-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

04 August 2009

El Nino, Ketahanan Pangan, dan Gizi

http://koran.kompas.com/read/xml/2009/08/04/03303075/el.nino.ketahanan.pangan.dan.gizi


El Nino, Ketahanan Pangan, dan Gizi

Selasa, 4 Agustus 2009 | 03:30 WIB

Oleh ALI KHOMSAN

Dampak El Nino berupa kekeringan kini menghadang di depan mata. Langkah-langkah strategis perlu diambil pemerintah agar masyarakat tidak mengalami kesulitan akses pangan dan petani tidak kian terpuruk akibat gagal panen.

Para petani adalah kelompok yang paling merasakan akibat kekeringan. Tanpa kecukupan air, sawah akan mengering, panen gagal. Kerugian ekonomi pasti menimpa karena sawah menjadi puso. Kekeringan menjadi ancaman jika program reboisasi tidak diintensifkan guna mengembalikan wilayah resapan air. Pemerintah perlu segera membantu petani, misal, dengan bantuan pompa air dan sumur pantek guna mengatasi krisis air. Tanpa bantuan pemerintah itu, kehidupan petani akan kian sulit.

Aspek ketersediaan pangan tergantung sumber daya alam, fisik, dan manusia. Pemilikan lahan yang ditunjang iklim yang mendukung, disertai sumber daya manusia (SDM) yang baik, akan menjamin ketersediaan pangan yang kontinu. Kekeringan yang dipicu El Nino akan mengganggu ketersediaan pangan nasional dan mengakibatkan ketidaktahanan pangan nasional.

Sistem jaminan sosial

Untuk mengantisipasi dampak kekeringan berkepanjangan, sudah saatnya pemerintah memikirkan sistem jaminan sosial/JPS (social security system) untuk petani. Idealnya, sistem JPS bukan hanya untuk mengatasi krisis insidental. Sistem ini bersifat langgeng dan terus untuk seluruh anggota masyarakat yang kurang beruntung secara ekonomi. Cakupan sasaran bisa menjadi lebih besar jika ada kejadian luar biasa seperti kekeringan.

Berbagai strategi mengatasi kemiskinan sudah dilakukan pemerintah. Namun, efektivitasnya belum teruji. Bantuan langsung tunai (BLT), dana BOS, JPS, sampai kompor gas gratis, semua untuk membantu orang miskin.

Kini pada saat kekeringan merebak dan daya beli petani merosot, pemerintah harus segera tanggap merumuskan bantuan untuk keluarga-keluarga petani yang terancam kesejahteraannya. Memberi keringanan kredit pinjaman, atau BLT dengan mekanisme yang lebih baik, amat diharapkan petani untuk mencegah nasib yang kian terpuruk.

Reformasi agraria perlu segera dilakukan. Kegureman petani adalah akibat pemilikan lahan yang sempit. Sementara pemerintah memiliki lahan luas yang belum tergarap maksimal. Petani yang diberi hak garap pasti akan memanfaatkan lahan yang diberikan pemerintah untuk menanam aneka tanaman pangan sehingga ancaman ketahanan pangan dapat diperkecil.

Masalah gizi

Ketahanan pangan yang baik akan berujung pada tercapainya ketahanan gizi. Ketahanan gizi adalah cermin intake gizi dan status gizi masyarakat menjadi prasyarat terbentuknya individu yang sehat. Banyak faktor yang menentukan ketahanan gizi.

Kemiskinan diyakini sebagai faktor terpenting penyebab ketidaktahanan gizi.

Munculnya masalah gizi kurang adalah indikasi lemahnya ketahanan gizi di kalangan masyarakat. Pendapatan yang rendah mengakibatkan masyarakat tidak dapat mengakses makanan yang dapat memenuhi kebutuhan gizi. Kondisi ini akan kian memburuk manakala ketersediaan pangan nasional terganggu akibat kekeringan.

Malnutrisi dan kemiskinan

Angka kematian bayi terkait erat status gizi anak. Anak-anak penderita gizi kurang umumnya rendah kekebalan tubuhnya dan hal ini menjadikan dirinya rawan infeksi yang dapat menyebabkan kematian. Penyakit infeksi yang senantiasa mengintai anak-anak dan bayi adalah diare dan infeksi saluran pernapasan.

Dalam hal angka kematian bayi ini, Indonesia (31/1.000 kelahiran hidup) hanya lebih baik dibanding Kamboja (97/1.000) dan Laos (82/1.000). Jika dibandingkan negara lain, kita masih tertinggal. Singapura dan Malaysia, misalnya, memiliki angka kematian bayi amat rendah, yaitu 3 dan 7 per 1.000. Ini menunjukkan besarnya perhatian negara itu terhadap masalah gizi dan kesehatan yang dihadapi anak-anak.

Malnutrisi disarankan menjadi indikator kemiskinan. Saran ini mengemuka dalam International Expert Seminar on Child Growth and Poverty bulan November 2002 di Jakarta. Dalam Millennium Development Goals (MDGs) 2000, para pemimpin dunia sepakat, proporsi anak balita kurang gizi atau berberat badan rendah merupakan salah satu indikator kemiskinan.

Pertumbuhan fisik seseorang dipengaruhi dua faktor dominan, yaitu lingkungan dan genetis. Kemampuan genetis dapat muncul secara optimal jika didukung faktor lingkungan yang kondusif. Yang dimaksud faktor lingkungan adalah intake gizi. Jika terjadi tekanan terhadap dua faktor itu, muncul gagal tumbuh (growth faltering).

Ketahanan gizi yang rapuh ditunjukkan data tahun 1997, yakni anak-anak usia 2-3 tahun yang tidak pernah mengonsumsi daging, telur, ayam, dan hati sebesar 20-25 persen. Sementara penduduk Indonesia secara keseluruhan hanya minum susu sekitar 20 tetes sehari dan makan telur satu butir per minggu.

Ketika kita baru berbangga diri mengklaim sebagai negara yang mampu berswasembada pangan, tantangan di bidang produksi pangan kini menghadang di depan mata. Sinergi kebijakan Departemen Pertanian dan pelaku produksi pangan diharapkan dapat mengatasi problem kekeringan sehingga masyarakat tetap terjamin akses pangannya.

Ali Khomsan Guru Besar Departemen Gizi Masyarakat FEMA IPB