20 Maret 2007
Sebanyak 600 anggota delegasi dari 98 negara yang disponsori La Via Campesina, sebuah organisasi petani internasional yang berkedudukan di setiap negara, pada 20 Februari 2007 berangkat ke Nyeleni, Mali, Afrika Barat. Mereka mewakili organisasi petani, buruh, perempuan, masyarakat adat, dan nelayan di negaranya.
Sekretaris Jenderal Koordinator La Via Campesina Indonesia Henry Saragih di Selingue, Mali, 24 Februari waktu Mali, menjelaskan, ada 120 organisasi petani, nelayan, buruh, perempuan, dan petani penggarap dari 98 negara menghadiri forum itu.
"Mereka mewakili kaum tak bersuara dari negara masing-masing," kata Saragih.
Ke-120 organisasi itu antara lain dari Indonesia (9), Brasil (6), Meksiko (8), dan Amerika Serikat (3). Mereka yang hadir adalah pimpinan organisasi, wakil, atau yang memiliki pengalaman unik dalam organisasi itu.
Organisasi dari Indonesia, antara lain, Serikat Buruh Migran Indonesia, Aliansi Buruh Yogyakarta, Walhi, Jaringan Advokasi Nelayan, Serikat Petani Mandiri, Bina Desa, Masyarakat Adat, dan PBHI.
Dari Brasil antara lain Commicao Pastoralle de la Terra (CPT), Persekutuan Peternak dan Tani Brasil, dan MST atau Movemento Sem Terra atau gerakan masyarakat tanpa lahan pertanian.
Sebagian besar pembicara mengungkapkan sederetan kebijakan pemerintah masing-masing yang tidak peduli terhadap hak dan nasib kaum petani, nelayan, perempuan, masyarakat desa, penggarap, kaum buruh, dan buruh migran.
Buruh perempuan migran asal Indonesia di Hongkong yang dipimpin Sumiati, misalnya, mengemukakan bahwa kebijakan Pemerintah Indonesia terhadap buruh perempuan migran sangat merugikan kaum buruh.
"Pemerintah Indonesia bukan berupaya bagaimana melindungi kaum buruh perempuan Indonesia di Hongkong, tetapi hanya berupaya bagaimana memberangkatkan mereka. Di sini banyak ketimpangan terjadi karena hampir semua buruh perempuan diperas oleh PJTKI (perusahaan jasa tenaga kerja Indonesia) selama tujuh bulan," ungkap Sumiati.
Perang dan HIV/AIDS
Mohammad Akbar dari organisasi lingkungan hidup Lebanon menambahkan, agresi Israel ke Lebanon pada musim kering 2006 menyebabkan ratusan orang tewas terbunuh, 25 persen penduduk kehilangan tempat tinggal, para petani dan peternak kehilangan lahan usaha karena bom dan pendudukan militer.
Sekitar 70 persen penduduk desa di Lebanon Utara mengalami kelaparan karena tidak dapat mengakses makanan. Akan tetapi, penduduk setempat hanya diam karena tidak memiliki kekuatan untuk mengubah situasi yang terjadi.
Agresi militer Israel ke Palestina telah menghancurkan lahan pertanian dan peternakan hampir mencapai 10 juta hektar. Jutaan petani, peternak, buruh, kaum perempuan, serta kaum muda dan anak-anak kehilangan tempat usaha, masa depan, dan orang-orang dekat akibat perang dan pembantaian.
Kelaparan terjadi di mana-mana. Tidak ada usaha ekonomi produktif di negara-negara Timur Tengah yang sedang dilanda konflik.
"Agresi militer Amerika Serikat dan sekutunya ke Irak selama puluhan tahun terakhir telah mengubah areal hutan dan lingkungan hidup secara keseluruhan menjadi padang gurun. Bom, mortir, dan berbagai senjata modern yang dilancarkan telah membuat daerah itu berubah menjadi arang dan daratan luas," papar Akbar.
Dalam perang yang dilancarkan Amerika Serikat dan sekutunya atas nama hak asasi manusia, perdamaian, dan melawan terorisme tidak pernah terpikirkan mengenai kondisi lingkungan, hak petani, peternak, nelayan, dan kaum migran yang ada. Tidak ada lagi hutan lindung, areal sawah, dan pusat peternakan. Ternak milik petani dan peternak pun dibantai tentara AS dan sekutunya untuk kebutuhan lauk mereka.
Edith Alilogo dari organisasi petani di Kamerun menambahkan, impor makanan parsel (dalam kemasan) untuk tambahan makanan bagi penderita HIV/AIDS di Kamerun dalam jumlah besar telah mematikan produk makanan lokal. Para petani semakin terdesak dengan kehadiran bahan-bahan makanan dari luar negara tersebut.
"Harga makanan kemasan (dari luar negeri) itu jauh lebih murah dibanding makanan lokal sehingga hampir sebagian besar penduduk terdorong mengonsumsi makanan ini. Padahal, sebenarnya produk makanan lokal dapat (juga) diolah menjadi sumber makanan bagi para penderita HIV/AIDS dan masyarakat pada umumnya di Kamerun," ungkap Edith.
Praktik transgenetik, rekayasa bibit tanaman dan ternak, serta program revolusi hijau yang dilakukan para pemilik modal di Kamerun dan Afrika lainnya telah mematikan kehidupan petani dan peternak lokal. Penduduk asli dan pemilik tanah tak berdaya menghadapi pemerintah setempat yang telah memberi izin bagi pengusaha asing masuk di wilayah itu.
Vijay Jawandhia dari organisasi petani India menambahkan, kehidupan para petani di India semakin tak berdaya karena harga pupuk naik, produk menurun, dan biaya yang dikenakan kepada para penggarap makin membebani kehidupan petani yang sebagian besar adalah kelompok masyarakat bawah.
Di samping itu, teknologi yang dikuasai kaum kapitalis menyebabkan harga kebutuhan pokok terus melonjak. Bahan bakar minyak terus meningkat, biaya hidup tinggi sehingga petani semakin tak berdaya.
"Sebagian besar sumber daya alam di India sudah habis karena dikuasai para kapitalis. Petani-petani India saat ini sedang depresi karena tidak ada pemasukan sama sekali," ungkap Jawandhia.
Tetapi, mengapa Indonesia justru mengimpor beras dari India? Jawandhia menegaskan, impor dan ekspor di India lebih bersifat politis, bukan sesuai kebutuhan dalam negeri. Ekspor beras India ke Indonesia karena India juga mengimpor minyak sawit dari Indonesia dan Malaysia sampai 50 persen per tahun guna memenuhi kebutuhan dalam negeri.
Sarah Ramdal dari organisasi nelayan komersial San Fransisco, Amerika Serikat, menambahkan, pencurian ikan, penggunaan pukat harimau, serta privatisasi dan liberalisasi perikanan membuat komunitas pesisir pantai kehilangan tempat usaha.
Masyarakat pesisir pantai selalu tak berdaya menghadapi kasus-kasus pencurian ikan, persaingan penangkapan dengan alat modern, dan kehadiran para tengkulak yang selalu memeras hasil jerih payah nelayan. Ramdal yakin, kasus-kasus di San Fransisco juga terjadi di Negara lain, bahkan lebih buruk. (KOR)