-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

16 September 2009

Sarat Komersialisasi, Pembahasan RUU Kesehatan Sebaiknya Dihentikan

http://www.mediaindonesia.com/index.php/read/2009/09/13/95525/71/14/Sarat_Komersialisasi_Pembahasan_RUU_Kesehatan_Sebaiknya_Dihentikan

Sarat Komersialisasi, Pembahasan RUU Kesehatan Sebaiknya Dihentikan
Minggu, 13 September 2009 21:31 WIB    
Penulis : Cornelius Eko Susanto


JAKARTA-MI: Rancangan Undang Undang (RUU) Kesehatan yang tengah dibahas di DPR-RI dinilai lebih berorientasi bisnis. Alhasil warga miskin tidak bisa mengenyam jaminan kesehatan dari pemerintah. Lantaran itu sejumlah pihak menilai RUU Kesehatan tidak layak untuk segera disahkan menjadi undang-undang.

"Pemerintah seperti mencoba memprivatisasi dan meliberasi layananan kesehatan. Peran negara dalam bidang kesehatan minimal. Otomatis yang dirugikan adalah rakyat miskin, ujar Peneliti Divisi Monitoring Pelayan Publik ICW Ratna Kusumaningsih, akhir pekan lalu, di Jakarta.

Di samping subtansi dari RUU yang kontroversial, ICW juga mempertanyakan proses pembahasan yang berlangsung tertutup dan tidak terbuka pada masukan masyarakat.

Sebelumnya, di tempat terpisah, keluhan senada juga disampaikan Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Jakarta.

Bukti bahwa RUU ini lebih mengarah pada komersialisasi bidang kesehatan adalah, terlihat dari 123 pasal dalam RUU itu tidak ada satu pun pasal yang mengatur kewajiban negara. Sebaliknya kewajiban atas pemenuhan hak kesehatan diserahkan kepada masyarakat

Kepala Divisi Litbang LBHJ Restaria Hutabarat mengatakan, komersialisasi dalam RUU tercermin pada Pasal 11 ayat 1, yang mengatur tuntutan ganti rugi akibat kesalahan layanan kesehatan. Garis besar pasal ini menyatakan, setiap orang berhak menuntut ganti rugi bila dirugikan dalam layanan kesehatan. Kata setiap orang disini menurut Restafaria, mengartikan, korban layanan kesehatan melindungi dirinya sendiri bila berhadapan dengan masalah kesehatan. Sementara negara undur dari kewajibannya.

Padahal, tuntutan pembuktian adalah konsep perdata yang sangat tergantung pada pembuktian yang bersifat formil. Padahal masalah malpraktek kerap menemui hambatan lantaran adanya conspirasi of silence. Alat bukti medis umumnya dikuasai oleh tenaga kesehatan dan hanya dapat dimengerti oleh tenaga kesehatan. Walhasil pasien sulit membuktikan pelanggaran yang dilakukan terhadap dirinya.

Hal ini terjadi pada kasus Prita yang baru saja terjadi, ungkap Restafaria. Seharusnya, negara memberikan akses dan posisi yang setara antara masyarakat dan penyedia layanan kesehatan.

Contoh lain adalah, Pasal 34 yang garis besarnya menyatakan, dalam keadaan darurat, fasilitas kesehatan swasta dan pemerintah dilarang menolak pasien. Kata keadaan darurat sangat multi tafsir dan merugikan masyarakat. Pasalnya yang dapat menentukan keadaan darurat hanya tenaga medis. Disinyalir, hal ini dapat dijadikan senjata oleh rumah sakit untuk menolak pasien miskin.

Yang paling memprihantinkan, menurut Restafaria, adalah hadirnya Pasal 115 yang intinya berbunyi, pengidap penyakit menular yang menularkan pada orang lain dapat dikenakan hukuman pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda Rp100 juta. Disini. Kata Restafaria, negara malah mengkriminalisasi rakyat. Padahal banyak rakyat miskin yang tidak bisa berobat lantaran tidak punya rupiah. Bagaimana kalau si miskin ini menularkan penyakitnya pada orang lain?

Satu contoh pasal yang sangat pro pada budaya kapitalisasi adalah Pasal 12 ayat 1 yang intinya menyatakan, setiap orang berkewajiban meningkatkan derajat kesehatan. Bagi Restafaria, hal ini sama saja artinya dengan rakyatlah yang wajib menjaga kesehatan. Peran negara seolah dinisbikan. Alhasil, pada bidang ini peran swasta bakal lebih menonjol ke depannya dibidang kesehatan.

Pada kesempatan itu, LBH Jakarta menyayangkan proses pembahasan pasal-pasal krusial di DPR-RI yang tertutup bagi publik, padahal masalah ini jelas mengatur kepentingan rakyat banyak. Kendati masih berharap agar ada penghapusan pada segala ketentuan yang terkait privatisasi layanan kesehatan, kriminalisasi pada rakyat miskin, namun LBH Jakarta, lanjut Restafaria hanya bisa pasrah. Pasalnya, terdengar isu kuat, dalam pembahasan akhir nanti dalam siding paripurna, tanggal 15 September 2009, RUU yang sarat kontroversi ini bakal diketok menjadi UU. (Tlc/OL-7)