Senin, 14 April 2008 | 02:12 WIB
Maraknya pemberitaan negatif media massa Malaysia mengenai buruh migran atau tenaga kerja Indonesia di Malaysia serta perlakuan buruk majikan kepada TKI membuat Kedutaan Besar Republik Indonesia di Kuala Lumpur gerah. KBRI pun mencoba memantapkan cakarnya sebagai perwakilan negara untuk mengayomi dan melindungi warga negara di negeri jiran tersebut.
Kuasa Usaha Ad Interim KBRI Kuala Lumpur Tatang Budi Utama Razak dalam pemaparan kepada lima wartawan dari Indonesia di KBRI Kuala Lumpur, Selasa (18/3) mengatakan, upaya peningkatan perlindungan dan advokasi kepada TKI dimulai seiring dengan upaya peningkatan pelayanan kekonsuleran dan imigrasi kepada WNI di Malaysia.
Upaya perlindungan dan advokasi itu ditangani melalui Satuan Tugas Pelayanan dan Perlindungan WNI (Satgas PPWNI). Satgas PPWNI itu dibentuk saat Rusdihardjo masih menjabat Duta Besar Republik Indonesia untuk Malaysia.
Senior Liaison Officer Polri untuk KBRI Kuala Lumpur Komisaris Besar Setyo Wasisto mengatakan, satgas tersebut terdiri atas fungsi-fungsi di KBRI Kuala Lumpur sehingga di dalamnya terdapat fungsi imigrasi, fungsi konsuler, fungsi ketenagakerjaan, fungsi politik, fungsi ekonomi, fungsi penerangan, fungsi pertahanan, fungsi perdagangan, fungsi perhubungan, fungsi pendidikan dan kebudayaan, fungsi riset, fungsi komunikasi, dan senior liaison officer.
Munculnya satgas setidaknya menjadikan KBRI tidak lagi menunggu bola, tetapi aktif menjemput bola atas segala permasalahan yang dihadapi WNI di Malaysia. Satgas berkeliling ke penjara-penjara dan pusat deportasi di Malaysia untuk mengetahui dan mendata WNI yang dipenjara serta mengambil langkah perlindungan. Satgas juga melakukan outreach atau kunjungan ke daerah-daerah konsentrasi asal TKI di berbagai daerah di Indonesia dan kantong-kantong TKI di Malaysia. Setiap kunjungan satgas melakukan penyuluhan dan pelayanan publik.
Di Malaysia, satgas menyebar nomor hotline bantuan lewat nomor layanan pesan singkat (SMS) untuk pelayanan pengaduan. Cara tersebut cukup efektif menjaring laporan ketika upaya perlindungan makin kompleks. Itu karena satgas tidak hanya melayani perlindungan kepada WNI resmi, tetapi juga kepada WNI ilegal.
Lebih jauh Tatang mengemukakan, upaya perlindungan melalui cara-cara langsung kepada TKI sangat penting. Itu karena TKI di Malaysia mengisi 62,8 persen dari total tenaga kerja asing di Malaysia. Artinya, beban pekerjaan KBRI Kuala Lumpur sedemikian besar sehingga dibutuhkan cara-cara penanganan yang efektif.
Berdasarkan catatan KBRI Kuala Lumpur, lebih dari dua juta WNI berada di Malaysia. Sekitar 1,2 juta di antaranya TKI resmi yang memiliki izin bekerja di Malaysia. Sekitar 800.000 di antaranya berstatus ilegal.
TKI ilegal umumnya berasal dari perbatasan dan banyak dipekerjakan di sektor-sektor yang membutuhkan banyak tenaga kerja. TKI ilegal sangat rentan sebab mereka datang tanpa dokumen dan rawan menjadi korban sindikat pekerja (trafficking in person). Pekerja tanpa dokumen itu datang dengan tongkang atau kendaraan darat tanpa ada pengecekan dokumen karena mereka sudah biasa melakukan lintas batas.
