"Dibandingkan dengan intervensi lain, seperti suplementasi zat gizi, fortifikasi lebih murah dan efektif mengingat luasnya defisit zat gizi mikro," kata Ketua Umum Persatuan Ahli Gizi Indonesia Arum Atmawikarta, Kamis (1/1) di Jakarta.
Pelaksanaan fortifikasi telah berjalan sekitar 35 tahun sejak dicanangkan penambahan yodium pada garam, sedangkan penambahan zat besi dalam tepung terigu baru lima tahun ini.
Akan diperkuat
Terkait hal itu, dalam rencana pembangunan jangka panjang tahun 2010-2014, kebijakan fortifikasi akan diperkuat. Vitamin A dan zat besi, misalnya, dinilai perlu ditambahkan ke dalam wadah fortifikasi seperti garam karena tingginya angka defisit zat gizi itu pada ibu dan anak.
"Perlu ada regulasi wajib fortifikasi beberapa zat gizi mikro," kata Arum yang juga Direktur Kesehatan dan Gizi Masyarakat Badan Perencanaan dan Pembangunan Nasional.
"Zat gizi mikro merupakan bagian tak terpisahkan dengan metabolisme tubuh. Karena itu, program intervensi gizi perlu segera dilakukan untuk mengatasi masalah zat gizi mikro rendah agar dapat mencegah kehilangan kualitas sumber daya manusia," kata Prof (riset) Komari dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes.
Proses fortifikasi secara konvensional dilakukan dengan menambahkan zat gizi mikro ke dalam formulasi makanan, misalnya, yodium pada garam atau zat besi pada tepung terigu. Namun, bila zat gizi yang ditambahkan bisa bereaksi dan menghasilkan cita rasa, warna, dan aroma pada bahan makanan yang tidak diterima konsumen, perlu digunakan stabilisator.
Evy Rachmawati
Sumber : Kompas Cetak