Oleh Didit Ernanto
Bandung - Jumlah penderita gangguan jiwa dari kalangan keluarga miskin terus meningkat. Beban ekonomi pascakenaikan harga BBM memberi andil terhadap bertambahnya jumlah penderita gangguan jiwa dari masyarakat miskin.
Menurut Plt Direktur RS Jiwa Bandung, Endang Dzazuli, lebih dari 80 persen penderita gangguan jiwa yang menjalani perawatan di RS Jiwa Bandung berasal dari masyarakat miskin. "Jumlahnya terus bertambah setiap tahun," ujar Endang kepada SH di Bandung, Selasa (15/7). Setiap hari RS Jiwa Bandung rata-rata didatangi sebanyak 100 penderita gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan. Ada penambahan jumlah pasien rawat jalan dibandingkan sebelum kenaikan harga BBM lalu. Sebelumnya jumlah pasien rawat jalan paling banyak berkisar antara 70-80 orang setiap hari. Peningkatan juga terjadi pada pasien yang menjalani rawat inap. Dari sebanyak 100 tempat tidur yang disiapkan untuk pasien rawat inap, 80 persen di antaranya selalu terisi setiap bulan. Endang menyebutkan pasien rawat inap ini kebanyakan juga berasal dari kalangan masyarakat miskin. Gangguan jiwa yang diderita beragam, mulai dari gangguan jiwa ringan hingga yang mengalami gangguan jiwa berat. "Sekitar 90 persen merupakan pasien gangguan jiwa berat," tutur Endang. Problem ekonomi masih menjadi penyebab tertinggi penderita gangguan jiwa. Bagi pasien dari masyarakat miskin, RS Jiwa Bandung tidak mengutip biaya perawatan sepeser pun. Menurut Endang, biaya perawatan bagi masyarakat miskin ditanggung oleh pemerintah melalui Askeskin. Selama ditanggung oleh pemerintah, tidak ada masalah dalam hal pembiayaan perawatan bagi masyarakat miskin. Pada semester II tahun 2008 ini RS Jiwa Bandung memperoleh dana Askeskin sebesar Rp 1,4 miliar. Endang memperkirakan jumlah penderita gangguan jiwa akan terus meningkat seiring dengan kian beratnya beban ekonomi masyarakat. Sebagai langkah antisipasinya, RS Jiwa Bandung menambah kapasitas rawat inap. Penambahan kapasitas dilakukan setelah RS Jiwa Bandung disatukan dengan RS Jiwa Cisarua Cimahi. Endang menyatakan peleburan kedua RS Jiwa ini dilakukan dalam waktu dekat.
Krisis di Masyarakat Semakin bertambahnya jumlah penderita gangguan jiwa mengindikasikan adanya krisis dalam masyarakat yang tidak bisa diatasi. Krisis multidimensi ini membuat munculnya berbagai perilaku menyimpang di masyarakat. "Kasus bunuh diri serta semakin banyaknya orang yang menderita gangguan jiwa adalah bukti adanya krisis di masyarakat," ujar Kepala Bagian Psikiatrik RS Hasan Sadikin (RSHS) Bandung, Tedi Hidayat kepada SH di Bandung, Rabu (16/7). Krisis ini mayoritas dialami oleh masyarakat miskin. Tak hanya di RS Jiwa Bandung, di RSHS jumlah pasien gangguan jiwa yang berasal dari masyarakat miskin cenderung bertambah. Dari sekitar 45 orang yang dirawat di bagian Psikiatrik, antara 80 persen hingga 90 persen berasal dari masyarakat miskin. Sedangkan penderita gangguan jiwa yang menjalani rawat jalan di RSHS setiap hari rata-rata berkisar antara 40-50 orang. Tedi membenarkan kecenderungan terus bertambahnya jumlah penderita gangguan jiwa yang dirawat di RSHS. Hal yang dikhawatirkan adalah penderita gangguan jiwa kronis. Menurut Tedi penderita gangguan jiwa kronis seharusnya menjalani perawatan secara intensif. Kenyataannya banyak keluarga yang tidak membawa penderita gangguan jiwa kronis ini ke rumah sakit untuk dirawat secara intensif. Akibatnya tidak sedikit penderita gangguan jiwa kronis ini yang tidak memperoleh perawatan medis. "Alasannya mereka tidak memiliki cukup biaya," ujar Tedi. Padahal, pihak rumah sakit tidak mengenakan biaya sepeser pun bagi masyarakat miskin karena ditanggung oleh pemerintah melalui Askeskin. n http://www.sinarharapan.co.id/berita/0807/16/nus01.html |