Oleh Ninuk Cucu Suwanti
JAKARTA – Nasib kaum urban selalu miris. Jakarta sebagai Ibu Kota Negara agaknya alergi terhadap kehadiran kaum papan bawah ini. Pinggiran sekitar rel kereta api (KA) sebagai tempat berteduh terakhir pun harus rata dengan tanah. Hingga kini sudah 1.391 bangunan itu rata dengan tanah.
Kesedihan warga yang tinggal di bawah jalan layang Stasiun Kereta Api Juanda menuju Stasiun Sawah Besar, Kamis (17/7) pagi itu, benar-benar meledak. Mereka hanya pasrah ketika gubuk tempat tinggal mereka yang terakhir di Jakarta diratakan dengan tanah oleh ratusan petugas gabungan PT Kereta Api Indonesia (KAI). Warga memang salah karena bermukim di lahan milik PT KAI. Namun persoalannya: tanggung jawab pemerintah akan tempat tinggal yang layak buat kaum urban masih jauh api dari panggang. Kolong jalan layang tempat sekitar 250 orang bernaung setiap harinya itu memang tampak kumuh. Sampah menyatu dengan bangunan-bangunan yang berdiri dengan material seadanya. Belum lagi aroma sampah yang cukup membuat hidung tidak mampu lagi bertoleransi cukup lama. Pagi itu, warga telah disibukkan dengan aktivitas yang dilakukan PT Kereta Api bersama Pemerintah Kota Jakarta Pusat. Material bangunan yang masih bisa digunakan satu per satu dibongkar, ditumpuk barangkali masih bisa digunakan. Tidak ketinggalan isi perabotan rumah juga dikemasi dan diamankan, lantaran Kamis (17/7) merupakan batas akhir toleransi untuk menempati area yang jadi tempat persinggahan bagi mereka. Wajah perempuan tua asal Cirebon ini tak dapat disembunyikan. Matanya berkaca, menajamkan perasaan sedih dengan pandangan hiruk-pikuk aktivitas di daerahnya yang biasanya tak seramai hari ini. Tursini (76), sudah hampir empat kali pergantian presiden republik ini, menempati kolong jalan layang. Hidup bersama anak serta kelima cucu, Tursini setiap harinya berjualan kue serabi di Pasar Darurat. "Usaha saya sejak tinggal di sini dagang kue serabi, demi Rp 10.000 hingga Rp 20.000 buat nyambung hidup sehari-hari," katanya. Sesekali tangannya yang mulai mengeriput membasuh wajah tuanya. Pikirannya melayang, lantaran entah tidur di mana nantinya. "Saya tidak ada uang cukup untuk menyewa kontrakan. Mungkin ntar malam tidur pakai kardus atau apalah seadanya untuk tidur," imbuhnya. Baginya hidup di Jakarta yang kini ditapakinya adalah ladang penghasilan. Menjadi hal yang berat untuk ditinggalkan jika akhirnya ia harus kembali pulang ke kampung halamannya di Cirebon. Hingga fasilitas tiket gratis dari PT KAI untuk pulang kampung pun ditolaknya. "Kami ini nggak mau pulang kampung gratis, tapi kami ini butuh uang untuk biaya kontrak rumah," ujarnya. Nurhasanah (40) yang tiga tahun menempati lahan PT KAI, mengaku menyadari kesalahannya tinggal di lahan yang bukan menjadi haknya. Kondisi hidupnya dengan ekonomi sulit memang mau tak mau membuat wanita yang asli Betawi ini tinggal di lahan PT KAI. "Mau gimana lagi, setiap hari kerja hanya mulung, gimana bisa punya tanah dan bangun rumah, emangnya murah," katanya.
Memilih Pasrah Nurhasanah mengaku pasrah dengan pembongkaran yang dilakukan PT KAI. Menurutnya, hal itu merupakan hal yang wajar jika akhirnya PT KAI minta dirinya dan beberapa warga yang tinggal di bawah jalan layang untuk mengosongkan tempat. Terlebih sosialisasi sudah disampaikan oleh pihak PT KAI yang secara langsung mengunjungi tempatnya tinggal. Bagaimanapun menurut perempuan yang tinggal bersama keluarganya di bangunan berdiameter 4x6 meter ini, untuk melawan dengan bertahan tinggal sangatlah sulit. "Mau gimana lagi orang kita yang salah, ngelawan juga nggak bakalan mungkin bisa menang namanya juga rakyat kecil, tapi ya kalau bisa kita yang tinggal dikasih uang kerohiman," paparnya. Berbeda dengan Wasri (42), yang saat ditemui SH perempuan asal Gombong Jawa Tengah ini mengaku akan memilih pulang ke kampung halamannya. Meskipun setiap harinya, perempuan yang jualan pecel ini mengaku punya pemasukan lumayan dari usahanya berdagang. Terlebih dirinya belum terlalu lama bermukim di lahan milik PT KAI. Perempuan yang suaminya sehari-hari bekerja sebagai tukang sampah keliling ini akan berusaha memulai usaha baru di tanah kelahirannya. "Lumayan deh kalau memang PT Kereta Api mau ngasih tiket buat mudik, soalnya dari stasiun masih harus naik dua kali lagi ke rumah saya yang di pegunungan, hitung-hitung irit. Lebih asyik lagi kalau dikasih sangu buat pulang," imbuhnya, yang diamini rekan-rekannya yang juga tinggal di lokasi yang sama. Mengaku pasrah karena kehilangan tempat berteduh, Wasri mengungkapkan rasa terima kasih pada PT KAI. Lantaran ia dan suaminya akhirnya bisa pulang kampung gratis. n http://www.sinarharapan.co.id/berita/0807/19/jab07.html |