-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

29 May 2008

BLT: Benarkah Mencapai Sasaran ?

RNW, 29-05-2008

Bantuan Langsung Tunai (BLT) sebagai kompensasi penaikan harga BBM telah diterima keluarga miskin di Jakarta. Masing-masing warga yang mengantongi Rp. 300 ribu itu ternyata menggunakannya untuk hal yang berbeda. Ada yang bergembira dan menganggap bantuan seperti rejeki. Ada pula yang justru menolaknya.

Pagi itu, Djumhari tak kerja. Ia sengaja tak berdagang siomay karena ingin antri uang kompensasi penaikan harga BBM sebesar Rp. 300 ribu. Djumhari menunggu nomor urutnya dipanggil petugas Kantor Pos Utankayu, Jakarta Timur. Djumhari tak terlalu gembira, meski tiba-tiba ada uang 300 ribu di tangannya tanpa bekerja. Uang itu hanya bakal lewat, karena langsung berpindah tangan untuk bayar utang.

ind2008.200.jpgBayar utang
Djumhari: "Buat bayar utang. Saya kan punya bank keliling. Jadi tutup lobang gali lobang. Buat modal utang. Utang sama tetangga. Kalau dagang sepi ngutang lagi, kalau belum bayar utang lagi kan malu. Kalau udah lunas baru kita gak malu. Wah, banyak, bini saya bilang pak saya punya utang sekian-sekian"

Utang untuk makan dan modal dagangan pada hari berikutnya. Harga barang yang terus naik, membuat berdagang somay tak lagi cukup untuk makan apalagi membiayai sekolah anak-anak Djumhari.

Djumhari: "Gak tentu, kadang-kadang abis, kadang-kadang enggak, kalau abis untungnya 20 ribu, buat masak buat jajan anak. Abis apa-apa mahal tau sendiri Bapak. Anak saya tiga. Yang satu gak sekolah, dua-duanya gak sekolah. Putusnya kelas 2. Gak ada biaya. STM, STMnya berat biayanya. Di belakang Salemba itu kan ada STMnya. Gak diterusin, nunggak berapa bulan itu"

Dekat Djumhari berdiri Awang Syawal yang sedang merokok. Warga Kramat Asem ini juga sedang menunggu nomor urutnya dipanggil. Syawal kerja sebagai buruh bangunan. Cuma, dua minggu ini ia sudah menganggur.

Syawal: "Kalau gak kerjanya lebih dari dua bulan kadang-kadang, sebulan kalau lagi susah seperti sekarang ini, kerjaan gak ada sama sekali. Ini dua minggu gak kerja sedapetnya aja. Kadang-kadang minjem ama saudara nanti dapet duit kita ganti"

Seperti Djumhari, Syawal tak begitu gembira menyambut Rp. 300 ribu. Uang itu bakal langsung ludes membayar utang pada perusahaan listrik negara, PLN.

Syawal: "Sekarang dapet ini saya mau gunain, listrik dua bulan kan ini nunggak, mau bayar listrik kurang lebih listrik 310. Abis. Ya udahlah namanya miliknya listrik daripada diputus. Masih kurang sepuluh ribu, malahan. Bener ini demi Allah"

Percuma saja
Syawal mengaku sedang sangat kesulitan. Ia menganggur padahal dapur harus tetap mengepul. Belum lagi segera datangnya tahun ajaran baru. Ia harus mengumpulkan ratusan ribu untuk daftar ulang sekolah anaknya.

Syawal: "Ya musim-musim daftar ulang. Ini besok saya lagi pikirin. Daftar ulangnya agak besar juga ini. SPP sebulan 125, STM itu. Kalau negeri, yang perempuan SD negeri alhamdulilah gak ada pengeluaran. Cuma ongkos aja rutin 10 ribu rutin setiap hari"

Syawal dan Djumhari merasa bantuan pemerintah percuma saja. Uang itu hanya numpang lewat. Mereka sangat ingin lepas dari jeratan kemiskinan. Syawal butuh modal untuk berdagang. Djumhari yang telah berdagang justru ingin harga barang turun.

