-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

30 August 2008

"Tuno Manuk", Upacara Melindungi dan Memanggil Perantau

KOMPAS/KORNELIS KEWA AMA
Kaum laki-laki duduk membentuk lingkaran di hadapan rumah adat koke bale nuba erin. Di rumah adat ini Dewa Rera Wulan dan Ema Tanah Ekan atau Dewa Langit dan Dewa Bumi menyatu, tanda perdamaian, keselamatan, dan kesuburan.

Kompas, Sabtu, 30 Agustus 2008

Oleh KORNELIS KEWA AMA

”Bapak, aku sudah kirim uang Rp 100.000 melalui rekening bapak untuk beli ayam jantan satu ekor. Saya ingin persembahkan ayam itu bagi leluhur pada upacara tuno manuk, 10 Agustus. Saya minta perlindungan agar pekerjaan saya sukses dan bos menaikkan gaji saya,” demikian pesan singkat dari Heribertus Kopong (30), tenaga kerja Indonesia di Kota Kinabalu, Malaysia, melalui SMS di telepon seluler ayahnya, Frans Duli (60), di Desa Mewet, Flores Timur, Nusa Tenggara Timur, 8 Agustus lalu.

Ritus tuno manuk atau secara harfiah artinya bakar ayam bagi masyarakat Demondei berlangsung sejak 1900-an. Upacara ini hanya diperuntukan bagi kaum laki-laki dari desa itu, baik yang ada di desa maupun di luar desa, seperti perantau, pelajar, atau pekerja. Tuno manuk biasanya berlangsung Sabtu sore sampai Senin sore. Sabtu diyakini sebagai hari untuk bumi, termasuk penghuninya, hari Minggu sebagai hari Tuhan, dan hari Senin sebagai hari keselamatan karena dewa langit dan dewa bumi, Ama Rera Wulan, Ema Tanah Ekan, artinya dewa matahari dan dewi bumi menyatu.

Lima suku di desa ini dibagi dalam dua kelompok, yakni Kayak, Narek, dan Lagadoni, memiliki satu rumah adat yang disebut uma wanan yang berarti rumah bagian kanan. Suku Bubun dan suku Ariana memiliki rumah disebut uma nekin, artinya rumah bagian kiri.

Di antara kedua rumah ini berdiri rumah panggung dua tingkat yang disebut koke bale nuba erin, balai utama, tempat pertemuan dewa langit dan dewi bumi. Di tempat ini ayam dipotong dan dipersembahkan. Setiap pria memegang ayamnya sendiri atau mewakili anggota keluarga di perantauan. Mereka berdiri di sebelah utara menghadap lantai dua rumah adat itu.

Ayam kemudian diberikan satu per satu kepada wakil ketua adat sambil menyebut nama pemilik ayam. Wakil ketua adat dari rumah uma nekin adalah Wisus Bage, dan Gerardus Kopong sebagai wakil ketua adat dari uma wanan. Keduanya menerima ayam sambil mendoakan pemilik ayam di perantauan dan di Pulau Adonara.

Ayam kemudian dipotong setelah diserahkan kepada ketua adat, Philipus Laga, yang duduk di sebelah selatan. Darah ayam menetes pertama harus disiram pada sebuah batu kecil, halus, dan licin sebesar kepalan tangan orang dewasa. Batu ini diyakini sebagai wakil dari leluhur yang disebut ”Pehang Genak”. Leluhur ini diyakini sebagai ahli perang dan pelindung para perantau.

Ayam yang telah dipotong diberikan kepada pihak keluarga, yang juga laki-laki. Ayam dibersihkan lalu dibuka oleh ketua adat untuk memastikan apakah jantung dan hati ayam tersebut normal atau tidak.

Jika normal, berarti pemilik ayam itu sehat, masih panjang usia, terlindungi, dan memiliki rezeki yang cukup. Jika jantung dan hati ayam mengecil, bahkan membusuk atau terluka, itu pertanda bahwa orang yang didoakan bakal meninggal atau mengalami kesulitan.

Ayam itu harus diganti untuk mendapatkan jantung dan hati yang bagus. Bila orang yang didoakan ada di sekitar, ia harus mengakui kesalahan. Jika orang itu jauh di perantauan, wakil keluarga hanya menggantikan ayam sambil berjanji, orang di perantauan itu akan memberi bantuan uang bagi pembangunan di desa.

