-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

07 July 2007

Glodok Makin Panas

Pos Kota
7 Juli 2007

JAKARTA (Po Kota) – Kasus lahan tanah bekas Kedutaan Republik Rakyat China (Dubes RRC) di Jl.Gajah Mada No 211 Kelurahan Glodok, Kecamatan Tamansari, Jakarta Barat, semakin panas. Gugat menggugat bermunculan. Selain klaim dari RRC, ada ahli waris yang mengakui lahan itu miliknya. Satu pengembang yang kini membangun apartemen di situ pun bakal meriang karena terancam gagal total.

Hengky Sumantri dan Jimmy Khouw, menuding tanah warisan leluhurnya itu telah dimanfaatkan Pemprop DKI. Karena itu melalui kuasa hukumnya Sudjanto Sudiana, SH, menggugat tanggung jawab pemda. “ Yakni, mengembalikan tanah eks Kedubes China kepada ahli waris”.

"Kami telah melayangkan surat permintaan untuk menguasai kembali tanah itu pada 6 Juli 2007, namun sampai sekarang belum ada tanggapan. Surat yang sama akan dikirim lagi, pekan depan,” ujar Sudjanto, Jumat (6/7).

"Jika tidak ditanggapi, kami kemungkinan akan memilih dua cara; melaporkan ke Mabes Polri atau jika terdapat indikasi korupsi dalam penguasaan tanah-tanah itu, kami akan melaporkannya ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)."

Tanah eks Kedubes RRC, dari seluas 10.480M2 ,di antaranya 7.230M2 milik Khou Oen Kian, yang kini dikuasai Pemprop DKI Jakarta dan dikelola PT Duta Anggada Realty. Selebihnya diakui milik Hawpar Brother, satu badan usaha yang berkedudukan di Singapura, berdasarkan eigendom verponding No 18703, 19874, 4389, dan 19873, tahun 1939.

Sedang milik Khou Oen Kian berdasarkan verponding No 8405 tahun 1939 dan tanah-tanah dan gedung yang berdiri di atasnya pada tahun 1958 dipinjamkan ke Kedubes RRC sampai waktu tak terbatas dan tidak ada surat bukti peminjaman. Tahun 1965, setelah meletusnya pemberontakan G-30 S PKI, RRC menutup Kedubesnya di Jl Gajah Mada No 211. Pemerintah China di Beijing menunjuk Kedubes Rumania di Jakarta sebagai penguasa atas kepentingan Negeri Tirai Bambu di Jakarta.”Khou Oen Kian berwarganegara Indonesia (WNI) jadi berhak memiliki tanah,”ujar Sudjanto.

DIBIARKAN TELANTAR
Sejak 1965, tanah-tanah eks Kedubes RRC dibiarkan telantar seolah tanpa tuan. Tahun 1983, Pemprop DKI berinisiatif memasuki lahan itu, yang dianggap ahli waris tanpa izin Kedubes Rumania sebagai pemegang hak kuasa kepentingan RRC di Indonesia. “Pemprop DKI memagar lokasi eks Kedubes RRC, dan mengajukan permohonan penetapan ke PN Jakarta Barat pada 20 Desember 1983.”jelasnya.

Tiga bulan kemudian, tepatnya 4 Februari 1994, PN Jakarta Barat mengeluarkan putusan penetapan No 0017/1984. Berbekal penetapan ini, Pemprop DKI mengajukan hak pengelolaan lahan (HPL) ke Badan Pertanahan Nasional (BPN). Hasilnya, keluar surat HPL No 1 atas nama Pemprov DKI, dengan luas tanah 7.230 meter persegi.

Hawpar Brother mengetahui telah terjadi pengalihan atas lahan eks Kedubes RRC. Melalui kuasa hukumnya, Hawpar melakukan perlawanan (verzeet) No 05/Pdt/BTH/1984. PN Jakarta Barat memenangkan perlawanan Hawpar. Pemprop DKI tidak puas, dan mengajukan banding.

Di tingkat banding, Pemprop DKI juga kalah. Tidak ingin kehilangan muka, Pemprop DKI Jakarta mengajukan kasasi. Pada 27 September 1988, Mahkamah Agung (MA) juga memenangkan Hawpar. "Hakim yang mengadili perkara ini di tingkat kasasi adalah Purwoto Soehadi Gandasoebrata," kata Sudjanto. "Kita tahu, tokoh ini sempat menjadi Menteri Kehakiman."

UNDANG PIHAK KETIGA
Meski telah kalah sampai ke tingkat kasasi, menurut Sudjanto, Pemprop DKI tetap tidak ingin mengembalikan tanah-tanah itu. Bahkan mereka meminta pengadilan ulangan mulai dari tingkat pengadilan negeri. "Itu pun mereka kalah lagi," ujar Sudjanto.

Di sisi lain Hengky Sumantri dan Jimmy Khouw tidak melakukan perlawanan yang sama. Keduanya relatif hanya mendompleng tindakan hukum yang ditempuh Hawpar. Keduanya yakin jika tanah eks Kedubes RRC harus dikembalikan, tidak setengah-setengah tapi keseluruhan. Di dalam keseluruhan itu terdapat tanah milik Khou Oen Kiam.

Ketika perlawanan Hawpar berlangsung, Pemprop DKI yang telah memperoleh HPL dari BPN mengundang pihak ketiga, yaitu PT Duta Anggada Realty, untuk mengelola lahan. Bahkan raksasa bisnis properti itu juga telah memegang hak guna bangun (HGB) No 121 tahun 1987, dan telah diperpanjang sampai 2027.

"Kami hanya ingin Pemprop DKI bertanggung jawab atas semua ini," ujar Sudjanto. "Mereka tidak memiliki hak atas tanah itu, dan hanya menguasai dengan alasan berkepentingan."

Menjawab pertanyaan wartawan apakah RRC masih berhak atas tanah itu, Sudjanto mengatakan; "Mereka masih berhak mengklaim, karena peminjaman atas tanah itu belum gugur." Peminjaman atas tanah itu, katanya, hanya akan gugur jika tanah itu telah kembali ke pemiliknya yang sah, yaitu ahli waris Khouw Oen Kiam.
(herman)*