Banda Aceh, Kompas - Delapan anak balita asal Aceh pada triwulan pertama tahun 2008 meninggal dunia karena menderita gizi buruk. Kabupaten Aceh Besar menyumbang jumlah anak balita yang meninggal terbesar, yaitu tiga orang dalam kurun waktu tiga bulan (Januari- Maret 2008).
Hasil survei Data Dukung Gizi Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam tahun 2008 untuk periode pertama tersebut disampaikan Kepala Bidang Pembinaan dan Pelayanan Kesehatan Dinas Kesehatan NAD Evi Safrida dan Kepala Seksi Ibu, Anak, Usia Lanjut, dan Nutrisi Dinkes NAD Hasnani ketika ditemui di kantornya, akhir pekan lalu.
"Ini baru data sementara. Kami sedang melaksanakan pendataan dan survei untuk semester kedua dan sedang berjalan di seluruh wilayah NAD," kata Evi.
Evi mengatakan, masih banyaknya kasus gizi buruk di Aceh lebih disebabkan tidak meratanya pengetahuan ibu dan keluarga balita tentang gizi dan kesehatan. Selain itu, minimnya kemampuan keuangan keluarga untuk membeli makanan yang layak konsumsi, terutama untuk anak balita, membuat kondisi kesehatan anak-anak tidak baik.
Data Dukung Gizi Provinsi NAD tahun 2008, terdapat 103 kasus gizi buruk di wilayah ini. Jumlah kasus terbanyak terdapat di Kabupaten Pidie (29 kasus), Kota Lhok Seumawe (16 kasus), Kabupaten Bireuen (15 kasus), dan Kabupaten Aceh Utara (11 kasus).
Dari total 29 kasus gizi buruk yang ada di Kabupaten Pidie, sebanyak 26 di antaranya adalah marasmus. Adapun tiga sisanya masuk dalam kategori kwasiorkor.
Di Kabupaten Aceh Utara, dari 11 kasus anak balita terpapar gizi buruk, sembilan di antaranya termasuk dalam kategori marasmus. Dua anak balita lainnya termasuk dalam kategori kwasiorkor.
Di Kabupaten Aceh Besar, dari tiga anak balita yang meninggal akibat kasus gizi buruk, hanya satu orang yang terdeteksi oleh Dinas Kesehatan. Dua lagi yang meninggal dunia sama sekali tidak terdeteksi.
Menurut Evi, ada beberapa anak balita yang tidak terdeteksi karena tempat tinggal yang jauh dari pusat kesehatan masyarakat atau pos pelayanan terpadu. Namun, sering kali, menurut dia, minimnya pengetahuan para ibu tentang kondisi gizi dan kesehatan anak membuat pertolongan terhadap bayi-bayi mereka menjadi sangat kurang.
Hasnani menyatakan, pemberantasan penyakit gizi buruk (marasmus dan kwasiorkor) tidak hanya bisa dilakukan oleh Dinas Kesehatan semata. Menurut dia, kompleksitas penyebab terjadinya kondisi penyakit ini di masyarakat tidak hanya disebabkan masalah kesehatan saja.
"Permasalahan sosial, seperti kemiskinan, susahnya sarana penghubung dari tempat tinggal warga ke pos pelayanan kesehatan terdekat, serta rendahnya tingkat pendidikan, menjadi faktor pemicu. Tidak hanya masalah kesehatan semata," tuturnya.
Ibu-ibu, katanya, juga masih sangat kurang memahami pentingnya pemberian air susu ibu (ASI) untuk perkembangan anak mereka, terutama setelah proses persalinan. Menurut Hasnani, hanya sekitar 10 persen dari total 471.476 balita yang diberi ASI eksklusif oleh ibunya.
Lebih lanjut Hasnani menjelaskan, pemberian makanan tambahan tidak menjadi satu-satunya cara untuk mengurangi jumlah kasus gizi buruk di masyarakat karena cara ini hanya berlangsung antara dua hingga tiga bulan saja. Selebihnya, perbaikan gizi menjadi tanggung jawab orangtua dan keluarga. (MHD)
mhd
http://www.kompas.com/read/xml/2008/09/22/00101136/delapan.anak.balita.meninggal.akibat.gizi.buruk