Pengamatan hati dan jantung ayam itu dilakukan ketua adat pukul 24.00 Wita. Sesuai dengan keyakinan, dewa langit dan dewi bumi pada malam itu akan bertemu dan melakukan perkawinan, simbol keselamatan, sekaligus sebagai pengadil, dan memberi pengampunan.

Malam itu, sesudah ketua adat mengamati 450 ayam tersebut, hati dan jantung ayam kemudian diambil, lalu dibakar untuk dipersembahkan kepada leluhur yang telah diundang datang ke lantai dua koke bale nuba erin. Penguasa dari para leluhur itu adalah Ama Rera Wulan-Ema Tanah Ekan, Bapa yang disimbolkan dengan Matahari dan Bulan, sementara Mama yang disimbolkan dengan Bumi dan segala isinya.

Melibatkan tetangga desa

Sambil proses adat berlangsung, orang tua, anak-anak, perempuan, dan laki-laki membawakan tarian adat yang disebut Liang Namang. Tarian berbentuk lingkaran ini diperagakan sambil menyanyikan lagu-lagu tradisional. Kegiatan ini juga melibatkan warga dari desa tetangga, seperti Watodei, Beludua, dan Beludua.

Pagi hari kaum pria memotong bambu dan memetik kelapa untuk memasak ayam tersebut. Ayam dimasak dengan parutan buah kelapa di dalam bambu. Di dalam bambu pula nasi dimasak.

Pukul 12.00 Wita semua pria diundang ke pelataran utama rumah adat. Mereka duduk bersila di tanah, membentuk lingkaran di hadapan tumpukan daging ayam dan nasi yang telah dibagikan para wakil ketua adat dan ketua suku. Nasi dan daging ayam itu ditaruh di atas daun waruh, simbol piring bagi para leluhur. Manusia bersama dewa langit dan bumi serta leluhur dan nenek moyang berpesta bersama. Terjadi perdamaian, keselamatan, dan kesejahteraan.

Laki-laki yang membawa ayam akan mendapat bagian khusus dari ayam yang disebut kle’e, yakni kepala, sayap, buntut, paha, dan kaki. Kle’e ini hanya dikonsumsi pria yang didoakan secara khusus. Jika pria itu ada di perantauan, ayah atau anak laki-laki sulung di rumah itu yang berhak memakannya. Daging lainnya dikumpulkan dan dibagi bersama.

Makan bersama diawali dengan pemberian makan kepada Rera Wulan Tanah Ekan oleh ketua adat di atas rumah tingkat dua. Bagian tubuh ayam yang disajikan untuk dewa langit dan dewa bumi adalah jantung ayam.

Seusai perjamuan adat, pukul 17.00 Wita ketua adat bersama kepala suku dari lima suku bersama tokoh adat dan penutur syair adat membawa sisa sesajian ke empat sudut desa. Di tempat yang ditandai dengan batu dan pohon beringin itu, mereka memberikan sesajian, sebagai simbol perlindungan terhadap desa dari berbagai penyakit dan bencana alam.

Para leluhur ini diyakini memiliki tingkatan. Tingkat tertinggi Rera Wulan Tanah Ekan, menyusul Ina Ama (leluhur utama), Nuba Nara (kumpulan para leluhur dari desa), dan Koda Kewokot (orang yang telah meninggal yang masih diingat kebanyakan orang).

Dalam upacara tuno manuk, leluhur dan nenek moyang dari desa ini dipanggil datang berkumpul di koke bale. Mereka diundang oleh ketua adat untuk menjalankan tugas memanggil pulang para perantau, sekaligus membela, menolong, dan melindungi mereka.

Bagi perantau yang belum mendapat pekerjaan, atas bantuan para leluhur, mereka diarahkan ke tempat yang benar-benar membutuhkan tenaga mereka. Setelah diterima bekerja, peran leluhur meyakinkan pimpinan setempat untuk memberi kemudahan dan perhatian terhadap orang bersangkutan.

Setelah sukses mendapatkan pekerjaan di perantauan, perantau harus mengirim uang secara sukarela (Rp 500.000) untuk membantu masyarakat di Demondei yang disebut gelekat lewo gewayan tanah, yang artinya membantu kampung halaman.