Jumlah WNI ilegal yang dideportasi pun cukup banyak. Di Pasir Gudang, Johor, Malaysia, tak kurang dari 250 hingga 500 orang TKI dideportasi setiap hari. Untuk pendatang gelap semacam itu, KBRI Kuala Lumpur memberikan pelayanan Surat Perjalanan Laksana Paspor dan check out memo gratis.
Sementara itu, dari 1,2 juta TKI resmi, umumnya mereka bekerja di sektor ladang atau perkebunan, rumah tangga, konstruksi, pabrik, pertanian, dan jasa/servis. Data KBRI Kuala Lumpur per 31 Desember 2007 berdasarkan sektor pekerjaan menyebutkan, pekerja perkebunan/pertanian 394.458 orang, pekerja rumah tangga 294.784 orang, pekerja konstruksi dan kilang atau pabrik 417.796 orang, dan pekerja sektor jasa seperti rumah makan sekitar 41.012 orang.
Satgas mendata 1.964 orang WNI saat ini berada dalam penjara di berbagai wilayah Malaysia. Mereka dipenjara karena melakukan pelanggaran pidana dari pidana ringan seperti kasus keimigrasian hingga yang menghadapi ancaman berat dan hukuman mati karena perampokan, pembunuhan, dan narkoba. "Kami berupaya mendampingi dan memberi pelayanan perlindungan kepada mereka," kata Setyo.
TKI resmi, terutama tenaga kerja wanita (TKW), mengalami masalah yang tak kalah pelik. Mereka menghadapi masalah eksploitasi berupa gaji tak dibayar oleh majikan/agensi, beban kerja yang terlalu berat, kondisi kerja yang tidak sesuai, diusir majikan, tidak betah bekerja, pelecehan seksual/pemerkosaan, penyiksaan, telantar, hingga menjadi korban trafficking.
Khusus TKI yang bekerja sebagai pembantu rumah tangga, masalah pemahaman majikan terhadap pekerja ternyata sangat kurang. Satgas PPWNI menemukan, banyak majikan Malaysia yang semena-mena memperlakukan TKI. Bagi TKI Muslim yang bekerja untuk majikan non-Muslim, sering kali mereka dilucuti. Majikan akan membuang alat-alat sembahyang dan memperlakukan TKI seenaknya, seperti menyuruh TKI memakan makanan yang tidak diperbolehkan dalam agama Islam. Akibatnya TKI menjadi tidak betah dan memilih lari.
Perlindungan TKW
Selama Januari-Desember 2007, 744 TKW minta perlindungan ke KBRI Kuala Lumpur atas masalah eksploitasi. Sebanyak 231 orang tidak dibayar gaji, 87 orang mengalami pekerjaan yang terlalu berat, 51 mengalami kondisi kerja yang tidak sesuai, 39 orang diusir majikan, 123 orang tidak betah bekerja, 29 orang mengalami pelecehan seksual, 106 orang mengalami penyiksaan, 17 orang telantar, 19 orang korban trafficking, dan 42 orang minta perlindungan karena alasan lain. Sementara itu, pada periode Januari-Februari 2008 sebanyak 139 TKW minta perlindungan kepada KBRI Kuala Lumpur.
Dari jumlah TKW yang minta perlindungan, sampai 31 Maret 2008 sebanyak 50 TKW bermasalah dan satu bayi masih ditampung di tempat penampungan atau shelter di belakang Gedung KBRI Kuala Lumpur dan berkapasitas 70 tempat tidur.
Dari berbagai jenis masalah eksploitasi itu, Satgas PPWNI berupaya membantu menyelesaikan masalah TKW. Satgas terutama membantu menggarap masalah advokasi TKI.
Untuk masalah TKI di sektor informal, seperti pembantu rumah tangga yang tidak dibayar gajinya oleh majikan, KBRI melalui satgas membantu menegosiasikan pembayaran gaji dengan majikan/agensi, sesuai masa kerja TKI. Cara demikian berhasil menyelamatkan gaji dan kompensasi hak TKI pada periode Januari-Desember 2007 sebesar Rp 3,416 miliar. Adapun pada periode Januari-Maret 2008 gaji dan kompensasi hak TKI yang diselamatkan Rp 1,077 miliar.
