-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

17 June 2008

Korban Tewas Akibat Gizi Buruk di NTT Bertambah

Senin, 16 Juni 2008 - 12:41 wib
KUPANG - Korban tewas akibat gizi buruk di Nusa Tenggara Timur (NTT) bertambah menjadi 23 orang setelah seorang balita warga Kabupaten Sumba Tengah, tewas Sabtu 14 Juni lalu.

Kepala Dinas Kesehatan NTT, Stefanus Bria Seran yang dihubungi di Kupang, Senin (16/6/2008) mengatakan, pihaknya terus berupaya untuk menekan jumlah korban tewas, namun sulit dilakukan karena keterbatasan dana.

Menurut Stefanus, idealnya balita gizi kurang perlu mendapat makanan tambahan selama tiga bulan  agar tidak meningkat menjadi gizi buruk. Sedangkan penderita gizi buruk harus mendapat makanan tambahan enam bulan agar status gizi tidak meningkat menjadi busung lapar (Gizi buruk dengan kelainan klinis). Sementara penderita busung lapar harus mendapat makanan tambahan bergisi sembilan bulan berturut-turut.

"Tetapi hal ini tidak dilakukan dengan teratur karena tidak ada alokasi dana yang cukup, baik dari pemerintah pusat, pemerintah provinsi maupun kabupaten/kota," katanya.

Dia menambahkan, penyebab utama meningkatnya kasus gizi buruk di NTT disebabkan karena masalah kemiskinan dan kesulitan ekonomi masyarakat. Kondisi tersebut, menurut Stefanus, dapat dilihat dari pola konsumsi masyakarat, kualitas makanan yang dikonsumsi balita dan ibu hamil/menyusui.

"Kemungkinan besar dari sisi jumlah sangat terbatas, frekuensinya rendah dan kualitas makanan buruk. Sebab, kalau setiap hari seorang ibu hamil/menyusui hanya makan satu kali dengan kandungan gizi yang rendah berdampak langsung pada pertumbuhan fisik balita," lanjutnya.

Pemprov NTT, lanjutnya, sudah berulang kali menyampaikan permohonan dana ke pemerintah pusat. Namun usulan tersebut sampai saat ini belum mendapat tanggapan.

"Untuk menangani masalah gizi membutuhkan paling sedikit Rp57 miliar. Dana yang sudah ada baru Rp1,5 miliar dari APBD I NTT, sementara kabupaten/kota mengalokasikan Rp5,6 miliar. Sisanya diharapkan bantuan pusat, tetapi belum ada tanggapan," katanya.

Sampai dengan pekan ini, korban tewas akibat krisis gizi sejak Januari-Juni 2008 sebanyak 23 balita. Korban terbanyak di Kabupaten Sumba Tengah yakni sembilan balita, Kota Kupang tujuh balita, Rote Ndao empat balita, Timor Tengah Selatan dua balita dan Kabupaten Kupang, satu balita.

Penghentian pemberian makanan tambahan padat gizi bagi para balita, menurut Kepala Seksi Pengelolaan Masalah Kesehatan Dinas Kesehatan NTT, Maksi Taopan sudah dihentikan sejak awal 2008 lalu. "Aktifitas Posyandu berjalan seperti biasa. Tetapi para balita hanya ditimbang badannya dan tidak diikuti dengan pembagian makanan tambahan. Padahal sebelumnya makanan tambahan selalu dibagikan," katanya.

Data yang dihimpun pada Dinas Kesehatan NTT menyebutkan, kematian tertinggi gizi buruk di NTT mulai meningkat tajam sejak 2005 lalu, dimana pada saat itu 66 balita tewas. Tahun 2006  tingkat kematian meningkat menjadi 77 balita meninggal dunia. Tahun 2007 angka kematian berhasil ditekan sehingga korban tewas hanya 10 balita. Nmun jumlah penderita gizi kembali meningkat tahun 2008 ini, dimana dari 512.407 balita, terdapat 114 balita menderita gizi buruk dengan kelainan klinis (Marasmus-Kwashiorkor, 12.704 gizi buruk tanpa kelainan klinis dan 72.067 menderita gizi kurang.

Sebelumnya, Direktris Perkumpulan Pengembangan Inisiatif Masyarakat (PIAR) NTT, Sarah Lery Mbuik menilai pemerintah kurang serius menangani masalah gizi oleh karena kebijakan anggaran yang diterapkan lebih banyak berorientasi proyek. Sedangkan hak asasi manusia maupun hak hidup balita dan anak-anak diabaikan. "Kalau membangun gedung megah atau membeli mobil mewah ada uang. Tetapi untuk mengurus kesehatan 512.000 balita, selalu ada alasan tidak ada dana," kata Lery.