http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/28/11274496/1.001.kisah.pilu.dari.jalanan.kota PKL 1.001 Kisah Pilu dari Jalanan Kota Jumat, 28 Agustus 2009 | 11:27 WIB Matahari tepat di atas kepala saat Iwan (38), pedagang lumpia, masih duduk termangu di trotoar Jalan Sultan Agung, Kota Bandung. Sesekali pria asal Majalaya itu memandangi gerobak miliknya sembari menyeka keringat di leher legamnya yang terus menetes. "Bulan puasa begini memang selalu sepi. Dagangan saya sama sekali belum ada yang laku," ujar Iwan, Kamis (27/8) siang. Sebelum memasuki bulan puasa, jika ramai pembeli, dia mengaku bisa mengantongi hingga Rp 50.000 sehari. Namun, beberapa hari terakhir, Rp 20.000 saja begitu sulit didapatnya. Menjadi pedagang kaki lima (PKL) sudah dilakoni Iwan hampir 17 tahun. Dari awal berjualan lumpia, dia tidak pernah pindah tempat dan jenis dagangan. Iwan hanya melanjutkan "tongkat estafet" dari sang ayah yang juga seorang pedagang lumpia. Kini, dengan istri dan dua anak yang sudah masuk SD, beban Iwan semakin berat. Apalagi, istrinya tidak punya pekerjaan tetap, hanya sesekali membantu di rumah tetangga jika ada hajatan. Kisah pilu juga dituturkan Dudun (32), pedagang siomay, yang tiap hari mangkal di seputaran Jalan Diponegoro. Bagi pria asal Cimahi itu, menjadi PKL jelas bukan cita-citanya. Namun, bagi lulusan SD itu, tidak banyak pilihan bertahan hidup. "Paling sengsara kalau ada razia Satpol PP. Selain gerobaknya diangkut, modal dagangan juga dibuat berantakan," ujar pria yang mengaku sudah delapan tahun berdagang siomay itu. Belum lagi untuk menebus gerobak, sidang yang harus ia jalani biasanya memakan waktu hingga satu minggu. Tentu saja selama sidang belum kelar Dudun tidak bisa berjualan. Artinya, tidak ada penghasilan sepeser pun untuk memberi nafkah bagi keluarganya selama sepekan. "Makanya itu, amit-amit deh, jangan sampai anak saya jadi PKL lagi. Cukup ayahnya yang merasakan pahitnya jadi PKL yang selalu takut digusur," tutur pria yang anak semata wayangnya duduk di kelas III SD. "Hantu" razia Razia Satpol PP memang menjadi "hantu" yang paling menakutkan bagi PKL. Menurut Ujang, pedagang bakso malang di Jalan Diponegoro, dia harus merogoh kocek Rp 60.000 untuk menebus gerobak yang disita Satpol PP. Uang sebanyak itu sama dengan pendapatannya selama dua hari. Ketua Paguyuban PKL Jalan Sultan Agung, Bobi, menuturkan, sistem paguyuban yang dibentuknya seperti koperasi. "Ada iuran Rp 2.000 per hari untuk setiap anggota. Selain untuk uang keamanan dan ketertiban, iuran biasa digunakan untuk membantu anggota yang sakit atau kecelakaan," kata pedagang teh botol itu. Menurut Ketua Paguyuban PKL Pasar Simpang Dago, Dede Abidin, pangkal fenomena PKL adalah belum adanya keberpihakan pemerintah kepada orang kecil. "Pemerintah Kota Bandung belum mampu memberi solusi yang berpihak bagi rakyat kecil seperti kami," ujar Dede. Mungkin Kota Kembang perlu berkaca dari upaya Pemerintah Kota Solo, Provinsi Jawa Tengah, yang mampu melakukan pembinaan dan penataan ulang PKL sehingga menjadikannya penopang perekonomian daerah. Semua itu berhasil dilakukan melalui pendekatan hati nurani, bukan dengan pentungan dan bogem mentah. (Gregorius Magnus Finesso) |
28 August 2009
1.001 Kisah Pilu dari Jalanan Kota
Diunggah oleh The Institute for Ecosoc Rights di Friday, August 28, 2009