-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

28 August 2009

Beri Perlindungan PRT

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/28/04442456/beri.perlindungan.prt

PERUBAHAN SOSIAL
Beri Perlindungan PRT

Jumat, 28 Agustus 2009 | 04:44 WIB

Perubahan sosial di masyarakat yang mengubah hubungan antara pekerja rumah tangga dan majikan memberi sinyal kuat perlunya perlindungan hukum bagi para pekerja domestik itu.

Dalam konsultasi nasional penetapan standar internasional bagi pekerja rumah tangga yang diselenggarakan Organisasi Buruh Internasional (ILO) di Jakarta, akhir Juli lalu, aktivis hukum, aktivis buruh migran, organisasi-organisasi nonpemerintah dari berbagai daerah, dan wakil pemerintah mendiskusikan langkah perlindungan para pekerja rumah tangga (PRT).

Koordinator Jaringan Advokasi Pekerja Rumah Tangga Lita Anggraini menegaskan, hubungan kerja antara pekerja rumah tangga dan majikan saat ini bukan lagi hubungan ngenger seperti puluhan tahun lalu. Ngenger adalah kebiasaan pada masyarakat Jawa—tetapi kebiasaan ini juga dilakukan pada masyarakat-masyarakat lain di Nusantara—menitipkan anggota keluarga pada keluarga yang lebih mampu untuk menumpang hidup. Biasanya keluarga yang dititipi akan memperlakukan orang yang ngenger tersebut seperti anggota keluarganya juga. Selain memberi tempat tinggal, biasanya orang yang ngenger juga diberi pendidikan. Sebaliknya, orang yang ngenger ikut membantu pekerjaan di dalam rumah tangga yang dia tumpangi. Di sana tidak ada transaksi ekonomi.

Perkembangan sosial-ekonomi masyarakat menyebabkan kebiasaan ngenger tersebut perlahan-lahan berubah. Terutama ketika suami dan istri harus sama-sama bekerja untuk memenuhi kebutuhan rumah tangga, maka mulailah dikenal orang yang diminta membantu di rumah yang bukan berasal dari keluarga. Sebagai pengganti tenaga yang dikeluarkan, orang yang membantu itu diberi upah.

Saat ini hampir semua orang yang dimintai membantu di rumah tangga—umumnya perempuan—dianggap sebagai pekerja dengan imbalan upah. Hanya saja karena ada kebiasaan ngenger, pekerjaan sebagai pembantu rumah tangga sampai saat ini dianggap sebagai pekerjaan informal yang hubungannya longgar tanpa diatur hukum.

Ririn dari serikat pekerja rumah tangga Tunas Mulia yang juga seorang PRT dalam diskusi publik mengatakan, hubungan informal tidak bisa dipertahankan lagi dalam bentuknya yang sekarang. "Saya tidak setuju karena sama saja dengan minta tolong gratis. Waktu kerjanya panjang dan kerja berat, tetapi tidak ada waktu kerja dan jam istirahat yang jelas, tidak ada hari libur, dan tidak punya kebebasan berserikat," kata Ririn.

Tidak masuk peta

Dari hasil studi ILO tahun 2004, ada 2.593.399 PRT di Indonesia. Sebanyak 1,4 juta orang bekerja di Pulau Jawa dan diduga banyak di antara mereka masih di bawah umur. TKI pun mayoritas adalah

PRT, dari 6 juta TKI, 4,3 juta dari mereka bekerja di sektor informal dan terbanyak menjadi PRT (Kompas, 30/7).

Ketua Komnas Perempuan Kamala Chandrakirana dalam konsultasi publik yang dibuka Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno dan Direktur ILO Jakarta Alan Boulton mengingatkan, tidak adanya perlindungan bagi tenaga kerja rumah tangga, bahkan tidak masuk di dalam gerakan global buruh, adalah karena pekerjaan tersebut berada di ranah domestik dan yang mengerjakan sebagian besar perempuan. Karena itu, sudah saatnya mekanisme perlindungan global buruh, yaitu melalui ILO, bersikap tentang PRT.

Menurut Kamala, ILO menjadwalkan menerbitkan konvensi pada akhir paruh pertama 2010. Kalaupun ILO berhasil menerbitkan konvensi, tantangan terbesar berada di ranah domestik.

Yang paling berkepentingan dengan PRT adalah majikan yang mayoritas juga perempuan. "Perempuan tidak tunggal, ada beda budaya, kelas, dan beda kepentingan. Yang akan menanggung beban dari konsekuensi implementasi konvensi ini adalah perempuan majikan kelas bawah," kata Kamala. Komnas Perempuan memasukkan penyusunan standar perlindungan PRT dalam negeri sebagai salah satu rencana strategis Komnas Perempuan lima tahun ke depan, setelah masa tugas kepengurusan sekarang berakhir pada akhir 2009.

Anis Hidayah dari Migrant Care menyayangkan sikap Pemerintah Indonesia yang hingga kini belum juga meratifikasi Konvensi Buruh Migran dan Keluarganya. Alasan yang disampaikan pemerintah karena negara tujuan tidak meratifikasi konvensi tersebut.

Padahal, dengan Pemerintah Indonesia meratifikasi konvensi tersebut, berarti pemerintah juga akan melindungi PRT di dalam negeri dan penandatanganan konvensi akan menaikkan posisi tawar Indonesia dengan negara penerima pekerja migran Indonesia.

Lita Anggraini mengatakan, jaringan kerja untuk perlindungan PRT yang terdiri dari berbagai organisasi nonpemerintah saat ini sedang menyusun rancangan undang-undang (RUU) untuk disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat periode mendatang. Jaringan akan mengusahakan agar RUU menjadi hak inisiatif DPR sehingga perlindungan dapat diberikan sebaik mungkin.

Di dalam RUU itu akan diatur antara lain mengenai upah, jam kerja, jam lembur, hari libur, jaminan sosial, akomodasi, logistik, tunjangan hari raya, dan hak berserikat.

"Kami tidak menetapkan upah dan jam kerja semena-mena. Kami sudah menyurvei di 10 wilayah untuk mengetahui upah tertinggi dan upah terendah serta kesanggupan majikan dari berbagai kelas sosial," kata Lita.

Menurut dia, salah satu yang akan menjadi perhatian adalah kemampuan majikan dari kelompok buruh juga. "Banyak perempuan buruh mempekerjakan PRT karena harus meninggalkan rumah untuk mencari penghasilan dan karenanya membutuhkan bantuan PRT untuk mengurus rumah dan menjaga anak," kata Lita.(Ninuk M Pambudy)