http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/27/02513192/dari.kematian.hingga.gangguan.jiwa Dari Kematian hingga Gangguan Jiwa Senin, 27 Juli 2009 | 02:51 WIB Antin meninggal di Ha'il, 700 kilometer sebelah barat laut Riyadh. Majikan Antin, terdiri dari suami, istri, dua anak, dan tiga keponakan, kini mendekam di penjara.. Mereka diduga menganiaya Antin sampai Antin tewas. Surat resmi dari Perwakilan Tetap RI di Riyadh mengabarkan, Antin tewas dengan luka bakar. Pejabat Kedutaan Besar RI di Riyadh menyampaikan hal itu kepada Menteri Luar Negeri, dan Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi, sambil meminta izin memakamkan Antin di Arab Saudi akhir Mei 2009. "Kami ingin jenazah Antin secepatnya pulang. Kami ingin memakamkan Antin di sini," ujar Karmini (62), ibu kandung Antin, sambil menyeka air mata, Jumat (24/7) malam, di rumahnya di Gedebage, Kota Bandung, Jawa Barat. Antin berangkat ke Arab Saudi pada 17 September 2007 lewat Jakarta. Apabila tidak ada aral melintang, kontrak kerjanya berakhir September 2009 dan ia bisa pulang ke Tanah Air. Selama 19 bulan di Arab Saudi, Antin hanya tiga kali menelepon keluarganya, dalam bulan Juli 2008. Saat itu Antin sempat berujar, "Anaknya banyak." Dalam pembicaraan singkat itulah, Antin meminta Karmini membuat rekening bank untuk menampung kiriman gaji yang dijanjikan majikan. Namun, uang itu tak pernah terkirim. Karmini malah menerima kabar pilu kematian Antin. Sejak menerima kabar itu, 7 Juni malam, suasana duka menyelimuti rumah petak berukuran 3,5 meter x 12 meter di Jalan Gedebage Selatan, RT 03 RW 06, Kelurahan Derwati, Kecamatan Rancasari, Bandung. Ketiga anak Antin, Willy Hendriansyah (11), Yoga Permana Putra (6), dan Karina Puspita Ayu (4,5), kehilangan gairah. "Yoga masih belum menerima. Ia marah setiap saya mengaji. 'Emak masih hidup, tidak usah dingajiin, Nek,' katanya," tutur Karmini didampingi kerabatnya, Tuti Suhaeti (49) dan Warsih (49). "Kalau sudah begitu, biasanya ia terus masuk kamar dan menangis di kasur. Kita sih selalu menasihati, ya nenek, kan, mengaji untuk mendoakan supaya semuanya selamat," ujar Warsih. Antin ditinggal kabur suaminya, Henhen (32), saat Karina berusia tujuh bulan. Selama ini Karmini, Abah Samak, dan Dadan Kadarusman (29)—adik bungsu Antin—yang mengurus semua kebutuhan Antin dan ketiga anaknya. Karmini menjadi pembantu rumah tangga dengan gaji Rp 300.000-Rp 400.000 per bulan di kompleks perumahan di dekat terminal peti kemas Gedebage sambil merawat Karina. Dadan menjadi petugas satpam di kompleks yang sama, dengan gaji Rp 500.000 per bulan. "Kami yang membiayai semua. Pekerjaan rumah saya yang melakukan. Sejak menikah, Antin hanya ngurus anak," tutur Tuti. Saat anak kedua mulai sekolah, Antin ingin bekerja. Namun, hanya ijazah sekolah dasar yang ia miliki. Cerita manis kesuksesan tetangganya yang bekerja di Arab Saudi menggugah Antin untuk bekerja di sana. Berbekal modal Rp 2 jutaan, hasil arisan Dadan di tempat kerja, Antin mendaftar menjadi TKI ke Arab Saudi. Hanya dua bulan Antin di penampungan, ia pun diberangkatkan dengan kontrak kerja sebagai pembantu rumah tangga bergaji 800 riyal (Rp 2,1 juta) per bulan. "Waktu dia pamitan, kami sudah menakut-nakuti, Teh (Kak) Antin kalau di Arab banyak yang jadi korban majikan. Dia hanya jawab, 'Kumaha milik (bagaimana nasib),' sambil mengusap wajah ketiga anaknya, dan menitipkan mereka ke semua orang di sini," ujar Eneng, menantu Warsih. Mereka melepas Antin ke Arab Saudi dengan gundah gulana. Kini Antin pergi untuk selamanya. Janji menikahkan Dadan sepulang dari merantau tak sempat dilaksanakan. "Kang Dadan bilang kalau saya menikah, siapa yang ngurus anak Teh Antin," kata Eneng. Saat ditanya soal ini, Dadan tak kuasa menjawab. Ia hanya menatap Yoga, Willy, dan Karina yang tertidur pulas beralas kasus tipis di lantai di sebelahnya. "Harapan kami sekarang tinggal jenazah Antin supaya anak-anaknya tidak bertanya di mana kubur emaknya nanti kalau sudah besar. Kami mohon bapak pemerintah dan semua pihak membantu supaya jenazah dan hak-hak Antin bisa cepat pulang," ujar Karmini. Tekanan berat selama bekerja di luar negeri juga bisa membuat TKI mengalami gangguan jiwa. Enok (28), warga Desa Tanjungsari, Kecamatan Cangkuang, Kabupaten Bandung, masih trauma akibat kekerasan fisik yang dialaminya selama tiga bulan bekerja di Tabuk, Arab Saudi. Saat ditemui di rumah berdinding bambu berukuran 4 meter x 3 meter, wajah Enok yang semula berseri-seri seketika muram. "Saya sudah baikan. Tidak perlu diungkit lagi," ujarnya pelan. Emin (45), sepupu ipar Enok, yang mendampinginya, menuturkan, Enok membisu dan banyak melamun selama satu bulan sepulang dari Arab Saudi, akhir Februari. Selama bekerja, Enok kerap dipukul majikan. Sekujur tubuhnya penuh luka memar, juga di pergelangan tangan, lutut, siku, dan tengkuk. Enok pun pulang tanpa gaji, sebelum kontrak berakhir, dan hanya memakai pakaian di badan. Kini Enok hanya mengurus anak di rumah sambil membantu saudara iparnya membuat kerupuk untuk dijual. |
27 July 2009
Dari Kematian hingga Gangguan Jiwa
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Monday, July 27, 2009
Label: Buruh migran