Selasa, 15 Maret 2005 | 21:00 WIB
Jakarta: Delapan satu tenaga kerja Indonesia (TKI) illegal terpaksa tinggal di rumah tokoh Nahdlatul Ulama (NU) Abdurahman Wahid (Gus Dur) di kawasan Ciganjur, Jakarta Selatan. Mereka menuntut perusahaan pengembang Mustafa Kemal (MK) di Malaysia membayar gaji mereka selama 3 bulan. "Jumlah totalnya mencapai 247 ribu ringgit Malaysia,"ujar Lukman, 29 tahun, koordinator TKI di penampungan rumah Gus Dur itu.
Menurut Lukman, perusahaan pengembang tersohor di negeri jiran tersebut menjanjikan gaji perhari karyawan dari Indonesia sebesar 40-60 ringgit per hari. Selama ini, upaya mendapatkan hak setelah bekerja selama 3 bulan sudah mencapai tingkat Mahkamah Peradilan di Malaysia. " Namun,sampai saat ini belum ada kejelasan. Pihak KBRI di sana pun cenderung lepas tangan,"ujarnya.
Lukman mengaku ingin kembali ke Malaysia untuk menuntut haknya itu. "Mungkin setelah 2 tahun di sana lagi, kami akan balik. Modal kami berangkat harus balik dulu dong," katanya. Rencananya, setelah cukup modal mereka akan balik ke Indonesia dan membuka usaha di tanah air. "Harapan kami tidak ikut membebani pemerintah dengan masalah pengangguran,"ujar Lukman.
Lukman mengaku untuk berangkat dengan cara ilegal, rata-rata para TKI harus mengeluarkan uang sebesar Rp 2,5 juta. "Kalau yang resmi pakai permit (izin) modalnya lebih mahal sampai Rp 8-10 juta,"katanya. Padahal dengan status yang aman tersebut tidak menjanjikan gaji yang lebih besar. "Pihak Depnaker justru menjanjikan gaji hanya sebesar 38 Ringgit Malaysia per hari. Pembelaan dari KBRI pun tidak ada jika temui masalah,"ujarnya.
Menurut pengakuan mereka, sebesar 80 persen pekerja di MK adalah ilegal. "Justru mereka yang meminta pekerja illegal karena tidak perlu banyak urusan dengan negara," ujar Lukman. Lukman mengaku sebenarnya majikan di Malaysia itu baik hati. "Kalau ada razia dari pasukan Rela kami dikasih tahu dulu untuk sembunyi. Setelah ada kebijakan amnesti ini malah kami jadi terlantar,"ujar Lukman.
Dengan adanya amnesti ini, pihak perusahaan justru menuduh dia membawa lari uang ratusan karyawan. "Kami minta bantuan Mbak Yeni dan Migrant Care untuk mengklarifikasi,"ujar Lukman.
Yeni Zanuba Arifah Chofsoh, putri Gus Dur ketika dihubungi membenarkan keluhan pahlawan devisa negara tersebut. Kebijakan one roof system, menurutnya perlu dikaji ulang. "Dengan paspor dan dokumen resmi yang masih tetap dipegang majikan membuat TKI tetap pada posisi yang lemah,"ujar Yeni.
Putri Gus Dur itu mendesak pemerintah untuk melakukan pembelaan terhadap mereka. "Tekan pemerintah Malaysia agar semua dokumen resmi dibawa TKI sendiri,"ujarnya. Menurut Yeni, banyak pada masalah PJTKI (Penyalur Jasa Ketenagakerjaan Indonesia). "Benahi dulu PJTKI dan sistem keimigrasian. Kalau perlu cabut ijin usaha mereka jika tetap bandel,"katanya.
Yeni sudah mengupayakan berbagai usaha diplomasi informal baik dengan pemerintah Malaysia maupun Indonesia. Kerjasama dengan Migrant Care pun sudah dijalinnya. "Cuma sayangnya enggak ada goodwill dari pemerintah kita. Sebagai negara besar masak kita kalah dengan Malaysia,"ujarnya.
Pemulangan para TKI di tempat Gus Dur ini masih menunggu janji dari Depnaker. "Mereka dijanjikan gratis dari beban Rp 2,9 juta untuk pengurusan dokumen,"ujar Yeni.
Mengenai keterlibatan perusahaan pengembang Mustafa Kemal dalam penunggakan gaji TKI, Yeni meragukan, \"Saya kurang yakin. Mereka itu kalau disini sekelas dengan Ciputra lho. Kalau cuma duit segitu masak mau namanya tercemar,"ujar Yeni. Hari ini (15/3) 81 TKI tersebut sudah dipindahkkan ke penampungan milik Depnaker di Ciracas, Jakarta Timur.
Asep Yogi Junaedi