Untuk TKI yang mengalami masalah eksploitasi lain, seperti penganiayaan/penyiksaan, ataupun hubungan industrial majikan-pekerja, satgas juga memfasilitasi penyelesaian masalah. Bagi WNI yang tengah menjalani proses hukum di pengadilan, satgas memberi pelayanan perlindungan dengan menyediakan pengacara. Dengan penyelesaian dengan cara demikian, KBRI Kuala Lumpur secara konstan mampu menyelesaikan 1.000 kasus per tahun atau 3-4 kasus per hari dapat diselesaikan.
Dalam pertemuan dengan 100 agensi pekerja yang tergabung dalam Persatuan Agensi Pembantu-Rumah Asing Malaysia (Papa) pada Selasa (18/3), Atase Ketenagakerjaan KBRI Kuala Lumpur Teguh Hendro Cahyono mengatakan, melihat kompleksnya masalah ketenagakerjaan yang dihadapi KBRI Kuala Lumpur, setiap agensi pekerja Malaysia diimbau membantu satgas menyelesaikan masalah pekerja-majikan tersebut. "Kita harus bekerja sama menyelesaikan masalah-masalah demikian," katanya.
Diakui Teguh, berbeda dengan pekerja asal Filipina yang betul-betul dipersiapkan dan dilengkapi dengan syarat-syarat ketat mengenai calon majikan dan jenis pekerjaan, banyaknya kasus ketenagakerjaan TKI yang ditangani KBRI Kuala Lumpur tidak terlepas dari persiapan keberangkatan calon TKI.
Banyak TKI diberangkatkan tanpa persiapan fisik, mental, dan keterampilan. Para TKI juga ternyata banyak yang tidak dilengkapi pemahaman mengenai identitas majikan dan agensi yang menyalurkan mereka. Jadi ketika terjadi masalah dengan TKI, minimnya pengetahuan menyulitkan perlindungan dan pemenuhan hak-hak TKI.
Lebih jauh Tatang mengatakan, upaya perbaikan dan peningkatan pelayanan perlindungan itu seharusnya diikuti pula dengan perbaikan pelayanan di dalam negeri. Pemerintah, khususnya Departemen Tenaga Kerja, sepatutnya juga membantu memberikan perlindungan tersebut.
Pemerintah melalui Peraturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Permenakertrans) Nomor PER-23/MEN/V/2006 jo. Permenakertrans No. PER-20/MEN/X/2007 tentang Asuransi Tenaga Kerja sebetulnya sudah berupaya membekali TKI dengan asuransi. Asuransi dikelola oleh Konsorsium Asuransi dan beranggotakan lima perusahaan asuransi yang ditunjuk Departemen Tenaga Kerja dan Transmigrasi untuk menjamin nasib TKI di luar negeri. Lima perusahaan itu adalah PT Asuransi Jasindo, PT Asuransi Bangun Askrida, PT Asuransi Ramayana, PT Umum Mega, dan PT Asuransi Adira Dinamika.
Dengan aturan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi itu, perusahaan asuransi diperbolehkan memungut biaya asuransi Rp 400.000 per TKI. Tujuannya, ketika TKI tersebut mendapat masalah, asuransi yang akan membantu TKI.
Namun, dalam praktiknya, kelima perusahaan asuransi itu tidak efektif menjamin nasib TKI. Acap kali terjadi masalah ketenagakerjaan konsorsium asuransi itu lepas tangan. Asuransi akhirnya lebih banyak memungut tanpa memberikan santunan.
Atas ketimpangan itu, wajar apabila Komisi IX DPR mendesak pemerintah segera membubarkan konsorsium. "Konsorsium itu tidak perhatian pada TKI, padahal mereka mengelola uang TKI. Lebih baik konsorsium dibubarkan dan pemerintah membuat lembaga independen, terutama pada masa penempatan TKI," tegas Ribka Tjiptaning, anggota Komisi IX DPR dari Fraksi PDIP. (Helena Nababan)
http://cetak.kompas.com/read/xml/2008/04/14/02122236