Oleh: Wahyu Susilo, Dosen Unika Atma Jaya, Jakarta (Aktivis INFID dan Policy Analyst Migrant CARE)
Jika dibandingkan dengan tahun lalu, hiruk-pikuk menjelang May Day tahun ini tampaknya tak seramai dulu. Meskipun dipastikan pada 1 Mei 2007 ribuan buruh di Indonesia akan tetap turun ke jalan memperingati Hari Buruh Sedunia sembari tetap melancarkan tuntutan pemenuhan hak-hak buruh.
Kesemarakan May Day tahun lalu dipicu rencana revisi UU No 13 Tahun 2003 yang menimbulkan resistensi kuat di kalangan serikat buruh, baik yang moderat maupun yang radikal. Akibatnya hingga saat ini, rencana revisi UU tersebut tertunda. Namun, bukan berarti upaya untuk merestrukturisasi kebijakan ketenagakerjaan mandek. Gerilya kebijakan juga tetap dilakukan pemerintah dengan mempersiapkan beberapa rancangan peraturan pemerintah yang sebenarnya berisi substansi revisi UU tersebut. Isi rancangan tersebut antara lain mengenai PHK.
Terlepas soal revisi kebijakan ketenagakerjaan dan resistensinya, nasib buruh Indonesia masih muram, apalagi dengan kinerja ekonomi Indonesia yang belum memperlihatkan tampilan yang signifikan. Hal itu diperlihatkan dengan kenaikan angka kemiskinan yang dipastikan memicu tingginya tingkat pengangguran.
Situasi yang juga memicu keterpurukan nasib buruh adalah faktor bencana alam dan kegagalan penanganannya. Deraan bencana alam gempa di Yogyakarta, Jawa Tengah, lumpur Lapindo, dan banjir di Jakarta menempatkan kaum buruh sebagai korban utama. Tak tertanganinya luapan lumpur panas Lapindo di Porong, Sidoaro, telah mengubur impian ratusan ribu buruh yang menggantungkan nasib mereka dari kawasan industri yang sekarang ini tenggelam oleh luapan lumpur Lapindo.
Pengesahan dan pemberlakuan UU Penanaman Modal juga dipastikan akan memengaruhi nasib buruh Indonesia. Resistensi yang ditunjukkan kalangan serikat buruh, serikat tani, dan organisasi nonpemerintah pada saat pembahasan RUU Penanaman Modal, mengisyaratkan rancangan itu akan kembali menjadi ancaman bagi kaum buruh (dan juga sektor marginal lainnya) karena UU itu menjadi lembaran legitimasi kaum pemodal untuk menanamkan kapitalnya dan konsekuensinya negara harus menjamin operasi investasi kaum pemodal. Berdasarkan pengalaman sejarah ekonomi Indonesia, penjaminan operasi investasi kaum modal selalu menghasilkan kebijakan yang memarginalkan kaum buruh, petani, dan sektor marginal lainnya.
Tanda-tanda UU Penanaman Modal menjadi ancaman bagi kaum buruh Indonesia mulai dirasakan ketika para investor asing dan Kadin menyatakan sikap bahwa UU Penanaman Modal haruslah dilengkapi penuntasan rencana revisi UU No 13/2003 tentang Ketenagakerjaan yang tertunda. Bagi kaum pemodal, UU Penanaman Modal belum cukup menjadi penjamin bagi iklim investasi di Indonesia selama kebijakan ketenagakerjaan di Indonesia dianggap masih terlalu berpihak pada kaum buruh.
Tentu saja pendapat bahwa UU Penanaman Modal menjadi ancaman bagi kaum buruh ditolak pemerintah dan investor. Mereka bahkan berpendapat UU itu akan membuka lapangan kerja baru. Diktum kebijakan ekonomi pertumbuhan memang mengasumsikan kesejahteraan rakyat akan meningkat jika ada investasi yang menggerakkan ekonomi dan membuka lapangan kerja baru. Logika itu yang dipegang teguh pemerintah dan diamini para investor.
