-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

21 November 2008

Gaji TKI Singapura Naik Bertahap

Jawa Pos, Senin, 17 November 2008

Kedubes RI di Singapura punya cara jitu melindungi dan memperbaiki nasib TKI (Tenaga Kerja Indonesia) di negeri itu. Salah satunya, membuat ketentuan yang mengikat para majikan untuk mempertimbangkan kenaikan gaji para TKI yang bekerja kepada mereka secara bertahap.

TKI yang menjadi pembantu rumah tangga dikategorikan sebagai PLRT (penata laksana rumah tangga). Dari penelusuran wartawan Jawa Pos yang baru pulang dari negeri Singa itu, 80 ribu di antara 180 ribu PLRT (penata laksana rumah tangga), berasal dari Indonesia.

Itu adalah jumlah terbanyak, baru disusul Filipina (70 ribu PLRT) dan sisanya dari Myanmar dan Sri Lanka.

Sejak awal tahun ini KBRI (Kedutaan Besar RI) di Singapura membuat berbagai terobosan untuk melindungi para TKI. Terutama dari aspek hukum.

Di antaranya, petugas di KBRI Singapura memfasilitasi penandatanganan perjanjian kontrak antara PLRT dan majikannya. Dalam hal itu, KBRI mempertemukan langsung majikan dengan PLRT di hadapan petugas KBRI.

''Artinya, setiap perpanjangan kontrak harus ada perwakilan KBRI yang dilibatkan. Tempatnya juga harus di KBRI,'' kata Wardana.

Komponen penting dari kontrak kerja antara PLRT dan majikannya itu tentang off day (hari libur) dan kenaikan gaji secara bertahap. ''Gaji minimalnya SGD 350 (sekitar Rp 2,6 juta),'' ujar pria asal Klaten itu.

''KBRI hanya memastikan hak-hak PLRT tersebut dipenuhi majikan dan dituangkan dalam kontrak kerjanya,'' sambungnya.

Terobosan memfasilitasi perpanjangan kontrak itu tergolong baru. Di KJRI Hongkong memang ada legalisasi dokumen, tapi tidak mempertemukan majikan dengan PLRT secara langsung.

Kontrak kerja itu lantas disahkan di hadapan notaris publik. Dulu ada biaya SGD 140, namun kini digratiskan.

Kontrak kerja tersebut harus diketahui Departemen Tenaga Kerja Singapura (Ministry of Man Power -MoM), meski tidak menjadi syarat untuk membuat work permit bagi PLRT yang akan bekerja di Singapura.

Wardana menjelaskan, perjanjian kerja itu menjadi acuan bagi otoritas Singapura ketika ada masalah antara PLRT dan majikannya. ''Kalau ada dispute antara majikan dan PLRT-nya, kontrak kerja itu menjadi acuan,'' tuturnya.

Sang majikan juga harus menyetor SGD 5 ribu (Rp 37 juta) sebagai security deposit. Dana itu akan disita jika ada hak-hak PLRT yang tak dipenuhi majikan.

Menurut Wardana, permasalahan PLRT memang kompleks. Namun, dia meminta agar yang diekspos ke publik bukan hanya terkait kasus-kasus hukumnya. Sebab, kenyataannya, jumlah PLRT yang berhasil jauh lebih banyak daripada yang gagal. ''Biar keluarga mereka di kampung juga tenang dan tidak selalu waswas dengan nasib PLRT di luar negeri,'' tuturnya.

Upaya terobosan yang dilakukan KBRI Singapura itu dirasakan sangat bermanfaat bagi TKI, terutama yang menjadi PLRT. Seperti penuturan Emiyanti, salah seorang PLRT di Singapura yang mengaku kini bergaji Rp 5 juta per bulan.

''Dari gaji saya itu, saya sekarang sudah punya warung makan dan usaha jual beli pasir di kampung,'' kata wanita 29 tahun asal Prabumulih yang sudah 12 tahun bekerja di Singapura itu.

Emiyanti adalah contoh kisah PLRT yang bernasib baik di Singapura. Meski demikian, masih saja ada yang bernasib tak sebaik Emi. Shelter TKI di Negeri Singa itu masih saja dipenuhi TKI dengan beragam kasus, mulai penganiayaan hingga TKI yang terluka akibat kabur dari majikan.

Sebagai gambaran, tahun lalu terdapat 1.387 kasus yang membelit TKI. Jumlah itu hanya 1,6 persen dari jumlah TKI. ''Bedanya dengan Malaysia, di Singapura tak ada TKI yang berstatus ilegal,'' katanya.

Organisasi PLRT di Singapura

Di Singapura, para PLRT kini punya wadah untuk berorganisasi. Namanya, Himpunan Penata Laksana Rumah Tangga Indonesia di Singapura (HPLRTIS).

Di wadah organisasi itu para PLRT bisa saling berbagi dan meningkatkan keterampilan. Namun, langkah itu pun bukan tanpa kendala. ''Tapi, ada juga majikan yang sulit menerima kalau PLRT-nya ikut organisasi,'' kata Sumarni Markasan, ketua HPLRTIS.

''Kamu datang ke Singapura untuk bekerja, bukan untuk berorganisasi,'' kata Mary -panggilan karib Sumarni- menirukan pernyataan sejumlah majikan yang sering didengarkan dari cerita teman-teman sesama PLRT.

Namun, dia tak patah arang. Mary dan teman-temannya terus membuka pandangan para majikan. ''Saya presiden asosiasi, apakah Anda lebih suka pekerjamu keluar (rumah) tanpa tujuan yang jelas, atau keluar untuk berorganisasi,'' demikan Mary berkata kepada majikannya.

Akhirnya, pelan tapi pasti, HPLRTIS terus berkembang. ''Memang, jumlah anggotanya masih belum banyak. Pelan-pelan coba kita tingkatkan,'' kata Mary. Saat ini sudah ada 500 PLRT yang terdaftar resmi menjadi anggota. ''Tapi, formulir anggota baru sudah numpuk, Mas. Sekarang masih kami masukkan datanya,'' kata Mary.

Mary memang bukan PLRT biasa. Gaya bicaranya runtut, apa adanya, dan ceplas-ceplos, tapi tetap terkesan hati-hati agar tak ada salah kata yang terucap. Kemampuan berbahasa Inggrisnya di atas rata-rata. Dia pun mahir mengoperasikan komputer.

Pengorbanan Mary untuk rekan-rekannya juga tak diragukan. Dalam wawancara di tempat terpisah, Dubes RI untuk Singapura Wardana bercerita, Mary pernah secara spontan menggunakan uang pribadi Rp 10 juta untuk mendukung partisipasi rekan-rekannya sesama PLRT dalam sebuah acara festival budaya.(eri/iw/kum)