-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

05 October 2009

Masalah di Jakarta Bukan Hanya Soal Air

http://megapolitan.kompas.com/read/xml/2009/10/05/07415862/Masalah.di.Jakarta.Bukan.Hanya.Soal.Air

Masalah di Jakarta Bukan Hanya Soal Air
Warga menyelamatkan barang-barang saat kebakaran melanda kawasan Tanah Merah, Kelurahan Penjaringan, Kecamatan Penjaringan, Jakarta Utara, Minggu (27/9). Sedikitnya 1.158 rumah hangus terbakar akibat peristiwa ini.
Senin, 5 Oktober 2009 | 07:41 WIB

Oleh NELI TRIANA dan M CLARA WRESTI

KOMPAS.com — Kebakaran adalah musibah yang mendatangkan kerugian dan kepedihan. Musibah ini sebenarnya bisa dicegah. Namun, di Jakarta, kebakaran sulit untuk dicegah karena faktor penyulit yang sangat banyak dan tumpang tindih.

"Kalau sudah kebakaran, kayaknya kita dapat bencana bertubi. Rumah dan barang-barang berharga ludes. Sudah begitu, setelah api padam, lumpur dan sampah yang turut tersedot dari kali saat pemadaman tersebar di mana-mana. Nasib, nasib," kata Nana, warga Galur, Jakarta Pusat, beberapa waktu lalu.

Nana, seperti halnya ribuan korban kebakaran lain di Jakarta, memang hanya bisa pasrah dan menyesali diri. Tinggal di kawasan permukiman padat, jalanan sempit, kabel listrik berseliweran begitu dekat dengan rumah, menggantol atau mencuri listrik sudah menjadi praktik umum. Hidup begitu dekat dengan bahaya setiap hari.

Kondisi yang lebih mengerikan terlihat di permukiman kumuh di kawasan Waduk Melati, tak jauh dari pusat perbelanjaan termegah di seputaran bundaran Hotel Indonesia. Sulistyo hidup berdesakan dengan istri dan tiga orang anak usia taman kanak-kanak hingga sekolah dasar.

Di rumah petak kontrakan berukuran tak lebih dari 3 x 4 meter, sebuah kabel tampak ditarik dari rumah si induk semang yang juga berfungsi sebagai warung makan sederhana. Kabel hitam itu bermuara di sebuah colokan. Pada instalasi itu terdapat kabel untuk mengalirkan listrik ke satu-satunya lampu di ruangan itu, kemudian kabel dispenser, kipas angin, dan televisi.

Di dalam rumah petak, terdapat WC berukuran lebih kurang 1 x 1 meter di samping sumur pompa tangan. Tak jauh dari WC, ada dipan untuk tidur. Dapur berupa sebuah meja dengan kompor dan tabung gas ukuran tiga kilogram, serta setumpuk peralatan masak diletakkan di emper rumah; tepat di tepi jalan yang hanya selebar setengah meter. Ruangan pengap tanpa sirkulasi udara.

Rumah-rumah petak serupa mungkin jumlahnya jutaan di penjuru Jakarta. Keberadaan permukiman superpadat ini sudah sejak lama dinyatakan sebagai kawasan rawan kebakaran. Dinas Pemadam Kebakaran dan Penanggulangan Bencana DKI Jakarta mencatat terdapat 575 kelurahan rawan bencana di lima wilayah kota di Ibu Kota. Sebanyak 132 kelurahan terdapat di Jakarta Selatan.

"Umumnya, kelurahan-kelurahan itu padat penduduk, rumah-rumah berdempetan dan memakai bahan mudah terbakar, seperti kayu tripleks, akses jalan amat sempit dan banyak instalasi listrik tidak sesuai aturan," kata Wali Kota Jakarta Selatan Syahrul Effendi.

Beberapa kawasan rawan kebakaran antara lain di sekitar Manggarai, Bukit Duri, dan kawasan padat penduduk lainnya.

Kesalahan penataan ruang

Nirwono Joga, ahli arsitektur lanskap menyatakan, Jakarta memang tidak lepas dari berbagai macam bencana, yaitu banjir, kemacetan, kekeringan, dan kebakaran. Semua itu adalah akibat dari kesalahan penataan ruang berlarut yang terjadi lebih dari 30 tahun terakhir. Pembangunan dibiarkan berlangsung liar. Pusat-pusat ekonomi berupa perkantoran, pasar, dan kawasan industri tumbuh menjamur.

Tanpa pengawasan, Jakarta menjadi kota yang terus menarik para pencari kerja. Penduduk terus bertambah, sementara daya ekonomi tidak mendukung; permukiman kumuh pun muncul. Keterbatasan ekonomi dan pendidikan menyebabkan penghuni permukiman padat hanya terfokus pada upaya menyambung hidup tanpa memedulikan keamanan, termasuk dari bahaya kebakaran dan banjir.

