Sedikitnya 200 lapak pedagang Kaki-5 di Pasar Ciampea Lama (PCL), di Jl. Letnan Sukarna, Kecamatan Ciampea, Selasa diobrak-abrik petgas Satpol PP Kabupaten Bogor. Sebelumnya Pemerintah kabupaten Bogor dan DPRD Kabupaten Bogor memberikan batas akhir Febuari untuk mereka mengosongkan PCL. (Pos Kota, 8/3/2011)
Tanpa ampun, para penegak perda Kabupaten Bogor ini membongkar puluhan lapak pedagang Kaki-5. Meski sejumlah pedagang bersikeras mempertahan lapaknya dan sempat terjadi adu mulut, Petugas Satpol PP tak mengubrisinya. Mereka merobohkan lapak-lapak pedagang Kaki-5 tersebut.
Neneng Surani, pedagang Kaki-5 yang sudah enam tahun berdagang di PCL mengaku pasrah menerima pembongkaran. Apalagi pembokaran itu melibatkan puluhan aparat Polres Bogor dan TNI.
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) seperti dikutip Harian Kompas menunjukkan, tahun 2001, tercatat ada sekitar 718 kepala keluarga dengan 2.872 jiwa yang menjadi korban penggusuran. Mereka adalah warga Ancol Timur, Bantaran Kali Teluk Gong, dan Pesing Poglar.
Jumlah ini bertambah pada tahun 2002. Penggusuran pada tahun ini setidaknya mengorbankan 1.198 keluarga dengan 4.792 jiwa. Mereka adalah warga Kampung Kapuk Poglar, bantaran kali Angke, Kelurahan Pejagalan, Penjaringan, Kelapa Gading Barat, Rawasari, Cilandak, serta perumahan mantan guru olahraga SMU Ragunan dan Mangga Dua.
Selanjutnya, sepanjang tahun ini jumlah korban bertambah lebih banyak lagi. Penggusuran pertama pada 26 Agustus 2003 terjadi di kelurahan Jembatan Besi Tambora terhadap Kampung Kapuk Poglar
Menyusul kemudian penggusuran di Kampung Catering Sunter Tanjung Priok Jakarta Utara, tercatat sebanyak 100 keluarga atau 500 jiwa kehilangan tempat tinggal. Belum usai sampai di situ, penggusuran kembali terjadi di empat kampung di lahan milik Perum Perumnas, Kampung Baru, Karang Anyar, Rawa Gabus, dan Pedongkelan. Keempat kampung itu berada di wilayah Kecamatan Cengkareng Jakarta Barat. Akibat penggusuran itu sebanyak 1.640 keluarga atau 6.000 jiwa lebih kehilangan tempat tinggal.
Cerita belum berakhir, sedikitnya 500-an warga harus bentrok dengan 4.500 aparat kepolisian dan petugas tramtib DKI yang mengawal buldoser menggilas sedikitnya 190 rumah di Kampung Sawah Taman Anggrek. Berikutnya buldoser kembali meratakan pemukiman 650 kepala keluarga di kampung nelayan Kali Adem Muara Angke Penjaringan, Jakarta Utara. Menyusul kemudian, 429 rumah di bantaran kali Cipinang rata dengan tanah.
Sepanjang tahun ini tak kurang dari 4.000 rumah rata dengan tanah atau sedikitnya 20.000 orang kehilangan tempat tinggal. Itu terjadi hanya dalam waktu kurang dari empat bulan. Luar biasa.
Franz Magnis Suseno dalam bukunya Etika Politik 1994, mengatakan Eksistensi negara – seluruhnya -harus bermanfaat bagi masyarakat. Seperti setiap persekutuan, begitu pula negara bukanlah tujuan pada dirinya sendiri, dan tidak diciptakan agar ada negara. Apalagi, dan berbeda dari, misalnya, sebuah kongsi perdagangan, tujuan negara bukanlah jaminan kehidupan dan pemerkayaan mereka yang mengurusnya.
