5 Juli 2007 - 17:17 WIB
Yulianti
Bayi-bayi buruh migran diperjuabelikan di bandar udara. Ada yang diadopsi keluarga baik-baik. Banyak pula yang jatuh ke tangan orang-orang misterius.
Enam rumah petak berjajar di halaman rumah Haji Zaini di Rawabokor, Tangerang, Banten. Beberapa anak asyik bermain di rumah itu, Sabtu 23 Juni lalu. Suara mereka gaduh. Sang pemilik rumah sedang beristirahat.
Di antara anak-anak itu adalah Rizki Ana Amelia, 6 tahun. Hari itu Amel, panggilan akrab gadis itu, bermanja-manja pada ibunya. Ia merengek minta uang jajan. Nani, sang ibu, yang tengah membelai rambut anaknya itu tak kuasa menolak. Ia merogoh kantong dan selembar uang kertas Rp 1.000 disodorkan ke Amel. Bocah hitam manis itu pun kegirangan.
Amel adalah anak angkat Nani, 45 tahun, dan Zaini, 60 tahun. Amel diadopsi dari seorang buruh migran yang pulang dari Saudi Arabia saat masih bayi pada tahun 2001. Dalam akta kelahirannya, Amel tercatat sebagai anak Nani dan Zaini. Begitu juga dalam kartu keluarga Zaini, Amel tercatat sebagai anak.
Ibu kandung Amel seorang perempuan asal Cilacap, Jawa Tengah. Umur Amel baru seminggu ketika diserahkan oleh ibu kandungnya kepada Zaini. Saat itu Zaini bekerja sebagai koordinator lapangan Terminal III Bandara Soekarno-Hatta, Cengkareng. Terminal itu khusus untuk kedatangan dan keberangkatan buruh migran Indonesia. "Mungkin karena malu pulang bawa anak, ibunya langsung memberikan Amel ke Baba,"ujar Nani yang menyebut suaminya Baba, panggilan khas Arab.
"Sampai sekarang
ibunya nggak pernah
datang. Ternyata dia
kasih alamat palsu."
(Nani)
Tak ada selembar pun perjanjian adopsi antara Zaini dan ibu Amel. Satu-satunya dokumen yang dimiliki Zaini adalah paspor ibu Amel. "Nama itu juga dari ibunya, nggak diganti-ganti," kata Nani.
Zaini dan Nani sangat gembira mendapat anak lagi. Sebelumnya, tahun 1997, mereka mengadopsi Sundari Sukoco dari Siti, seorang buruh migran yang mengaku asal Situbondo, Jawa Timur. Waktu itu Zaini membawa Siti dari Bandara Soekarno-Hatta ke rumahnya. Siti meminta Nani merawat dirinya yang sedang hamil 8 bulan. Siti mengaku malu pulang ke kampungnya dengan perut buncit, karena ia berstatus janda. "Waktu pulang dari Arab, Siti sedang hamil 8 bulan. Ia minta dirawat dan melahirkan di sini," tutur Nani.
Nani bersedia merawat dan membiayai Siti sampai melahirkan di rumah bersalin Sari Asih, Tangerang. Siti tak mampu membayar biaya persalinan, karena waktu pulang dari Saudi Arabia hanya membawa sedikit uang. Nani mengatakan akan mengadopsi anak Siti jika melahirkan bayi perempuan. Siti menyetujui. "Sampai sekarang ibunya nggak pernah datang. Kami pernah ke tempatnya di Situbondo. Ternyata dia kasih alamat palsu. Mungkin karena malu," kata Nani.
Sebelum menjadi koordinator lapangan Terminal III, Zaini adalah sopir taksi gelap di bandara. Laki-laki yang biasa disapa Pak Haji ini sering mengantar buruh migran pulang kampung.
