http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/24/0309300/tinggalkan.nafsu.berebut.rezeki FOKUS Tinggalkan Nafsu Berebut Rezeki Jumat, 24 Juli 2009 | 03:09 WIB Kebijakan sekolah gratis ibarat menu cuci mulut sehabis menu utama sekian kebijakan yang serba kontroversial. Iklan sekolah gratis yang menggebu-gebu ditayangkan dengan jargon "orangtua jadi loper koran anak jadi wartawan" dan "anak sopir angkot dapat jadi pilot" justru membingungkan masyarakat. Iklan boong-boongan! Rupanya ada perbedaan konsep antara pemerintah dan masyarakat. Menurut pemerintah, sekolah gratis artinya murid tidak dipungut sumbangan pembinaan pendidikan (SPP). Menurut masyarakat artinya gratis beneran, cuma-cuma, tak usah bayar. Untuk sekolah negeri, pemerintah menutup SPP lewat bantuan operasional sekolah (BOS). Siswa, murid, peserta didik memang tak dipungut SPP, tetapi diminta membayar uang kalau mau memperoleh fasilitas dan praksis pendidikan lebih baik. Alasannya, jumlah nominal BOS minim. Mana yang gratis? Gratis, kok, bayar! Ya bingung! Tentu lain cerita sekolah swasta karena hidup-matinya tidak tergantung BOS. Kebijakan buku sekolah ibarat kopi panas atau teh panas sebelum jamuan makan berakhir. Kebijakan terakhir, ditabalkan lewat Peraturan Menteri Pendidikan Nasional (Permendiknas) Nomor 2 Tahun 2008 mengenai buku elektronik, sebenarnya merupakan salah satu episode kebijakan buku sekolah selama ini. Dalam hal buku sekolah, terbentang beragam keputusan dan kebijakan, sistem dan pelaksanaan, mulai dari sekolah dipersilakan menentukan sendiri buku pendamping sementara buku wajib disediakan (diterbitkan) oleh pemerintah (Balai Pustaka), hingga yang terakhir demi ketersediaan buku dengan harga murah, diberlakukan kebijakan buku elektronik yang diawali dengan Permendiknas No 11/2005 mengenai masa berlaku buku sekolah lima tahun, dilanjutkan pembelian hak cipta oleh pemerintah. Alih-alih mengaitkan kurikulum atau penulis buku, akar masalah buku sekolah adalah rebutan rezeki. Bagi penerbit, ikut serta dalam penerbitan buku sekolah adalah rezeki besar untuk menutup kecilnya pemasukan dari penerbitan buku yang kurang laku di pasaran. Di kalangan penerbit, berlaku pula kebijakan biaya silang, bagian dari kiat menyelenggarakan paduan usaha idealisme dan bisnis. Buku elektronik, kebijakan terakhir mengatasi buku sekolah, dikonsep untuk mengatasi keluhan orangtua. Pemerintah membeli hak cipta sejumlah naskah buku berdasar hasil penilaian Badan Standar Nasional Pendidikan (BSNP). Buku yang disetujui kemudian diunggah dan masyarakat bisa mengunduhnya dari internet. Maksud kebijakan itu baik: harga buku murah, orangtua tidak usah repot setiap awal tahun ajaran. Rupanya tak disadari, Indonesia bukanlah Jakarta. Di daerah-daerah terpencil, terutama di luar Jawa, banyak yang belum bisa mengunduh bahan dari internet. Alih-alih luar Jawa, bahkan di sekitar Jakarta ada yang tak bisa mengunduh. Dalam hal ini, pemerintah bukannya tidak cerdas. Penerbit dipersilakan mengunduh, mencetak, dan menjual sesuai ketentuan harga patokan tertinggi. Penerbit sekaligus pencetak, yang kemudian disusul orang berinisiatif melakukan hal sama, termasuk guru, terakhir demi anak didik. Lain kebijakan lain pula pelaksanaan. Tidak hanya sulit diunduh, bahan buku yang diunggah pun belum lengkap. Belum semua buku mata pelajaran sudah diunggah oleh BSNP, padahal tahun ajaran sudah mulai. Keadaan ini membuat maksud membuat harga murah tidak terjadi. Harga buku jadi mahal (kembali). Orangtua dipaksa membeli karena didesak kebutuhan, karena buku adalah syarat integral praksis pendidikan. Kebijakan buku murah pun gagal. Kopi penutup jamuan makan pun terasa pahit. Namun, tidak kalah sigap, birokrasi penanggung jawab perbukuan pun mengelak. Jangan hanya dilihat kegagalan sekarang, tetapi lihatlah nanti. Sebab, dampak positif ini baru akan kelihatan beberapa tahun ke depan. Panorama selintas sejarah perbukuan sekolah hanyalah puncak dari sekian kegagalan kebijakan. Barangkali kesalahan tidak harus ditimpakan kepada departemen diknas yang eksis sekarang, tetapi kegagalan dari bercokolnya semangat "membisniskan" praksis pendidikan, lebih jauh lagi membisniskan anak didik. Telanjur semua dikalkulasi dengan uang, tak satu pun kebijakan berpihak kepada yang tidak beruang atau kurang beruang. Pendidikan gratis hanya riil dalam iklan, tetapi tidak riil di lapangan. Lebih jauh lagi, meskipun sektor lain bisa tertangani dengan baik, selama masalah buku sekolah tetap amburadul, selama itu sah-sah saja cap komersialisasi pendidikan. Eksistensi buku dalam praksis pendidikan sejajar dengan faktor guru dan kurikulum. Buku memang hanya salah satu subfaktor sarana, tetapi dibandingkan dengan sarana lain, seperti alat peraga dan gedung berikut perangkatnya, kehadiran buku tak sekadar menyediakan, tidak sekadar bisa membeli dengan adanya dana, tetapi bagian utuh dari terselenggaranya praksis pendidikan yang seharusnya. Buku sekolah terkait dengan kurikulum, terkait dengan penulis, terkait dengan penerbit, dan guru. Buku sekolah sebagai pelengkap dan penunjang silabus yang diturunkan dari kurikulum hakikatnya bagian utuh dari kurikulum. Ketersediaan buku tak bisa diatasi dengan kebijakan coba-coba, apalagi amatiran. |
24 July 2009
FOKUS Tinggalkan Nafsu Berebut Rezeki
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, July 24, 2009