18 Desember 2008
Kurniawan Tri Yunanto
VHRmedia.com, Jakarta - Tidak terdaftarnya lebih dari 5 juta buruh migran dalam Pemilihan Umum 2009, dinilai sebagai bentuk tidak seriusnya pemerintah dalam memenuhi hak politik BMI.
Menurut Anis Hidayah Direktur Eksekutif Migrant Care, jumlah daftar pemilih tetap luar negeri yang ditetapkan Komisi Pemilihan Umum, tidak mencerminkan jumlah buruh migran yang bekerja di luar negeri. "Ini sangat mengherankan. Seharusnya DPT luar negeri untuk Pemilu 2009 lebih besar dari Pemilu 2004," kata Anis Hidayah, Rabu (17/12).
Anis mengatakan, jumlah DPT luar negeri yang dikeluarkan KPU perlu dipertanyakan, khususnya dari cara penghitungan hingga penentuan hasil akhir. Sebab menurut dia, setiap negara tempat BMI bekerja, memiliki karakteristik yang berbeda.
Di Singapura, Hongkong, Taiwan, Malaysia dan negara Timur Tengah misalnya, buruh migran mayoritas bekerja pada sektor rumah tangga. "Pendataan ini didasarkan pada PRT yang mendaftar ke KBRI, atau ada upaya jemput bola datang ke majikan. Ini harus diperjelas," ujar Anis.
Menurut Anis, KPU juga terkesan mengabaikan hak pilih calon buruh migran yang berada di tempat penampungan penyalur jasa tenaga kerja. Berdasarkan data Migrant Care, setidaknya terdapat 499 perusahaan jasa penyalur tenaga kerja Indonesia.
Anis mengakui, berdasarkan pengalaman Pemilu tahun 2004, partisipasi pemilih di luar negeri masih rendah, terutama dari kalangan buruh migran sektor rumah tangga. Selain karena terbatasnya akses informasi pemilu, minimanya partisipasi juga disebabkan tidak adanya izin keluar rumah dari majikan.
Menurut Anis, hambatan ini akan terjadi kembali pada Pemilu 2009. Apalagi, jumlah partai politik semakin banyak dan terjadi perubahan tata cara pemilihan yang membutuhkan sosialisasi lebih gencar. "Harus ada regulasi khusus tentang pemilu di luar negeri, untuk menjamin pemenuhan hak politik buruh migran," kata Anis. (E1)