-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

25 June 2007

Nasib Buruh Migran Indonesia di Hongkong

Kompas
Senin, 25 Juni 2007

Enny Lestari

Kita tidak bisa menyangkal, buruh migran Indonesia atau BMI adalah salah satu bagian warga negara yang telah memberikan sumbangan besar bagi Pemerintah RI. Setidaknya, Rp 2 triliun per tahun disumbangkan para BMI melalui remittance yang dikutip dari pengiriman uang BMI ke kerabatnya di Tanah Air.

Namun, sumbangan BMI kepada pemerintah masih tidak dihargai semestinya. Pemerintah masih saja abai dalam memberantas calo tenaga kerja yang kerap menipu calon BMI, tidak sepenuh hati menerapkan kebijakan perlindungan, dan kerap kurang memberi perhatian dan perlindungan bagi BMI "bermasalah" di luar negeri.

Khususnya di Hongkong, sejak Mei 2006 otoritas setempat memberlakukan peraturan upah minimum bagi pembantu asing sebesar 3.400 dollar Hongkong.

Pemerintah Hongkong juga hanya membolehkan agen penyalur tenaga kerja asing memungut 10 persen dari gaji pertama yang disebut sebagai "biaya agen". Pelanggaran bisa menyeret majikan atau agen penyalur ke pengadilan Hongkong.

Pada saat peraturan itu disusun, mayoritas BMI menerima upah di bawah ketentuan. Melalui survei Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia-Hongkong (ATKI-HK) terhadap sekitar 3.000 BMI, rata-rata BMI hanya memperoleh upah 1.800 dollar Hongkong-2.000 dollar Hongkong. Upah lebih rendah bisa dialami pembantu asing yang baru bekerja di Hongkong. Umumnya, BMI yang baru menginjak Hongkong belum mengenal situasi dan tidak mengetahui peraturan hukum Hongkong mengenai pekerja asing.

Apabila pembayaran upah di bawah ketentuan minimum (underpayment) terjadi setelah Mei 2006, majikan dapat diadukan ke pengadilan. Namun, setelah diteliti lebih dalam, masalahnya tidak sesederhana kasus underpayment biasa.

Sebagian majikan ternyata membayar sesuai ketentuan. Bila demikian, berarti ada pihak di antara majikan dan BMI yang turut memungut upah yang semestinya menjadi hak BMI. Hal ini dibenarkan para majikan yang mengatakan tidak seluruh upah dibayarkan kepada pembantu asing. Sebagian dibayarkan kepada agen sebagai "biaya agen". Praktik pemotongan biasanya dilakukan 5 bulan-7 bulan.

Praktik pelanggaran ini diketahui BMI, tetapi hampir tidak ada yang bisa dilakukan untuk menghentikannya. Penyebabnya adalah umumnya ada perjanjian utang antara BMI dan "pihak lain" yang mewakili atau tidak mewakili agen penyalur TKI.

Perjanjian biasanya ditandatangani di Tanah Air sebelum calon BMI diberangkatkan ke negara penerima. "Pihak lain" adalah lembaga jasa penyalur kredit yang mengaku membiayai seluruh proses mulai dari pelatihan, termasuk makan-minum, tiket pesawat, hingga pembayaran visa kerja.

Rincian biaya disodorkan begitu saja untuk ditandatangani calon BMI sebagai "pengakuan utang". Surat utang juga memuat mekanisme pembayaran yang "disepakati", yang menyebutkan kewajiban BMI membayar dalam waktu tertentu yang diambil dari upah per bulan.

Untuk teknis pembayaran dan besarannya, PJTKI di Indonesia dan agensinya di Hongkong menerapkan standar berbeda antara yang belum berpengalaman dan tidak dapat berbahasa Kanton dengan yang sudah berpengalaman dan bisa berbahasa Kanton.

Untuk kelompok pertama, ditetapkan upah 2.000 dollar per bulan yang jelas underpaid. Biasanya mereka dibebankan kewajiban membayar 1.800 dollar per bulan selama lima bulan pertama.

Kelompok kedua, upahnya 3.400 dollar per bulan atau sesuai ketentuan. Beban yang diwajibkan sebesar 3.000 dollar per bulan selama tujuh bulan pertama. Jadi, upah yang diterima hanya 200 dollar-400 dollar per bulan.

Akibatnya, tidak sedikit BMI harus merelakan pemotongan hampir 100 persen dari upah tiap bulan. Keadaan menjadi lebih buruk ketika pekerjaan yang dijanjikan agen ternyata berbeda atau fiktif.

Sampai saat ini sebagian besar BMI terikat utang cukup besar, yang terkadang terbawa hingga BMI tidak lagi bekerja di luar negeri. Atas dasar "surat utang" itu, tidak jarang keluarga BMI di Tanah Air diintimidasi dan mengalami kekerasan dari pihak yang mengaku diutus perusahaan penyalur kredit.

Korban kegagalan negara

Tentu saja masalah ini tidak bisa diusut dengan menggunakan perangkat hukum di Hongkong karena akar persoalan memang lebih banyak ada di Tanah Air. Karena itu, dibutuhkan usaha sangat keras dari Pemerintah RI memberantas praktik penindasan terselubung pada BMI.

Di samping perlu memperketat pengawasan terhadap agen, pemerintah harus konsekuen memberantas perilaku menyimpang dari jajarannya sendiri. Pastikan penanganan masalah yang membelit BMI sejak di Tanah Air hingga kembali ke Tanah Air menjadi pokok perhatian pemerintah dalam membenahi sistem pengiriman tenaga kerja Indonesia ke luar negeri.

Dengan melihat kultur masyarakat yang umumnya bercorak agraris dengan ikatan kekerabatan sosial cukup kuat, rasanya sedikit sekali orang Indonesia—khususnya perempuan—bercita-cita menjadi BMI dan bekerja di luar negeri. Gelombang migrasi tenaga kerja dari Indonesia ke berbagai negeri adalah bentuk keterpaksaan akibat sempitnya lapangan kerja di dalam negeri.

Dengan kata lain, kegagalan pemerintah memenuhi kewajiban konstitusionalnya memberi pekerjaan dan penghidupan layak untuk seluruh warga negara adalah faktor utama penyebab derasnya migrasi tenaga kerja. Sebagian warga negara yang terpaksa bekerja di luar negeri adalah "korban" kegagalan negara.

Enny Lestari Ketua Umum Asosiasi Tenaga Kerja Indonesia (ATKI)