Syawal: "Gak arti, bener gak dapet apa-apa. Aduh ampun deh hidup. Saya lagi mikir kemana cari modal untuk dagang. Sekarang dagangan saja sudah mahal, susah"

Djumhari: "Saya soal duit gak maulah. Saya maunya dagang harga-harga sembako turun, saya duit begini gak mau, saya maunya belanjaan turun"

Tapi ada juga penerima bantuan tunai yang mengaku senang dapat uang. Suryani, warga Multi Karya I, harus kembali untuk membawa serta neneknya, begitu tahu pembagian harus sesuai nama di kartu BLT. Tak bisa diwakilkan, meski sudah ada surat kuasa. Beda dengan pembagian BLT tahun 2005.

Suryani: "Nèk, bisa gak Nèk, ngambil uangnya kan gak bisa diwakilin. Bisa, katanya, ya udah kita naik bajaj pp. Bisa jalan, cuma agak dituntun"

Nyambung umur
Ramelah, sang nenek, mensyukuri BTL. Lumayan, untuk menyambung hidup, untuk membantu dapur yang dikelola Suryani dan salah satu anaknya yang bekerja sebagai buruh cuci.

Ramelah: "Buat belanja. Bakal nambahin dapur deh"

Warga di jalan Waringin Utankayu, Asmani juga senang menerima BLT. Uang 300 ribu akan digunakan untuk membeli kebutuhan sehari-hari.

Asmani: "Bakal makan, bakal hari-hari itu belanja. Seneng, ada yang bakal nambah nyambung umur"

Asmani bertutur, BLT selalu mengingatkannya pada kejadian tahun 2005. Ketika itu bantuan tunai dipakai untuk pengobatan anaknya yang sedang sakit parah.

Asmani: "Cari duit bakal ngebelain anak, supaya anak saya sehat lagi eh lewat, lewat juga. Tiap tiga bulan kan itu dapet duit bakal nambahin nebus. Eh kagak kebeli apa-apa, boro-boro mikirin kebeli ini itu, gak mikirin makan. Lima bulan anak saya di rumah sakit, di rumah dua bulan. Abisnya, meninggalnya di rumah sih. Saya bawa pulang gak bisa biaya. Dapet beli obat,pas itu, pas anak saya sakit bener-bener. Saya nyari duit dari jam enem pagi sampai jam enem sore.

Bangkrut
Asmani bekerja sebagai buruh cuci. Sedianya bantuan tunai bisa ia gunakan untuk modal berjualan. Tapi, harga barang untuk modal berjualan tak bisa dijangkaunya. Beberapa bulan lalu, selain menjadi buruh cuci ia juga berjualan es dan nasi uduk. Tapi usahanya bangkrut setelah harga kebutuhan pokok melonjak.

Asmani: "Kepengennya bakal modal, tapi belanjaannya mahal, gimana? Minyaknya gak ada, belanjaannya kagak ada. Tadinya kan saya dagang es, es jus jual di rumah, nasi uduk, saya dagang kalau sore. Udah enggak, ada kalau dua bulan kali, belanjaannya mahal, kagak cukup. Belanjaannya aja tiga ratus, sekarang belanjaan mahal kayak gini bingung, belanjaan kagak ada yang jual banyak"

Bantuan Tunai Langsung tak bisa jadi modal karena harga barang yang selangit. Bantuan tunai tak mengentaskan keluarga miskin. Ibarat sakit thypus yang membuat orang tak berdaya, bantuan tunai hanya menyembuhkan sakit kepala, bukan thypusnya sendiri.

Djumhari yang menunggu bantuan tunai tiba-tiba teringat sebuah lagu Iwan Fals.

Djumhari: "Apa-apa mahal, sembako mahal, gak jangkau. Sekarang sih bener juga kata Iwan Fals bbm naik lagi, subsidi gak bisa beli. Lagunya menyindir pemerintah Cuma pemerintah aja gak denger. Bisa aja dia, Iwan Fals, pinter ngarangnya"