05/04/2007 06:13
Baru-baru ini DPR mengesahkan UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (human trafficking). Kehadiran UU ini memang sudah lama ditunggu. Pasalnya, praktik perdagangan orang di Indonesia semakin marak, sedangkan pengawasan dan perlindungan terhadap korban masih lemah. Apalagi perdagangan orang sudah merupakan masalah lintas-negara. Masing-masing negara sama-sama mengalami kesulitan memberantasnya. Sebabnya karena praktik human trafficking biasanya dilakukan oleh suatu sindikat yang berkedok usaha jasa tenaga kerja.
Sebagai negara pengirim tenaga kerja ke luar negeri, posisi Indonesia sangat rawan terhadap praktik perdagangan orang. Terdapat batas ‘abu-abu' antara perusahaan jasa penempatan tenaga kerja Indonesia (TKI) di dalam maupun di luar negeri dan praktik perdagangan orang.
Sindikat perdagangan orang banyak yang berkedok membuka usaha jasa penempatan TKI. Selain itu banyak pula yang bergerak secara indivindu dengan jaringan yang sudah terjalin rapi. Begitu lihainya para pelaku sehingga semakin banyak orang, khususnya perempuan yang menjadi “barang dagangan”.
Menurut catatan organisasi buruh sedunia, International Labour Organization (ILO) yang dimuat dalam “ ILO Bilateral and Regional Agreement on the Placement and Protection of Indonesian Workers ” (2003), sekitar 20.000 buruh migran asal Indonesia, khususnya perempuan, setiap tahunnya kembali ke kampung halamannya dengan membawa persoalan yang tidak terselesaikan, seperti terjerumus dalam praktik perdagangan orang.
Direktur Kantor Pemantauan Perdagangan Manusia Departemen Luar Negeri Amerika Serikat, John R. Miller, ketika berkunjung ke Indonesia mengatakan, human trafficking merupakan kejahatan lintas-negara. Dalam pemberantasannya memerlukan kerja sama antara negara asal, negara transit, dan negara tujuan. Dia mendukung upaya Indonesia dalam memberantas praktik perdagangan orang.
Faktor Kemiskinan
Salah satu faktor dominan yang menyebabkan semakin maraknya perdagangan orang adalah kemiskinan atau kesulitan ekonomi.. Dengan iming-iming memperoleh pekerjaan dengan upah besar, banyak perempuan desa terjerat dalam praktek perdagangan manusia, baik di dalam maupun di luar negeri. Mereka sulit keluar dari lingkaran sindikat perdagangan orang akibat kebodohan dan tidak berani melakukan perlawanan. Akhirnya mereka dijadikan budak seks yang menguntungkan calo maupun induk semangnya.
Sejak dulu, ribuan perempuan dari Indonesia menjadi budak seks di Malaysia dan negara lain karena iming-iming yang menggiurkan tadi. Upaya pemberantasan yang dilakukan pemerintah tidak sebanding dengan gesitnya para pelaku perdagangan orang. Walau tampak gencar dilakukan upaya pemberantasan, tetapi praktik perdagangan orang semakin marak.
Selain faktor kemiskinan, juga lemahnya pranata hukum di berbagai negara dalam menghadapi praktik human trafficking , khususnya di Indonesia. Antara lain lemahnya kerja sama internasional, baik kerja sama antarnegara maupun kerja sama multilateral.
Kerja sama lintas-negara dalam pemberantasan perdagangan orang mutlak diperlukan sehingga jika lolos dari negara asal, dapat dicegah di negara tujuan. Lalu lintas antarnegara dengan dokumen kunjungan sosial sangat rawan terjadinya perdagangan manusia. Biasanya praktik perdagangan orang akan diketahui jika sudah terjadi kasus, baik di dalam maupun di luar negeri.
Itulah perlunya pengawasan yang ketat di dalam negeri dalam pemberian dokumen awal untuk bepergian ke luar negeri. khususnya bagi perempuan. Selain perlu ditingkatkan kerja sama lintas-negara dan kerja sama antardaerah, juga perlu dibangun instrumen hukum yang dapat mencegah terjadinya kasus perdagangan orang. Yang tak kalah penting, upaya mendasar di dalam negeri untuk memberantas kemiskinan yang merupakan faktor dominan penyebab maraknya perdagangan orang. ( Yatim Kelana )