-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

28 July 2009

Merajut Impian dari Impitan Kemiskinan...

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/07/28/03145194/merajut.impian.dari.impitan.kemiskinan...


Merajut Impian dari Impitan Kemiskinan...

Selasa, 28 Juli 2009 | 03:14 WIB

Jika melihat rumah Lovely Octaviolendy (15), tak akan menyangka ia akan bersekolah di SMAN Internasional Sumatera Selatan.. Nyatanya, dia dan puluhan siswa lainnya terdaftar di sekolah yang distandardisasi oleh tim dari Cambridge School. Boni Dwi Pramudyanto dan Indira Permanasari

Masuk ke SMAN Internasional Sumatera Selatan bukan hal mudah meskipun banyak uang karena setiap calon siswa harus lolos tes yang distandardisasi oleh tim Cambridge School dari Inggris. Tahun ajaran ini, ada 70 siswa-siswi pilihan yang akan belajar di SMAN internasional tersebut. Selain itu, siswa berprestasi dari keluarga tidak mampu juga didatangkan dari sejumlah daerah di Tanah Air.

Sebagai anak yang berasal dari keluarga kurang mampu, Lovely tinggal di rumah kontrakan bersama kedua orangtuanya di Jalan Angkatan 66, Lorong Pandasari I Nomor 532 RT 07 RW 02, Sekip Ujung, Kota Palembang. Untuk sampai di rumah Lovely, tamu harus menyeberangi sebuah jembatan kecil kemudian berjalan sekitar 100 meter di sebuah lorong sempit.

Rumah kontrakan yang dihuni Lovely tergolong sangat sederhana, berukuran sekitar 5 meter x 7 meter. Saking kecilnya ukuran, rumah yang memiliki dua kamar ini nyaris tidak memiliki perabot rumah tangga yang berukuran besar, terkecuali hanya sebuah televisi 14 inci dan lemari kaca.

Dalila yang bakal jadi teman sekolah Lovely bahkan memiliki kehidupan ekonomi yang sesungguhnya jauh dari kemampuan membayar biaya belajar di sekolah berstandar internasional. Sejak 14 tahun lalu, ia anak yatim dan harus hidup dengan ibu yang tak dapat melihat.

Anak tukang jeruk

Sehari-hari, ayah Lovely bekerja sebagai tukang jeruk keliling. Ia membeli jeruk dari petani, kemudian menjualnya lagi kepada pedagang pasar dan pengusaha rumah makan di Kota Palembang. Pada waktu senggang atau hari libur, terkadang Lovely ikut ayahnya berdagang keliling menjual jeruk.

"Jika tidak sedang musim jeruk, saya biasanya menjual singkong, ubi atau buah-buahan lain. Pasokan tetap saya dapat dari petani, kemudian saya jual lagi kepada pedagang dan pengusaha. Pokoknya mencari uang halal untuk sekolah anak," katanya.

Namun, Lovely tidak pernah merasa rendah diri atas kondisi tersebut. Ia tetap punya semangat yang tinggi. Ini terbukti dari prestasi akademiknya yang cemerlang, nilai rata-rata SMP mencapai 81,75.

Selain prestasi akademik yang cemerlang, Lovely juga telah menyabet juara beragam lomba tingkat Palembang dan Sumatera Selatan. Prestasinya antara lain juara III Lomba Hafal Al Quran tahun 2005, juara III Lomba Kaligrafi Tahun 2005, wakil SMPN 8 Palembang dalam Lomba Olimpiade Fisika Tingkat Kota Palembang, dan juara harapan III Lomba Menyanyi Kota Palembang 2006.

Sementara Dalila, sejak ayahnya meninggal, tinggal di Jalan Sanjaya Nomor 2611, Kelurahan Alang-alang Lebar, Palembang, bersama ibu, kakek, dan neneknya. Dengan prestasi akademik dan keagamaan yang cukup cemerlang, Dalila menghidupi keluarganya dengan berbagai macam lomba yang diikuti.

Sejumlah prestasi perlombaan yang diikuti Dalila antara lain juara 2 Tilawah Putri Kabupaten OKI tahun 2008, juara I Lomba Tartil Ayat Pilihan Tingkat Sumatera Selatan 2007, juara 2 Fahmi Quran 2007, dan juara umum II Akademik di MTsN I Palembang berturut-turut sejak tahun 2006 hingga 2008, dan juara II Lomba Olahraga Porseni SMP Tingkat Kota Palembang 2007.

"Dari hadiah-hadiah lomba itulah saya membantu ibu, kakek, dan nenek, serta membiayai keperluan sekolah," kata Dalila yang bercita-cita ingin menjadi dokter karena ingin mengobati penyakit ibunya tersebut.

Lalu dari mana biaya sekolah internasional yang diikuti Lovely dan Dalila? Sekolah internasional gratis karena biayanya ditanggung Pemerintah Provinsi Sumsel dan Sampoerna Foundation.

M Sokhi, anak tukang becak di Pasuruan, Jawa Timur, juga bisa mengenyam pendidikan SMA bertaraf internasional di Malang. Lulusan SMPN 8 Pasuruan ini hijrah ke Malang dengan sekoper pakaian, segudang semangat, dan pikiran yang siap menerima ilmu dari sekolah barunya itu. Tidak usah pusing memikirkan biaya. Semua sudah ditangggung. Bahkan, tempat tinggal pun sudah disiapkan, sebuah asrama.

Lisa Rosalina juga sama gembiranya. Gadis yang orangtuanya bekerja sebagai pelinting di pabrik rokok itu, bersama 150 pelajar lainnya dari sejumlah daerah di Jawa Timur, menjadi angkatan pertama penerima beasiswa di sekolah berasrama di SMAN 10 Malang.

SMAN 10-Sampoerna Academy yang merupakan kerja sama SMAN 10, Sampoerna Foundation, dan pemerintah daerah dan Depdiknas menjadi sekolah negeri berasrama pertama yang akan menampung siswa berprestasi.

Peran dan uluran tangan banyak pihak sangat membantu anak-anak kita yang berprestasi.