29/7/07
[JAKARTA] Bank Indonesia (BI) mengusulkan untuk segera menertibkan jasa pengiriman uang dari luar negeri. Terutama perusahaan-perusahaan ilegal yang menyediakan jasa transfer dana para Tenaga Kerja Indonesia (TKI). Perlunya penertiban ini, karena maraknya biro-biro jasa nonformal yang sulit diminta pertanggungjawabannya jika terjadi wanprestasi (gagal bayar).
Deputi Gubernur BI bidang akuntansi dan system pembayaran, S Budi Rochadi kepada SP di Jakarta, Senin (30/7) mengatakan, sebagai langkah awal menertibkan pengiriman uang, pihaknya bersama-sama Departemen Komunikasi dan Informasi, Departemen Tenaga Kerja dan Departemen Luar Negeri akan membahas draf rancangan undang-undang (RUU) transfer dana.
"Kami dalam proses pembahasan bersama tim lintas sektoral. Diharapkan, awal tahun depan drafnya sudah selesai disampaikan ke DPR," kata Budi.
Dia mengatakan, BI perlu mengatur pengiriman uang ini, karena sudah diamanatkan dalam UU BI di mana setiap lembaga yang menyelenggarakan jasa system pembayaran wajib memperoleh izin dan memberikan laporan penyelenggaraannya kepada bank sentral.
Selain itu, banyak kegiatan money remittance oleh para TKI dilakukan melalui sektor informal dan belum ada pengaturannya. Dalam UU akan diatur, setiap lembaga bukan bank yang menyelenggarakan transfer dana wajib memperoleh izin dari BI.
Hal-hal yang perlu diatur dalam ketentuan tersebut seperti penyeragaman batasan pengertian money remittance, sehingga pencatatan aliran dana dari devisa TKI di luar negeri pada Neraca Pembayaran Indonesia (NPI) mencerminkan data yang sesungguhnya.
Akurasi data ini bermanfaat bagi bank sentral terutama dalam pengambilan keputusan kebijakan moneter. Di sisi lain juga bermanfaat bagi pemerintah untuk mendukung pengelolaan kas seperti optimalisasi investasi untuk usaha mikro kecil dan menengah (UMKM).
Data dari BI menunjukkan, jumlah remittance yang masuk ke Indonesia pada 2006 mencapai US$ 5,56 miliar atau sekitar Rp 5 triliun.
Aksi di Hong Kong
Dari hasil penelusuran SP di Hong Kong, di sepanjang kawasan Causeway Bay terdapat sejumlah lembaga-lembaga pengiriman uang ilegal yang hanya bermodal telepon untuk mengirim data si pengirim dana yang selanjutnya meminta rekannya atau keluarganya yang berada di Indonesia untuk mengirim ke rekening tujuan di Indonesia.
Pengiriman dana ilegal itu dibenarkan pemimpin cabang Bank Negara Indonesia (BNI) Hong Kong Bramono Dwiedjanto yang menyatakan, pengiriman dana oleh TKI di Hong Kong lebih banyak melalui jasa pengiriman ilegal ketimbang melalui jasa pengiriman lembaga keuangan formal seperti bank.
Kecenderungan para TKI ini mengirim lewat jasa ilegal, karena biaya yang mereka pungut relatif lebih murah, karena tinggal mengirim pesan singkat ke rekannya di Indonesia untuk mengirim dana sejumlah yang dikirim sang TKI.
"Jadi sifatnya menggunakan dana talangan dan rekannya di Indonesia memiliki sejumlah rekening bank, sehingga sifatnya hanya transfer interbank," kata Bramono.
Yanti, salah seorang TKI Indonesia asal Madiun mengatakan sebenarnya sudah banyak dana para TKI yang dikirim melalui jasa ilegal tidak sampai, tetapi mereka tidak berani menuntut. "Banyak yang tidak sampai, tetapi mereka takut berurusan dengan aparat keamanan, karena TKI-nya pun bisa dikenakan denda yang sangat mahal," kata Yanti.
Sementara itu, Deputi Gubernur Senior BI, Miranda S Goeltom mengatakan, untuk menjawab kebutuhan dan tantangan penyelenggaraan sistem pembayaran, bank sentral menetapkan beberapa kebijakan ke depan yang diarahkan pada minimalisasi risiko, optimalisasi efisiensi, kesetaraan akses bagi pelaku sistem pembayaran dan prinsip perlindungan konsumen. [B-15]