-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

29 July 2007

Kaki-5 Jadi Sapi Perahan

Pos Kota
29 Juli 2007

JAKARTA (Pos Kota) – Pungutan liar (pungli) terhadap pedagang Kaki-5 bagai karatan. Keberadaan Kaki-5 di lima wilayah kota menyuburkan kawanan preman dan oknum aparat terkait. Parahnya, isi draft revisi Perda Nomor 11/1988 tentang Ketertiban Umum justru lebih banyak mengekang Kaki-5 dan konsumennya alias tidak menyentuh si tukang pungli. Baik pedagang sektor informalnya yang berjualan di sembarang tempat dan pembelinya bisa dikenakan sanksi denda Rp 50 juta atau kurungan badan 6 bulan.

Karuan saja, sebagian besar Kaki-5 kala dimintai komentarnya seputar revisi Perda Ketertiban Umum kontan mencibirnya. “Sudahlah, mau direvisi atau tidak ujung-ujungnya yang disalahin kami-kami juga,” tutur Agus RM, satu Kaki-5 di kawasan Tanah Abang.

Penjual pakaian ini, balik mempertanyakan sanksi apa terhadap si tukang pungli. “Bikin aturan selalu tidak berpihak kepada rakyat kecil seperti kami ini. Sepertinya Jakarta bukan untuk rakyat kecil,” ucapnya.

PUNGLI KAKI-5
Sejauh ini, pungli terhadap Kaki-5 masih marak. Di sepanjang Jl Gajah Mada dan Jl. Hayam Wuruk hampir setiap mengais rezeki mereka jadi sapi perahan oknum aparat.

Di sepanjang ruas jalan tersebut, tercatat 40 lapak pedagang VCD/DVD bajakan, dan sekitar 70 lapak pedagang penjual obat. Ratusan Kaki-5 itu biasa membuka usahanya di pinggiran jalan pada Pk. 17.00 sampai menjelang pagi.

“Perlu obat kuat om… atau film-film terbaru ?” tanya seorang pedagang. Setelah tawar menawar, lelaki itu melaju dengan mobilnya setelah membeli viagra seharga Rp 40 ribu perbutir dan sebuah VCD film semi porno seharga Rp 40 per keping.

Aktivitas sepanjang malam itu diwarnai kesibukan para pembeli VCD dan obat-obatan yang umumnya pengendara mobil pribadi, ada juga pengendara sepeda motor. Menjelang tengah malam, sekitar Pk. 22:00 mulai terlihat oknum-oknum yang menarik ‘pajak’ kepada para pedagang.

Namun rata-rata pedagang VCD yang jadi sasaran pemalakan. Sebuah sepeda motor berhenti di di dekat lapak, pedagangnya buru-buru menghampiri sambil menggenggam uang yang kemudian diberikan kepada oknum itu.

Selang beberapa puluh menit kemudian, sebuah mobil patroli polisi juga ‘mampir’. Tak ketinggalan, sebuah Kjang tua berplat dinas tentara juga ‘mampir’ sebentar, setelah itu berlalu dan menghempari pedagang lainnya yang membuka lapak lainnya. Oknum yang diduga satpol PP juga tak ketinggalan.

Ibarat ‘sapi perahan’ para pedagang ini rutin setiap malam memberi upeti kepada oknum-oknum tersebut. Kalau dihitung-hitung, dalam semalam tak kurang Rp 1,2 juta uang pungutan liar berputar di lokasi tersebut.

Para pedagang mengaku, supaya aman dalam mengais rezeki mereka harus merogoh kocek sebesar Rp 30 ribu sampi Rp 40 ribu.

“Bagiamana mau dapat untung, kadang-kadang gedean “pengeluarannya” dibanding pendapatan,” keluh salah seorang pedagang. Dengan dalih untuk keamanan dan kelancaran para pedagang yang kebanyakan berasal dari Brebes dan Sumatra Utara ini terpaksa memberikan uang pelicin tersebut.

Salah seorang pedagang mengungkapkan pengalamannya, dalam satu malam ia pernah keluar uang sampai Rp 50 ribu. “Ada yang mintanya Rp 10 ribu, tapi ada juga yang terima diberi Rp 5 ribu, bahkan juga Rp 3 ribu,” tutur Tj. Pungutan ditarik bukan hanya oleh oknum yang sedang melaksanakan tugas, namun juga dilakukan oleh petugas yang telah lepas dinas.

Sepenggal kisah tak menyenangkan pernah dialami Sur, 37, lelaki tiga orang anak asal Subang, Jawa Barat yang nekat membangkang. Ia pernah menolak memberikan ’jatah’ lantaran beralasan baru saja menggelar lapaknya dan belum laku.

”Saya langsung ditarik masuk ke dalam mobil patroli. Waktu itu mereka ngancam mau menjebloskan saya ke penjara karena melanggar pasal tentang hak cipta dengan menjual VCD dan DVD bajakan,” tutur Sur yang mengaku membeli dagangannya dari kawasan Glodok.

Nyali Sur menjadi ciut, yang ada dalam benak lelaki itu hanya keluarganya di kampung. ”Kalau di penjara, nasib istri dan anak-anak saya gimana,” pikirnya saat itu.

Dirinya langsung berinisiatif untuk melakukan negoisasi dengan kedua oknum petugas yang menyeretnya ke dalam mobil patroli berlabel Polda Metro Jaya tersebut. HP seharga Rp 1,6 juta melayang berpindah tangan ke aparat keamanan. ”Mau gimana lagi, daripada makin rumit urusan,” keluhnya.

Yang makin membuat mereka kesal walaupun telah membayar upeti kepada polisi namun saat digelarnya razia tetap saja para pengusaha kecil ini terjaring. “Jangankan untuk dilepaskan, informasi mau ada razia saja kita nggak dikasih tau,” timpal Sn, pedagang lainnya.

PILIH NGUMPET
Untuk mengatasi “pemalakan” ada suatu cara unik yang dilakukan pedagang. Para pedagang berdiri jauh beberapa meter dari lapak yang digelarnya karena oknum-oknum itu biasaya tidak berhenti jika melihat pedagangnya tidak ada.

Walaupun puluhan pedagang VCD/DVD bajakan menyadari usaha yang dilakukan melanggar aturan, namun bagai “sapi perahan” mereka dipelihara oleh beberapa anggota oknum petugas keamanan dengan tujuan setiap saat dapat diperas susuya.

Nasib yang sedikit lebih baik dirasakan oleh para pedagang obat. Dalam semalam satu pedagang hanya mengeluarkan kocek sebesar Rp 2 ribu . Uang tersebut diperuntukkan untuk menyewa lahan parkir yang digunakan untuk usaha dagangnya.

Namun demikian para pedagang obat semi ilegal ini ditarik pungutan uang sebesar Rp 100 ribu. Dengan rincian Rp 20 ribu untuk bayar tempat menggelar lapak, Rp 30 ribu untuk pembayaran listrik, dan Rp 50 ribu untuk disetorkan kepada Koramil yang tempatnya digunakan untuk menitip gerobak.

Kepala Bidang Humas Polda Metro Jaya Kombes Pol Drs Ketut Yoga yang dikonfirmasi soal pengaduan pedagang yang menjual VCD bajakan tersebut menjelaskan pihaknya belm mendapat informasi soal itu. Tapi, jika ada oknum polisi manapun yang meresahkan pedagang, silahkan dilaporkan ke Propam Polda Metro.
(C7/irda/sutiyono)