribadi

http://www.kompas.com/index.php/read/xml/2008/04/26/01061992/kota.yang.memihak.kaum.miskin



Be a better friend, newshound, and know-it-all with Yahoo! Mobile. Try it now.