-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

06 May 2007

Kemana Dana Sakit Si Miskin?

Liputan6.com
6 Mei 2007

Liputan6.com, Jakarta: Tangis ibu-ibu pendemo itu pecah di halaman Kantor Badan Pemeriksa Keuangan, pekan silam, manakala mempertanyakan nasib mereka. Mengapa dana asuransi kesehatan senilai Rp 7,6 triliun tak pernah bisa mereka nikmati? Ibu-ibu itu hanyalah bagian kecil dari 60 juta lebih warga miskin yang semestinya berhak memperoleh jaminan kesehatan. Jaminan yang memang dianggarkan pemerintah dengan program Askeskin atau Asuransi Kesehatan Masyarakat Miskin.

Dan sejak dua tahun silam sudah ada Rp 7,6 triliun uang negara dianggarkan untuk itu. Sayangnya, program tersebut dinilai bocor di sana sini. Lantaran itulah, warga miskin ini meminta BPK mengaudit penggunaan dana Askeskin itu seterang-terangnya.

Hasil penelusuran tim Sigi SCTV menunjukkan, di lapangan memang terjadi berbagai ketidakberesan dalam pelayanan Askeskin. Berbagai keluhan pun muncul ke permukaan. Mulai dari adanya praktik percaloan, jual beli kartu Askeskin, lamanya mengurus surat hingga masih adanya pasien Askeskin atau keluarga miskin yang diminta membayar obat atau tindakan medis oleh sejumlah rumah sakit.

Penolakan seperti itulah yang harus dialami Fatulloh. Kakek berusia 70 tahun dengan tumor di kaki itu terpaksa gigit jari ketika dirinya berharap mendapat pengobatan segera. Padahal, ia sudah membekali diri dengan surat keterangan tidak mampu dan persyaratan administratif lainnya. Mestinya, dengan berbekal surat miskin dan syarat administratif lainnya itu, Fatulloh dijamin mendapat pengobatan gratis melalui program Jaminan Pelayanan Kesehatan Masyarakat yang ditelurkan Departemen Kesehatan pada tahun 2005, bahkan dicanangkan sejak 2000 [baca: Pelayanan Kesehatan Masyarakat Akan Ditingkatkan].

Berdasarkan penelusuran tim Sigi di beberapa rumah sakit di Jakarta dan Bandung, ternyata si miskin tak sepenuhnya bisa menikmati program yang dikenal dengan nama Askeskin ini. Tengoklah keadaan seorang pasien di Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung, Jawa Barat. Sudah dua pekan, Nyonya Saeni terbaring di ruang perawatan kelas tiga di rumah sakit tersebut. Bangsal ini memang sengaja disediakan pihak rumah sakit untuk merawat pasien tidak mampu. Berasal dari Karawang, Jawa Barat, suami Saeni, Mulyadi, adalah korban pemutusan hubungan kerja. Ia tak sanggup membiayai pengobatan istrinya.

Berbekal surat keterangan tidak mampu, Mulyadi mengalami perlakuan cukup baik dan tidak dipungut biaya. Mulai dari pendaftaran, perawatan hingga istrinya masuk bangsal. Belakangan, dokter rumah sakit memberikan beberapa resep di luar jaminan PT Asuransi Kesehatan (Askes). Walaupun koceknya tipis, Mulyadi terpaksa membeli resep itu di apotek rumah sakit.

Kisah serupa dialami pasien penderita thalassemia di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo, Salemba, Jakarta Pusat. Di rumah sakit pelat merah itu, ternyata masih ada obat-obat tertentu yang harus dibayar oleh pasien tidak mampu.

Diluncurkan dua tahun silam, program Askeskin disambut gembira kaum miskin yang berharap mendapat pengobatan gratis. Sesuatu yang selama ini hanya impian belaka. Ketika itu Menteri Kesehatan Siti Fadilah Supari berharap semua pasien miskin tak memperoleh kesulitan manakala berurusan dengan pihak rumah sakit [baca: Pembagian Kartu Askes untuk Warga Miskin].

