Selasa, 12 Agustus 2008 19:48 WIB
Jatam: Tutup Paksa dan Ambil Alih Perusahaan Tambang Penunggak Royalti
Penulis : Sopia Siregar
JAKARTA--MI: Buruknya pengurusan sektor pertambangan, membuat pemerintah tidak bisa tegas memaksa perusahaan tambang membayar tunggakan royalti batu bara hingga 7 tahun lebih. Padahal, tidak sulit memaksa perusahaan menghentikan kegiatan mereka. Hal itu diungkapkan koordinator Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) Siti Maimunah, dalam konferensi pers, di Jakarta, Selasa (12/8). "Sudah terlalu banyak kemewahan diberikan negara ini terhadap pelaku pertambangan asing. Salah satunya perlakuan Lex Spesialis, yang disebut-sebut perusahaan tercantum dalam PKP2B, yang ditandatangani bersama pemerintah Indonesia," tandas Maimunah.
Gara-gara ini, jika ada peraturan yang merugikan mereka karena bertentangan dengan Kontrak Karya, negara harus membatalkannya atau mengganti kerugian yang muncul. Itulah alasan yang dipakai dengan keluarnya PP No 144 tahun 2000 tentang jenis barang dan jasa yang tidak dikenakan pajak pertambahan nilai. Dan alasan itu, enam perusahaan tambang asing semena-mena tak mau membayar royalti batu bara selama lebih 7 tahun.
"Ini akumulasi salah urus sektor tambang, yang memperlakukan batu bara hanya komoditas dagang. Beberapa pelajaran penting dari kasus ini, harus segera diurus pemerintah," tandasnya.
Akibatnya buruk, korporasi tambang sudah tak malu-malu lagi menyandera bagian negara, disaat keuntungan yang mereka dapat berlipat. Sementara itu Indonesia, dengan pendapatan ala kadarnya dari pengerukan batubara, tak berdaya ditekan begitu rupa.
Sudah waktunya mengembalikan kedaulatan negara mengurus bahan tambangnya. Sangatlah menggelikan, jika pemerintah hanya berani mencekal 14 pimpinan perusahaan yang menyandera royalti. Juga KPK berani memeriksa pejabat negara dan perusahaan yang terkait dengan kasus penunggakan royalti ini.
"Harusnya pemerintah mengerahkan aparatnya untuk menutup dan menghentikan kegiatan perusahaan. Selanjutnya mengambil alih kegiatan perusahaan dan dikelola oleh perusahaan negara dengan cara yang lebih menguntungkan negara, adil, menjamin pasokan domestik dan keselamatan rakyat sekitarnya," tandasnya.
Ada beberapa alasan, pertama, tak ada istilah rugi untuk perusahaan batubara yang berproduksi di Indonesia. Mereka hanya serakah dan tak mau menurun labanya. Keenam perusahaan telah menangguk keuntungan luar biasa karena menguasai 60% lebih produksi batu bara Indonesia, yang sebagian besar diekspor..
Tahun lalu, produksi batubara mencapai 207,5 juta ton. Belum lagi windfall profit dalam tujuh tahun terakhir bersama naiknya harga batu bara dunia. Bisa dibayangkan berapa tambahan keuntungan yang mereka raup, jika tahun 2006 harga batubara mencapai US$50 per ton, tahun ini mencapai US$120 per ton.
Kedua, Perusahaan tambang batu bara di Indonesia mendapat subsidi publik. Melalui peraturan pertambangan dan lingkungan yang buruk di negara ini, mereka tak perlu membayar biaya-biaya daya rusak pertambangan. Mulai menurunnya kualitas hidup warga sekitar pertambangan – akibat penggusuran lahan, kerusakan hutan, krisis air, gangguan kesehatan, rusaknya jalan umum, konflik sosial di sekitar pertambangan, hingga lubang-lubang yang akan ditinggalkan begitu saja saat mereka tutup. Semua itu ditanggung oleh warga sekitar pertambangan.
Di sekitar tambang PT Adaro dan PT Arutmin, sumber-sumber air warga rusak karena pengerukan dan mengalami krisis air. Warga sekitar Kideco Jaya Agung, tak hanya mengalami krisis air, beberapa kampung harus pindah akibat banjir dan rusaknya sungai. Kejadian-kejadian ini ditemukan di hampir semua lokasi pertambangan skala besar di Indonesia.
Ketiga, Bentuk Kontrak Karya Pertambangan baik KKB dan PKP2B, menempatkan pemerintahan pada posisi dilematis. Kontraktor menjadi sederajat kedudukannya dengan Pemerintah selaku Prinsipal dalam kontrak. Dengan demikian kontrol negara atas kegiatan pertambangan menjadi sangat lemah. Perusahaan selalu menggunakan kontrak sebagai tameng, sekaligus alat gertak, jika mereka ditekan karena kelakuan buruknya.. Salah satu gertakan empuk adalah memperkarakan negara ke peradilan internasional karena tidak menghormati kontrak.
Demi keuntungan mereka, cara- cara di atas diterapkan pada kasus lainnya mulai kasus larangan penambangan di hutan lindung, pencemaran Teluk Buyat oleh PT Newmont Minahasa Raya, divestasi oleh PT Newmont Nusa Tenggara dan banyak lagi. Disamping model Kontrak Karya yang merugikan negara, sikap pemerintah yang tidak tegas dan menghamba pada investor, membuat cara di atas efektif menekan pemerintah.
Keempat, Patut dipertanyakan Presiden Yudhoyono--yang saat itu menjabat Menteri Pertambangan dan Energi di masa presiden Gus Dur, mengeluarkan PP No 144 tahun 2000 yang merugikan negara di sektor pertambangan. Akhirnya mencuat PP ini secara khusus memasukkan barang hasil pertambangan atau hasil pengeboran, yang diambil langsung dari sumbernya, tidak dikenakan Pajak Pertambahan Nilai. Ini meliputi minyak mentah (crude oil), gas bumi, panas bumi, pasir dan kerikil, batu bara, bijih besi, bijih timah, bijih emas, bijih tembaga, bijih nikel, dan bijih perak serta bijih bauksit.
PP ini jelas menguntungkan pebisnis dan negara tujuan ekspor, karena pembelian bahan-bahan tambang - yang tidak terbarukan ini menjadi bebas pajak, apalagi Indonesia mengekspor sebagian besar dalam bentuk bahan mentah. Entah sengaja atau lalai, presiden membiarkan PP ini terus berlaku hingga mencuat kasusnya dan dipakai tameng oleh pelaku pertambangan menyandera royalti batu bara.
Kelima, Purnomo Yusgiantoro yang menjadi Menteri Pertambangan dan Energi menggantikan Yudhoyono kemudian, hingga tiga periode kepresidenan berikutnya dengan sengaja membiarkan PP No 144 tahun 2000 dan keenam perusahaan menunggak royalty batubara hingga tujuh tahun lebih. Ia dan para pejabat Departemen ESDM malah menyurati Menteri Keuangan agar membayar PPN perusahaan batubara dimaksud.
"Menimbang berbagai hal di atas, terlihat buruknya pengurusan sektor tambang, khususnya tambang batu bara. Sumber daya energi ini malah menjadi komoditas dagang yang sejak lama merugikan negara - dengan berbagai cara.. Mulai lewat bentuk perjanjian Kontrak Karya – berupa KKB dan PKP2B, keluarnya peraturan macam PP No 144 tahun 2000, surat-surat Menteri ESDM dan para pejabatnya. Dan celaka dua belas, pemerintah membiarkan hal itu terus berlangsung," papar dia. (Pia/OL-03)http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=MjI4ODQ=
