-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

15 September 2008

Dua Hari, 3 TKI Dibunuh di Malaysia

Monday, 15 September 2008

Kuala Lumpur, Surya
- Dalam dua hari, tiga tenaga kerja Indonesia (TKI) menjadi korban pembunuhan keji di Malaysia, tempat mereka mencari rezeki. Dua korban di antaranya belum diketahui identitasnya. Sepasang warga Indonesia berusia 30-an tahun ditemukan tewas dengan leher tergorok di rumah mereka di Jalan Segambut Selangor. Dua insan yang tidak diketahui identitasnya itu ditemukan seorang pekerja bangunan, Sabtu (13/9) pukul 10.45 waktu setempat.

Menurut keterangan kepala polisi setempat, Asisten Komisaris II Ku Chin Wah, si perempuan dalam kondisi telanjang dan pasangannya tergeletak di sampingnya. "Kami yakin, pembunuhan ini terjadi kurang dari 24 jam yang lalu. Kami temukan palu penuh darah dan mungkin ini akibat cemburu," katanya.

Ku mengatakan polisi sedang mencari sejumlah pekerja bangunan untuk membantu mengungkap kasus ini. Ia mengatakan, polisi mendapat laporan sekitar pukul 10.47 dan kedua mayat itu kemudian dibawa ke Hospital Kuala Lumpur untuk diotopsi.

Sehari sebelumnya, Jumat (12/9), Siti Fatonah, seorang pembantu rumah tangga asal Cilacap, Jawa Tengah, tewas digorok majikan laki-lakinya. Insiden ini terjadi di rumah tempat ia bekerja di Taman Wawasan Puchong.

Menurut keterangan ibu pelaku, anaknya sedang bertengkar sengit dengan Siti yang juga dikenal dengan panggilan Shelly di ruang tamu. Lalu tiba-tiba pria 48 tahun itu menggorok leher Siti. Istri tersangka, Ang Sook Fen, 37, yang mencoba melerai juga dibunuh dengan cara sama.

Polisi datang ke rumah itu sekitar 10 menit usai kejadian, setelah mendapatkan laporan dari tetangga korban. Si pembunuh ditangkap polisi saat duduk di sofa sambil memandangi mayat istrinya yang tergeletak bersimbah darah.

Juru bicara Kedubes RI di Kuala Lumpur, Teguh Cahyono mengaku sudah mendapat laporan tentang pembunuhan itu. "Kami sudah mengirim staf ke Selangor dan mengatur pemulangan jenazah korban. Tetapi kami masih menunggu hasil otopsi," kata Teguh.

BP2TKI Cuci Tangan
Sementara itu, terkait banyaknya kasus kematian TKI di luar negeri ternyata tanpa sepengetahuan BP2TKI (Balai Pelayanan dan Penempatan Tenaga Kerja Indonesia) Jatim. Meski begitu, BP2TKI enggan disalahkan atas kasus ini.

Drs Widodo, Kasi Perlindungan BP2TKI Jatim mengatakan jumlah TKI yang meninggal dalam tahun 2008 ini tidak sebanyak catatan Serikat Buruh Migran Indonesia (SBMI) yang menyebutkan ada satu TKI meninggal dalam sehari. "Kalau data di kami tidak sampai sehari ada satu TKI meninggal.

 Bahkan sebulan saja belum tentu ada. Tahun 2007 saja kami mencatat cuma ada 13 TKI asal Jatim yang meninggal di luar negeri," kata Widodo saat dihubungi Surya, Minggu (14/9).

Meski begitu, Widodo tidak berani membantah jika SBMI memiliki data tersebut. Dia menduga kebanyakan TKI yang meninggal dan dikirim ke Juanda ini bukan TKI legal, melainkan TKI yang berangkat tanpa surat resmi (ilegal). Karena jika legal, tentu informasi sudah diterimanya.

Diakui Widodo, meski secara kelembagaan BP2TKI tidak ada ikatan organisatoris dengan BNP2TKI (Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI), namun informasi tentang keadaan TKI di luar negeri masih ada. Termasuk masalah kematian TKI. "Kami juga melaporkan ke BNP2TKI kalau ada masalah dengan TKI di Jatim. Dan dari BNP2TKI serta KBRI juga memberikan laporan," katanya.

Kepada TKI yang legal, Widodo meminta untuk melapor jika ada kematian TKI. Dan dia siap mengurus hak-haknya seperti hak asuransi kematian Rp 40 juta, sisa gaji serta biaya pemulangan jenazah. "Kalau non prosedural ya tidak ada fasilitas itu," ujarnya.

Secara terpisah, Moch Cholily, Ketua SBMI Jatim mengungkapkan permasalahan TKI ini berpangkal pada peramsalahan di dalam negeri. Diawali dengan kurangnya informasi tentang prosedur menjadi TKI yang baik dan benar. Akibatnya mereka terjebak dalam sindikat perdagangan orang.

Kondisi ini ditambah dengan tingkat pendidikan yang rendah. Hal ini tidak terlepas dari kurangnya lembaga pendidikan TKI yang memiliki kompetensi. Disisi lain, pengawasan dari dalam negeri sangat kurang. "Ini semua hanya bisa diatasi jika ada law enforcement serta ada jaminan dari pemerintah. Jaminan bisa berupa hak asuransi, kesehatan dan psikologis," ujar Cholily. sas/ap/thestar/uus