Dua tahun kemudian para pasien miskin mulai memenuhi antrean di rumah sakit untuk dilayani lewat program Askeskin. Bagi sebagian besar warga miskin, Askeskin bak kartu sakti untuk lepas dari kesengsaraan dan mendapatkan pelayanan gratis.

Saking saktinya kartu ini, mereka yang tadinya mampu berupaya mendapatkan dengan berbagai cara. Jadilah bukan hanya si miskin yang menikmati pelayanan gratis di rumah sakit. Orang yang bukan tergolong miskin boleh jadi turut merasakannya.

Salah satunya adalah Aminudin. Sudah lima bulan, Aminudin terbaring di ruangan perawatan intensif (ICU) Rumah Sakit Hasan Sadikin, Bandung. Masuk rumah sakit pada 12 Januari silam, Aminudin merupakan pasien rujukan dari RS Al-Islam, Bandung. Pertama kali masuk, lelaki itu tercatat sebagai pasien non-Askes dan terdaftar di kelas satu.

Setelah tiga bulan dirawat, biaya pengobatan yang harus dikeluarkan pihak keluarganya mencapai 70 juta rupiah. Aminudin yang mengalami trauma di kepala dan kesulitan bernapas, juga tak bisa dipastikan waktunya bisa keluar dari ruang perawatan intensif.

Dengan berbagai kondisi itu, tiba-tiba saja pada 7 Maret silam, status Aminudin berubah dari pasien umum non-Askes kelas satu menjadi pasien Askeskin. Perubahan seperti sulap ini dibuktikan dengan lengkapnya persyaratan administratif yang menyatakan Aminudin merupakan pasien miskin. Nah, sejak saat itulah, laki-laki itu berhak mendapatkan pengobatan gratis di RS Hasan Sadikin.

Tim Sigi pun mencoba menelusuri jejak rumah Aminudin. Terletak di pinggiran kawasan perumahan terkenal di Bandung, sekilas pandang memang tak ada tanda-tanda bahwa pasien tersebut masuk kategori miskin dan berhak mendapatkan Askeskin. Terlebih, pihak keluarga juga tertutup dan enggan menjawab sejumlah pertanyaan seputar pekerjaan Aminudin. Yang terang, di kolom pekerjaan kartu tanda penduduk yang baru dibuat Maret silam, tertulis buruh harian lepas sebagai pekerjaan Aminudin.

Fasilitas seperti yang didapat Aminudin itu mungkin tak terbayangkan oleh Kohir. Setiap hari, Kohir mengumpulkan sampah di bekas Tempat Pembuangan Akhir Leuwigajah, Cimahi, Jawa Barat. Ayah tujuh anak yang sekarang berusia 56 tahun itu sudah sejak tahun 80-an jadi pemulung.

Ayah Kohir yang kini berumur hampir 70 tahun sudah tujuh tahun menderita sakit. Selama itu pula, kakek renta ini hanya dirawat di rumah dengan obat seadanya. Berkali-kali petugas pusat kesehatan masyarakat atau puskesmas meminta agar sang pasien dibawa ke rumah sakit. Hanya saja, dengan penghasilan sebesar lima ribu rupiah per hari, Kohir tak sanggup membiayai perawatan sang ayah. Ingar bingar Askeskin dan pengobatan gratis bagi kaum miskin sama sekali tak pernah didengar sang pemulung itu.

Ada pasien miskin yang tak mendapat pelayanan, sementara ada pasien mampu yang justru mendapat kartu Askeskin. Kontras itu diakui menjadi salah satu bentuk penyimpangan dalam program Askeskin. Proses verifikasi peserta yang tidak sempurna diduga kuat menjadi penyebabnya.

Boleh dikatakan, banyak kaum miskin di Tanah Air yang justru tak mendapat pelayanan Askeskin lantaran minimnya informasi. Persoalan lainnya adalah masyarakat miskin enggan mengurus kartu tanda penduduk dan kartu keluarga. Mereka merasa berat dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk membuat dua kartu kependudukan tersebut. Padahal, dua kartu pengenal identitas diri itu penting buat mendapatkan surat keterangan tidak mampu yang bisa dipakai untuk memperoleh pengobatan gratis.

