Sabtu, 21 Juli 2007
Berharap Uang Santunan Rp 100 Juta Bisa Cair
Impian Siti Fatimah membangun rumahnya di Desa Ngoran, Kecamatan Nglegok, pupus sudah. Enam bulan bekerja di Hong Kong, bukan gemercing dollar yang diterima, melainkan penderitaan.
Berikut laporannya.
Abdul Aziz Wahyudi, Ratu
"Semoga cobaan ini saya bisa menjalaninya." Begitulah yang terucap dari bibir Siti Fatimah. Perempuan berusia 30 tahun itu tidak bisa melupakan peristiwa pahit saat bekerja di Hong Kong.
Kemarin saat di rumahnya, Siti yang mengenakan kaus hijau dipadu kuning, tak bisa membendung air matanya setiap kali menceritakan penderitaannya saat di negeri seberang. Wajahnya dulu yang mulus dan kuning langsat kini telah berubah. Pelipis kanan, hingga pipinya terdapat bekas luka bakar yang warnanya agak kecokletan. Bahu sebelah kanan juga mengalami luka bakar. "Sabar ya Nak," kata perempuan tua sambil mengelus pundaknya.
Dua wanita yang duduk di kursi ruang tamu itupun larut dalam kesedihan.
Di mata keluarganya, Siti Fatimah dikenal sebagai perempuan yang tangguh. Sejak lulus dari SMA, dia memutuskan untuk bekerja membantu perekonomian keluarga. Sebab, penghasilan orang tuanya berjualan buah-buahan tidak cukup untuk menghidupi keluarga tiga orang anak.
Siti merupakan anak pertama dari tiga bersaudara pasangan Masruroh dan Marsum. Awalnya, Siti tak berniat bekerja jauh dari Blitar. Tapi, karena dirasa kerja di Blitar tak bisa mengumpulkan uang banyak, akhirnya pilih menjadi TKW. Apalagi, teman-teman wanita di kampungnya banyak yang sukses menjadi TKW di Hong Kong maupun di negara lain. "Banyak yang sudah sukses, meski hanya menjadi PRT," kata wanita kelahiran 30 tahun silam itu.
Lantas, Siti mendaftar di salah satu pengerah jasa tenaga kerja Indonesia (PJTKI) pada 2001 dengan negara tujuan Hong Kong. Pertimbangan Siti, Hong Kong dikenal negari yang kaya dengan gaji PRT tinggi pula. "Terakhir kali bekerja di Mr Chan, orangnya baik kok dan tidak banyak omong. Tetapi kalau teman wanitanya (WIL,red.) suka ngomel," tuturnya.
Menurut Siti, teman wanita majikan yang telah menyiramnya sudah divonis 10 tahun. Tapi, dia mengakui belum bisa memaafkan perlakuannya seperti itu. Bagaimana tidak, setelah kejadian itu bukannya mudah mendapat pekerjaan lagi, malah sering ditolak. Cita-citanya untuk menyejahterakan keluarga pun tersendat-sendat. "Setiap orang yang dilihat pasti luka saya ini. Dan ujung-ujungnya bertanya ada apa? Hati saya masih sakit sekali," tambahnya lagi sambil menunjukkan lukanya.
Akhirnya, dia pilih pulang ke Blitar. Di Blitar ini dia tidak pernah keluar rumah. Dia banyak menghabiskan bersama keluarga. Niatan untuk kembali ke Hong Kong dipikirkannya lagi.
Kini, satu-satunya yang bisa diharapkannya adalah uang santunan atau asuransi senilai Rp 100 juta bisa dicairkan. Hanya dengan uang itu, Siti berharap bisa menjadi bekal berusaha di Blitar dan untuk keluarganya.
Ketika ditanya tentang keingian untuk operasi kulit, Siti pun enggan untuk memberikan jawaban. "Belum ada. Untuk operasi wajah kan mahal," katanya.**