Namun, logika itu patut dipertanyakan jika kita menengok Papua. Baru-baru ini, ribuan buruh PT Freeport Indonesia melancarkan mogok kerja massal selama berhari-hari. Aksi itu dipicu kondisi ketidakadilan yang dialami para pekerja PT Freeport, terutama warga lokal. Bagi rakyat Papua, eksplorasi penambangan Freeport di pulau cendrawasih itu ternyata tidak mendatangkan kemakmuran bagi Papua. Walau telah puluhan tahun tembaga dan emas dikeruk, kondisi kesehatan dan pendidikan warga Papua tertinggal dari warga Indonesia lainnya.
Keterpurukan nasib buruh Indonesia makin bertambah susah ketika lembaga-lembaga yang seharusnya menjadi penjamin keamanan kerja mereka digerogoti korupsi dan ajang perebutan kekuasaan. Dalam sejarahnya, PT Jamsostek tidak pernah menjadi tameng perlindungan bagi kaum buruh Indonesia. Bahkan, BUMN yang mengelola asuransi tenaga kerja itu malah menjadi ladang penyelewengan dari iuran keringat kaum buruh Indonesia.
Situasi keterpurukan juga masih dialami buruh Indonesia yang bekerja di luar negeri (buruh migran Indonesia). Menurut data Migrant Care, hingga 2007 ini setidaknya ada sekitar 23 buruh migran Indonesia menghadapi ancaman hukuman mati di Malaysia, Saudi Arabia, Singapura, dan Mesir. Daftar hukuman mati para buruh migran Indonesia bahkan makin panjang jika ditambahkan data yang diakumulasi Indonesian Sociology Research. Ornop Indonesia di Malaysia mencatat sekitar 38 orang Aceh yang bekerja di Malaysia juga menghadapi ancaman hukuman mati. Tak seperti Philipina yang selalu sigap membela warganya yang menghadapi ancaman hukuman mati, tampaknya Pemerintah RI tetap 'adem ayem' dan tenang-tenang saja ketika jumlah warga Indonesia yang berhadapan dengan ancaman hukuman mati telah melewati angka 50 orang!
Bahkan kematian seakan menjadi rutinitas dalam penempatan buruh migran Indonesia. Menurut pendataan yang dilakukan Migrant Care sepanjang bulan Januari–April 2007 ini setidaknya ada sekitar 30 kasus kematian buruh migran Indonesia di luar negeri. Artinya, setiap empat hari ada satu buruh migran Indonesia meninggal dunia! Dan, data itu pun selalu disepelekan negara karena persentasenya sangat kecil.
Bukan berarti tak ada inisiatif untuk membenahi pengelolaan penempatan buruh migran Indonesia. Presiden RI bahkan telah menunjuk seorang aktivis buruh untuk mengepalai Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan Tenaga Kerja Indonesia (BNP2TKI). Namun ini tentu bukan jaminan, selama paradigma yang mengedepankan komodifikasi buruh migran tetap menjadi pedoman kebijakan penempatan buruh migran Indonesia.
Masa transisi pengelolaan penempatan buruh migran Indonesia malah menjadi masa-masa yang rentan bagi upaya perlindungan buruh migran Indonesia. Restrukturisasi institusi baru itu mengalokasikan banyak waktu hanya untuk konsolidasi internal, sementara itu masih banyak kasus-kasus buruh migran yang seharusnya ditangani menjadi ditelantarkan. Institusi baru itu juga tak akan banyak manfaatnya bila masih mereproduksi cara pandang dan kinerja institusi lama (Ditjen PPTKLN Depnakertrnas RI) dalam penempatan dan perlindungan buruh migran Indonesia.
Muramnya kondisi buruh Indonesia di dalam negeri maupun di luar negeri juga tidak secara otomatis berubah oleh reshuffle kabinet yang rencananya dilakukan Presiden SBY pada Mei 2007. Diperlukan sebuah perubahan paradigma mendasar dalam labour governance di Indonesia. Modalitas untuk perubahan paradigma juga telah dimiliki Indonesia. Kita telah meratifikasi antara lain seperangkat instrumen perlindungan buruh baik dari mekanisme ILO maupun PBB. Namun, modalitas itu akan sia-sia jika hanya dipakai sebagai etalase diplomasi tanpa implementasi.