Sementara untuk mendapatkan surat keterangan tidak mampu (SKTM), ternyata harus melalui birokrasi yang berbelit-belit. Mulai dari tingkat rukun tetangga, rukun warga, kelurahan, puskesmas hingga ke Dinas Kesehatan setempat. Setelah proses panjang itu dilewati, barulah si pasien pemegang kartu Askeskin bisa berebut antrean dengan ribuan pasien miskin lain di rumah sakit.

Ibu Een, umpamanya. Tim Sigi mengikuti wanita itu ketika mengurus SKTM agar bisa mendapat pengobatan gratis tumor mata yang dideritanya. Terkadang, ia harus mendapat pelayanan ketus dari petugas. Di sebuah puskesmas, ia bahkan dipungut biaya administrasi dua ribu rupiah. Dan anehnya, tanpa selembar kuitansi pun dari petugas.

Untuk bisa sampai ke rumah sakit dengan kartu berobat bagi warga miskin seperti Ibu Een paling tidak memerlukan waktu dua hingga tiga hari. Ini belum termasuk antrean panjang dan kemungkinan dirujuk ke rumah sakit lain oleh petugas di rumah sakit pertama.

Ratusan pasien miskin, setiap hari menyesaki loket pelayanan kesehatan khusus Askeskin. Pemerintah membayarkan iuran penduduk miskin sebesar lima ribu rupiah tiap orang per bulan kepada PT Askes. Total pendanaan untuk tahun 2005 sebesar Rp 2,2 triliun. Ini jumlah dana pelayanan untuk 36 juta penduduk miskin. Angka ini kemudian bertambah di tahun berikutnya menjadi Rp 3,6 triliun dengan jumlah penduduk miskin naik menjadi 60 juta jiwa.

Di RS Hasan Sadikin, Bandung, sebanyak 95 persen pasien kelas tiga merupakan peserta Askeskin. Total pelayanan untuk pasien miskin di rumah sakit nasional ini mencapai 35 persen. Dengan nilai tagihan ke PT Askes antara tiga hingga tiga setengah miliar rupiah setiap bulan.

Di sebuah tempat di rumah sakit itu tampak tumpukan kardus. Kardus-kardus ini berisi tagihan klaim pelayanan Askeskin di RS Hasan Sadikin kepada PT Askes cabang Bandung. Tagihan obat dan pelayanan untuk Januari 2007 itu baru tiba di Kantor Askes pada 2 Mei silam. Kelambanan ini membuat pihak Askes jadi terlambat membayar klaim kepada pihak rumah sakit. Jumlahnya hingga bulan ini mencapai belasan miliar rupiah.

Adanya keterlambatan pembayaran klaim oleh PT Askes kepada pihak rumah sakit, menurut Marius Widjajarta dari Yayasan Pemberdayaan Konsumen Kesehatan (YPKK) bisa berdampak kepada kondisi keuangan rumah sakit yang kian lemah. Ujung-ujungnya, pelayanan kepada si miskin bertambah buruk.

Belakangan, tak hanya persoalan dmisnitratif yang diduga jadi biang keladi keterlambatan pembayaran klaim dari PT Askes. Pihak Askes dan pemerintah yang dalam hal ini diwakili Departemen Kesehatan, dituding mempunyai andil lain sehingga pembayaran terlambat. Maklumlah, ini menyangkut uang dalam jumlah besar yang mampir di beberapa rekening.

Di tengah perdebatan siapa salah siapa benar, jutaan warga miskin terus berdoa agar pelayanan kesehatan gratis bagi mereka kian ditingkatkan. Berbagai kalangan pun berharap, apa pun mekanisme pelayanan kesehatan kepada kaum miskin, tetap harus mengacu pada kepentingan mereka. Dan bukan untuk tujuan praktis kelompok tertentu, terlebih menjadi bancakan kepentingan bisnis semata.(ANS/Tim Sigi SCTV)