Jadi negara hanya mempunyai arti sejauh berguna bagi masyarakat. Mengacu pada gagasan Magnis Suseno, tujuan normatif negara adalah mengusahakan kemajuan kepentingan semua warga negara. Itu berarti satu-satunya eksistensi negara adalah kepentingan umum. Namun kelakuan negara sepanjang tahun ini, menunjukan Indonesia masih berada jauh dari titik tujuan normatif itu. Pengabaian negara telah tercabut dari tujuan normatifnya. Drama penggusuran sepanjang tahun dipertontonkan Pemerintah. Tanpa rasa kemanusiaan, negara mengusir ribuan warga negaranya sendiri dari lahan mereka tinggal. Itulah yang terjadi sepanjang beberapa tahun terakhir. Negara mempertontonkan sebuah “festival” penggusuran.
Pengusiran yang dilakukan Pemerintah menunjukkan seolah-olah kesalahan semata-mata hanya dilakukan oleh warganegara karena tinggal di lahan yang bukan miliknya. Mereka diusir begitu saja. Dalam sekejab mereka kehilangan segalanya dan dengan wajah bingung terpaksa keleleran di pinggir jalan. Menghuni kolong kolong Jembatan, emperan pertokoan dan berkeliaran di pingir jalan. Masih dapatkah kita mengatakan pemerintah konsisten dengan eksistensinya. Negara sesunguhnya telah tercabut dari apa yang yang dikatakan Magnis Suseno. Negara kini berubah menjadi “penjajah” untuk rakyat miskin. Tak Ada Lagi tempat bagi rakyat miskin di wilayah DKI.
Keterpihakan Negara terlihat jelas hanya pada kelompok masyarakat berduit. Lihat saja begitu banyak rumah mewah, hotel, villa, supermarket maupun bangunan lain yang berada di zona terlarang. Sebuah ironi membayangkan segelintir orang dengan sangat mudahnya mendapatkan mandat hak hukum atas tanah yang berstatus tanah negara, sementara ribuan manusia yang sekedar mencicipi nikmatnya secuil tanah negara yang tersebar di perkotaan harus digelandang dengan pentung dan gas airmata. Sangat menyedihkan warga negara tidak lebih berharga dari seekor anjing yang mendapat susu dari tuannya.
Perlu di ingat, Dewan Sosial dan Ekonomi PBB (Ecosoc) telah mengeluarkan komentar umum (general comment) sebagai respon terhadap masifnya praktik pemindahan paksa, yaitu komentar umum nomor 4. Komentar tersebut berkembang menjadi salah satu dokumen indikator untuk menilai kinerja penghormatan hak ekonomi sosial dan budaya.
Disebutkan kalaupun praktik penggusuran terpaksa harus dilakukan, maka diprasyaratkan adanya solusi alternatif yang layak bagi korban. Selain itu tindakan penggusuran harus dilakukan berdasarkan hukum yang sesuai dengan kovenan yang mengatur hak ekonomi sosial dan budaya. Setiap orang yang dipindahkan secara paksa berhak atas penggantian kerugian yang memadai atas barang milik yang terkena akibat penggusuran tersebut.
Sering dilupakan bahwa hak asasi tidak dapat dibagikan dan bersifat saling tergantung sehingga pelanggaran hak asasi ini mengakibatkan pelanggaran hak asasi lain yang menyertainya. Dalam kasus penggusuran, hak asasi lain yang juga terimbas adalah hak atas hidup yang layak dan hak atas pendidikan khususnya bagi anak-anak.
Negara ada bukan untuk orang berduit, tapi untuk masyarakat yang tinggal didalamnya. Pemerintah tidak bisa mengingkari bahwa kemiskinan adalah entitas nyata warganya. Data Bank Dunia menyebutkan, 16 persen atau 36 juta masyarakat Indonesia adalah orang miskin. Tidak bisa tidak rumusan kebijakan harus juga menempatkan mereka sebagai unsur pertimbangan utama. Kekumuhan mereka bukan sesuatu yang harus disingkirkan, tetapi dilindungi, dijaga, dan dikembangkan hak-haknya. (diolah dari Berbagai Sumber)