3 Mei 2007
Slawi, Kompas - Peristiwa tragis kembali mewarnai dunia pendidikan Indonesia. Akibat kemiskinan dan masih adanya berbagai bentuk pungutan di sekolah, seorang siswa sekolah dasar di Kabupaten Tegal, Jawa Tengah, kini terbaring dalam kondisi kritis di rumah sakit setelah sebelumnya ia berupaya bunuh diri.
Upaya nekat tersebut dilakukan oleh Eko Haryanto (15), siswa kelas VI SD Kepunduhan 01, Kecamatan Kramat, Kabupaten Tegal, pekan lalu. Hingga Senin (2/5), korban masih tak sadarkan diri di ruang ICU Rumah Sakit Mitra Siaga Kabupaten Tegal.
Eko ditemukan menggantung diri menggunakan selendang di ruang tamu rumah mereka oleh ibunya, Ruwet Dioni (37). Tindakan tersebut diduga dilakukan korban lantaran ia malu gara-gara menunggak uang sekolah selama sembilan bulan. Setiap bulan, Eko dikenai pungutan sejumlah Rp 5.000.
Kasus upaya bunuh diri terkait masalah biaya pendidikan ini semakin menegaskan betapa sulit bagi orang-orang miskin untuk bisa mengakses pendidikan.
Di Kabupaten Tegal saja, usaha bunuh diri oleh seorang siswa ini merupakan kasus kedua dalam satu bulan terakhir. Sebelumnya, pada tanggal 7 April 2005, Bunyamin (17)-siswa kelas II Logam 1 SMK Negeri 2 Adiwerna, Kabupaten Tegal- malah ditemukan tewas menggantung diri karena tidak mampu membayar uang sumbangan penyelenggaraan pendidikan (SPP) (Kompas, 8/4).
Dua tahun lalu, kasus serupa juga terjadi di Kabupaten Garut, Jawa Barat. Ketika itu, Haryanto-siswa SD Negeri Sanding IV, Kabupaten Garut-mencoba bunuh diri dengan menggantungkan tubuhnya dengan kawat di kusen belakang rumah mereka.
Tindakan itu ia lakukan karena merasa malu lantaran orangtuanya-sehari-hari bekerja sebagai buruh pikul-tidak mampu memenuhi permintaannya membayarkan biaya ekstrakurikuler yang diminta pihak sekolah (Kompas, 24 Agustus 2004).
Persiapan ujian akhir
Ruwet menuturkan, pada hari Minggu tanggal 24 April 2005 (sehari sebelum Eko nekat menggantung diri-Red), Eko menyerahkan undangan pertemuan dari sekolah, terkait dengan persiapan ujian akhir.
Pertemuan wali murid dengan pihak sekolah itu rencananya akan diadakan pada hari Selasa. Selain undangan rapat terkait dengan rencana persiapan menghadapi ujian akhir, Eko juga mendapat tagihan tunggakan uang sekolah selama sembilan bulan.
Oleh karena itu, pada Senin pagi, Ruwet datang ke sekolah untuk melunasi tunggakan uang sekolah Eko. Saat ia pulang ke rumah, Ruwet mendapati Eko tengah menangis. Saat ditanya, anak pertama dari dua bersaudara tersebut tidak mau menjawab.
Namun, Eko sempat mengaku malu kepada ibunya karena disindir-sindir oleh gurunya lantaran dia tidak membayarkan uang sekolah yang menjadi kewajibannya.
Ruwet mengaku tidak terlalu memedulikan kejadian itu. Ia kemudian pergi ke sawah. Selama ini, ia dan suaminya, Sohirin (40), memang sehari-hari bekerja sebagai buruh tani dengan penghasilan sekitar Rp 20.000 per hari.
Namun, alangkah terkejutnya saat ia kembali pada petang hari karena mendapati Eko tergantung di ruang tamu. Dalam situasi panik, bocah tersebut segera dilarikan ke rumah sakit. Jiwanya memang tertolong, namun hingga saat ini Eko belum sadarkan diri. Kompas yang menjenguk ke rumah sakit hanya melihat Eko terbaring dengan kondisi mata dan mulut terbuka. Sesekali terdengar suara seperti orang mengorok dari mulutnya.
Biaya obat
Menurut Ruwet, kondisi tersebut sangat membebani keluarganya. Untuk biaya pembelian obat selama satu minggu terakhir ia sudah mengeluarkan uang lebih dari Rp 2 juta. Sementara untuk biaya tempat dan perawatan rumah sakit selama lima hari pertama, ia mengaku mendapat tagihan sebanyak Rp 2 juta.
Padahal, penghasilan keluarganya sebagai buruh tani sangat kecil, hanya sekitar Rp 20.000 per hari. Itu pun harus digunakan untuk membiayai anaknya yang lain, yaitu Kulun Riyanto (8) yang kini duduk di kelas II SD.
"Biaya yang dikeluarkan sangat banyak, sementara kondisi anak saya masih saja seperti ini," ujar Ruwet menangis.
Ketua Pusat Pelayanan Terpadu bagi Perempuan dan Anak (Puspa) Kota Tegal Hamidah Abdurrahman mengatakan bahwa upaya bunuh diri yang dilakukan anak di bawah umur merupakan fenomena yang sudah muncul sejak beberapa waktu di masyarakat. Secara hukum, perbuatan yang dilakukan anak di bawah umur merupakan tanggung jawab orangtua.
Namun, tidak dapat dimungkiri bahwa secara psikologis saat ini anak cenderung lebih cepat dewasa. Sementara di sisi lain ia juga memiliki masalah seperti halnya orang dewasa. Oleh karena itu, berbagai cara bisa dilakukan untuk menyelesaikan masalah tersebut, termasuk bunuh diri. (WIE)