http://kesehatan.kompas.com/read/xml/2009/08/26/09434660/Malnutrisi.Masih.Ancam.Balita
Malnutrisi Masih Ancam Balita Rabu, 26 Agustus 2009 | 09:43 WIB JAKARTA, KOMPAS.com - Masalah malnutrisi masih mengancam anak Indonesia. Kurangnya pemahaman orangtua mengenai gizi seimbang untuk anak dinilai menjadi salah satu penyebab masih ditemukannya anak dengan gangguan gizi.
Hal itu mengemuka dalam acara laporan Menciptakan Manfaat Bersama (Creating Shared Value/CSV) yang diselenggarakan oleh Nestle, Selasa (25/8) di Jakarta.
Ketua Umum Pusat Perhimpunan Dokter Gizi Medik Indonesia, Dr.Rachmi Untoro, MPH, mengungkapkan, kejadian gizi buruk tidak terjadi dalam semalam. "Prosesnya berjalan panjang. Karenanya masyarakat perlu disosialisasikan mengenai kecukupan nutrisi dengan bahasa yang mudah dimengerti, misalnya lewat 10 tanda anak bergizi baik," katanya.
Tanda-tanda klinis anak dengan gizi buruk, papar Rachmi, antara lain adalah rambut kusam dan kering, pucat, bibir dan mulut bengkak, otot kurus, lemah, serta adanya penebalan efisis pada tulang dan sendi. "Pemantauan pertumbuhan balita harus dilakukan terus menerus. Orangtua perlu tahu berat dan tinggi badan anak sesuai dengan usianya," ujarnya.
Menurut Prof. Dr.M.Aman Wirakartakusumah, ahli teknik pengolahan pangan, fortifikasi pangan bisa menjadi salah satu cara mengatasi masalah malnutrisi. Namun, ungkap Prof.Aman, di negara berkembang seperti Indonesia, fortifikasi masih dibebankan kepada perusahaan sehingga berpengaruh pada nilai jual ke konsumen.
"Saat ini pemerintah baru mewajibkan fortifikasi tepung terigu," ungkap Guru Besar program pasca sarjana ilmu dan teknologi pangan Institut Pertanian Bogor, itu. Padahal, mikro nutrient lain sebenarnya juga bisa ditambahkan ke bahan pangan lain, seperti gula, garam, roti, beras, minyak goreng, dan sebagainya.
Untuk meningkatkan mutu gizi, bahan pangan bisa difortifikasi oleh vitamin A, zat besi, yodium, vitamin D, E, C, B, dan zinc. Dari segi ekonomi, fortifikasi bisa mengurangi kematian anak, mengurangi biaya kesehatan masyarakat, peningkatkan kecerdasan, dan secara ekonomi hal ini merupakan investasi yang menguntungkan.
Sementara itu pembicara lain, Maria Hartiningsih, wartawan senior Kompas, mengatakan kelaparan dan malnutrisi bukan hanya terkait dengan persoalan pangan dan gizi, tapi juga soal lain, terutama kemiskinan. "Bukan hanya kemiskinan ekonomi, tapi juga kemiskinan pendidikan, informasi, dan terutama martabat," katanya.
Yang terpenting dalam masalah ini, ungkap Maria adalah pendidikan secara terus menerus dan informasi terkait dengan kesehatan yang mudah diakses masyarakat.
Kepedulian sejumlah perusahaan untuk mengatasi isu-isu nutrisi melalui kegiatan corporate social responsibility (CSR) sangat berarti untuk mewujudkan Indonesia yang lebih sehat. Sebagai salah satu perusahaan yang bergerak di bidang nutrisi, Nestle memusatkan kegiatan CSR pada tiga bidang, yaitu nutrisi, air, dan pemberdayaan masyarakat.
"Nutrisi merupakan landasan penting sebuah bangsa yang sehat dan kuat. Program penyediaan air bersih yang kami lakukan juga bertujuan agar masyarakat bisa menyediakan makanan bergizi dengan air yang bersih," kata Peter Vogt, Presiden Direktur Nestle Indonesia.
Sementara itu, di bidang pembangunan pedesaaan, Nestle menjalin kerjasama dengan petani dan peternak sapi di berbagai daerah. Peningkatkan kualitas dan pembelian 600.000 liter susu dari peternak, merupakan contoh dari kemitraan tersebut. AN
|