Pemerintah pun seakan terlambat menyadari bahaya yang mengancam warganya. Peralatan minim yang dimiliki Pemprov DKI membuktikan kealpaan atau mungkin ketidakpedulian pemerintah itu.

Pada 1920-an, seperti dalam Kompas (15/7), banyak permukiman di Jakarta dilengkapi dengan gang kebakaran (brandgang). Gang ini berupa jalan yang dibangun di bagian belakang deretan rumah berfungsi sebagai akses masuk peralatan pemadam kebakaran dan jalur evakuasi. Kini, brandgang nyaris tidak bisa dirunut lagi keberadaannya. Semua celah kecil, bahkan di tepi kali sempit pun, dipakai untuk mendirikan rumah.

Selain itu, DKI kini hanya memiliki 3.000 petugas pemadam dari total 6.000 petugas yang dibutuhkan. Jumlah mobil sektor, yakni mobil pemadam yang bisa digunakan di kawasan sempit, hanya tersedia 10 unit. Padahal, kebutuhannya minimal adalah satu mobil sektor untuk setiap kecamatan di Jakarta.

Buruknya lagi, Dinas Pemadam Kebakaran (Damkar) dan Penanggulangan Bencana (PB) DKI mencatat, dari 1.493 unit hidran di Jakarta, 40 persen atau 599 unit di antaranya tidak berfungsi. Akibatnya, ketika terjadi kebakaran, seperti di Penjaringan, Jakarta Utara, yang menghanguskan 1.158 rumah, api tidak bisa cepat dipadamkan. Ratusan hidran yang bermasalah itu antara lain tidak ada aliran airnya, ada bagian-bagiannya yang hilang atau dicuri, dan ada yang rusak parah.

Data bulan September 2009 di Suku Dinas Damkar dan PB Jakarta Utara, dari 264 hidran yang ada, hanya tujuh hidran yang kualitasnya memenuhi standar. Hidran itu mempunyai aliran yang besar. Sebanyak 11 hidran mengeluarkan aliran air sedang dan 109 aliran air kecil.

"Kalau aliran kecil seperti ini, untuk masuk ke dalam tangki mobil pemadam saja tidak kuat. Padahal, air di dalam hidran tidak boleh disedot pompa karena bisa merusak pompa. Kalau aliran besar, untuk memenuhi tangki mobil ukuran 4..000 liter hanya butuh waktu 10-15 menit," kata Ngarno, Kepala Sudin Damkar dan PB Jakarta Utara.

Bisa dibayangkan, jika sebagian besar hidran yang ada alirannya kecil, kesempatan api menjalar lebih luas lagi semakin besar. Khusus terkait hidran yang kering atau tidak memiliki aliran air, Wakil Gubernur DKI Prijanto pekan lalu meminta PT Palyja dan PT Aetra, selaku operator PAM Jaya, bertanggung jawab. Menurut Prijanto, kedua operator diminta mengecek pasokan air untuk hidran di wilayah kerja masing–masing.

"Ini menyangkut nyawa manusia, jangan main-main. Toh, DKI juga akan membayar sesuai banyaknya penggunaan. Mudah saja memantaunya dari meteran penggunaan air di setiap fasilitas hidran yang ada," kata Prijanto.

Namun, Ramses Simanjuntak, Direktur Bisnis dan Komunikasi PT Aetra, menampik tuduhan tidak memantau aliran air. "Hidran itu tanggung jawab Damkar. Mereka yang harus mengecek, apakah aliran di hidran itu besar atau kecil. Kalau kecil, ya laporkan kepada kami, nanti akan kami perbaiki," kata Ramses.

Operator tidak tahu titik yang bocor atau aliran kecil jika tidak ada laporan. "Sebenarnya kami sudah memantau titik-titik mana saja yang bocor. Namun, akan lebih cepat jika ada pelaporan," tutur Ramses.

Ngarno mengakui, pemeriksaan hidran selalu dilakukan tiap tiga bulan sekali. Semua hasil pemeriksaan itu dilaporkan ke rapat koordinasi di dinas yang juga dihadiri para operator air. Pihaknya telah memetakan tiap daerah. Jika terjadi kebakaran di suatu daerah tertentu, sumber air didapatkan dari mana saja.

"Namun, memetakan sumber air itu tidak mudah. Lihat saja, di Jakarta terdapat 13 sungai. Sepertinya banyak ya, tetapi kalau musim kemarau, tidak ada airnya. Yang ada hanya lumpur," kata Ngarno.

Penggunaan hidran bagi Damkar adalah solusi nomor dua. Solusi pertama adalah memakai air kali. "Air kali itu murah dan cepat bisa disedot dengan pompa, sedangkan hidran selain lama, juga mahal karena kami harus membayar ke operator setiap liter yang kami pakai. Tarifnya cukup mahal karena bukan termasuk golongan sosial atau warga miskin," kata Ngarno.