Sebelum dibangun Terminal III, Zaini menyediakan rumahnya sebagi tempat transit dan kumpul buruh migran yang mau pulang ke kampung halaman atau yang sedang cuti. Wakti itu banyak sekali buruh migran perempuan yang hamil dan membawa anak. Mereka tidak mau pulang dan meminta Nani merawat anak-anak mereka yang berparas Arab. Sejak tahun 1997 saja ada 12 anak dibawa ke rumah Zaini. Sebagian anak "dibagikan" kepada saudara dan teman-teman Zaini yang tidak mempunyai anak.
Nani dan Zaini hanya mengambil Amel dan Sundari. Pasangan ini memiliki empat anak kandung, tiga di antaranya sudah berkeluarga. Kini anak bungsu mereka masih kuliah.
Keluarga Zaini dan Nani menyayangi dan memanjakan Amel dan Sundari. Bahkan, Amel begitu dekat dengan Zaini. "Kalau tidur saja harus dengan Baba," ujar Nani.
Bagi keluarga Zaini, Terminal III adalah berkah. Sebelum terminal itu dibangun, Zaini menghidupi keluarganya dari uang sewa enam rumah petaknya. "Mungkin karena itu Baba sayang banget ama Amel dan Sundari. Lagi pula anak-anaknya kan sudah besar semua," kata Nani.
Boleh jadi Amel dan Sundari anak buruh migran yang beruntung. Mereka diadopsi oleh orang baik-baik. Banyak anak buruh migran yang tak jelas nasibnya.
Menurut Ketua Pengembangan dan Pendidikan Tenaga Kerja Indoneia (PPTKI) Normawati, tiap bulan ada 8 hingga 10 bayi yang dibawa buruh migran yang pulang dari luar negeri. Para buruh migran itu diusir oleh majikan setelah ketahuan mengandung. Banyak juga yang dipenjara karena ketahuan hamil di luar nikah. "Entah itu hasil pemerkosaan ataupun suka sama suka," kata Norma.
Banyak pula orang di Terminal III yang meminta bayi-bayi itu. Profesi mereka macam-macam, ada sopir, porter, bahkan polisi. "Mungkin karena malu pulang membawa anak, jadi mereka kasih saja. Karena tidak punya uang, anak itu dititipkan ke orang yang ada di situ. Nah, yang dititipi itu nantinya dikasih uang sekadarnya, sekitar Rp 1 juta," kata Norma yang menyebut anak-anak buruh migran itu cucunya.
"Ketika saya tanya, ke
mana Rp 15 jutanya?
Sopirnya hanya
tertawa."
(Norma)
Namun tidak sedikit bayi itu dijual oleh oknum-oknum di Terminal III. Seperti kasus buruh migran yang melahirkan di Rumah Sakit Angkasa Pura. Setelah melahirkan, bayinya diambil seorang polisi wanita. Norma yang saat itu mendapat telepon dari petugas Terminal III langsung meluncur ke rumah sakit. "Begitu sampai sana, bayinya sudah diambil seorang polwan. Saya telepon polwan itu. Dia bilang, tenang Bu Norma! Cucumu diadopsi seorang dokter tidak punya anak setelah 12 tahun menikah," kata Norma.
Sepanjang pengalaman Norma menemani beberapa buruh migran melahirkan di rumah bersalin, tak banyak yang mau buka mulut. Menurut seorang sopir di Bandara, seorang bayi dijual hingga Rp 20 juta. Namun si ibu hanya mendapat Rp 5 juta. "Ketika saya tanya, ke mana Rp 15 jutanya? Sopirnya malah ketawa," kata Norma lagi.
Perdagangan anak-anak buruh migran di bandara memang bukan rahasia lagi. Ada pembeli yang benar-benar ingin mengadopsi anak itu, tapi ada pula yang menjualnya lagi pada orang tak dikenal. Nasib anak-anak buruh migran masih misterius. (E1)
Foto-foto oleh VHR/Yulianti.
1. Sundari Sukoco (paling atas)
2. Amel (nomor dua dari atas)
3. Nani, Amel dan cucunya (nomor tiga dari atas)
4. Norma dan "cucu-cucunya" (paling bawah)