-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

03 September 2008

Pendidikan Anak TKI di Malaysia Telantar

Rabu, 03 September 2008 03:38 WIB
Pendidikan Anak TKI di Malaysia Telantar
JAKARTA--MI: Meski pemerintah sudah berusaha memperbaiki akses pendidikan bagi anak-anak tenaga kerja Indonesia (TKI) dengan mengirimkan guru ke Malaysia namun hingga kini mereka belum bisa menikmati pendidikan yang layak.

Hal itu diungkapkan oleh guru-guru tidak tetap yang selama dua tahun menjalankan tugas dari pemerintah untuk mengajar anak-anak TKI di wilayah Sabah, Malaysia, di Jakarta, Selasa.

Menurut para guru yang tergabung dalam Forum Guru Tidak Tetap Sabah (FGTTS) itu, sebagian besar anak-anak TKI usia di bawah 15 tahun di Malaysia hingga kini belum bisa memperoleh pendidikan layak dan sebagian diantaranya bahkan sama sekali tidak bisa menikmati pendidikan yang tidak layak sekalipun.

"Jumlah anak TKI yang berusia di bawah 15 tahun di Malaysia diperkirakan sekitar 72 ribu, sedangkan jumlah anak yang mendapat pelayanan bimbingan belajar di Sabah hanya sekitar 8.000 anak," kata Ketua FGTTS, Tetep Saipul.

Anak-anak yang sehari-hari terpaksa harus ikut bekerja sebagai tukang pungut biji sawit dengan bayaran sekitar satu Ringgit Malaysia per karung berkapasitas sekitar 50 kilogram itu, jelas dia, belajar di pusat bimbingan belajar yang dikelola oleh satu-satunya organisasi nonpemerintah di wilayah tersebut yakni Humana Child Aid Society dengan membayar antara 10-30 Ringgit Malaysia (1 Ringgit Malaysia = Rp2.714).

Sebanyak 109 guru tidak tetap yang dikirim pemerintah Indonesia ke Malaysia pun mengajar pada pusat-pusat bimbingan belajar milik Humana dengan gaji Rp.937.500 dari pemerintah Indonesia.

"Kami mengajar di sana bersama guru lain dari Malaysia dan Filipina," kata Tetep.

Ia kemudian menjelaskan, di pusat bimbingan belajar tersebut pelajaran tidak diberikan per kelas. Di sana semua anak dari berbagai umur belajar dalam satu ruangan dengan satu pengajar. Materi yang diajarkan 80 persennya sesuai dengan kurikulum pendidikan Kementrian Pendidikan Malaysia berupa pelajaran berhitung, sains dan bahasa Inggris.

"Sisanya muatan Indonesia seperti sejarah, PPKn dan nasionalisme," paparnya.

Anak-anak yang belajar di pusat bimbingan belajar tersebut, katanya, juga tidak bisa mendapatkan sertifikat atau tanda kelulusan yang bisa digunakan untuk melanjutkan ke jenjang sekolah yang lebih tinggi.

Akibatnya, kata Tetep, mereka hanya bisa membaca, menulis, berhitung dan menguasai pengetahuan umum saja sehingga selanjutnya tidak punya pilihan lain kecuali mengikuti pekerjaan para orang tua yang sebagian besar buta huruf menjadi kuli berpenghasilan sangat rendah di negeri jiran.

Karena prihatin dengan nasib anak-anak yang sebagian besar telapak tangannya rusak karena setiap hari memungut sawit itu, kata anggota FGTTS Khoirul Wajid, guru-guru dari Indonesia kemudian berinisiatif membawa mereka untuk melanjutkan belajar di Nunukan, Kalimantan Timur, dengan uang mereka sendiri.

"Kami iuran untuk mengantar mereka ke Nunukan supaya bisa sekolah, di sana ada sekolah Hidayatullah dan Gabriel yang bersedia memberikan pendidikan secara gratis. Sekarang beberapa murid sudah ada yang melanjutkan ke SD dan SMP di sana," katanya serta menambahkan ongkos yang diperlukan untuk mengantar seorang anak TKI ke Nunukan sekitar Rp1 juta.

Lebih lanjut Khoirul menjelaskan, saat ini Humana memiliki 123 pusat bimbingan belajar namun jumlah pusat bimbingan belajar yang aktif hanya 92 unit dengan jumlah murid kurang lebih 8.000 anak.

"Tapi tidak semua anak yang ada di wilayah kerja Humana bisa sekolah karena orang tua mereka rata-rata tidak punya dana untuk menyekolahkan mereka. Pendapatan mereka terlalu kecil untuk itu," tambah Supervisor Guru Tidak Tetap dari Departemen Pendidikan Nasional di Sabah, Kamal Fikri.

Khoirul dan rekan-rekannya berharap, pemerintah segera turun tangan memperbaiki kondisi pendidikan anak-anak TKI yang sangat mengenaskan itu dengan memperbaiki program pendidikan bagi anak-anak TKI yang selama ini dijalankan.

"Pemerintah harus mengevaluasi program ini dan memperbaiki manajemen pelayanan pendidikan bagi anak TKI," katanya.

Menurut Kamal, sebaiknya pemerintah melakukan negosiasi dengan pemerintah Malaysia supaya bisa membangun fasilitas sekolah di perkebunan-perkebunan tempat TKI bekerja.

"Karena tanpa itu, sepertinya mustahil anak-anak itu bisa mendapatkan pendidikan yang layak sesuai dengan standar kita di sini. Selama ini pemerintah Malaysia sepertinya tidak mau membuka peluang bagi anak-anak TKI untuk belajar di sekolah Malaysia," demikian Kamal. (Ant/OL-06)
http://www.mediaindonesia.com/index.php?ar_id=Mjc0ODY=