-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

17 July 2007

Ketika Tiga Menteri Digugat Pengusaha Penempatan TKI

Hukum Online
[17/7/07]

Masalah pokok yang mejadi dasar gugatan tidak lain adalah tumpang tindihnya kewenangan Menakertrans, Menkeu dan Menlu dalam mengurusi TKI yang bekerja di luar negeri.

Overlapping atau tumpang tindih peran dalam dunia sepak bola terkadang memang dibutuhkan untuk memecahkan kebuntuan. Tapi apa jadinya jika tumpang tindih peran tersebut dilakukan oleh Menteri dalam melaksanakan tugas? Jika berakibat fatal, bisa jadi menteri bersangkutan akan menuai gugatan hukum.

Kondisi inilah yang mengilhami Himpunan Pengusaha Jasa Penempatan Tenaga Kerja Indonesia (HIMSATAKI) untuk melayangkan gugatan kepada Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi (Menakertrans) sebagai tergugat I. Selain itu, Menteri Keuangan (Menkeu) dan Menteri Luar Negeri (Menlu) pun ikut dibidik sebagai tergugat II dan tergugat III karena dianggap tumpang tindih dalam menjalankan perannya memberikan perlindungan kepada TKI. Akibatnya, menurut HIMSATAKI, nasib TKI pun menjadi terbengkalai.

Dalam gugatannya HIMSATAKI juga menggugat dua instansi swasta, yaitu PT Gracia Media Utama (GMU) dan PT Asuransi Jasa Indonesia (Jasindo) juga ikut digugat, masing-masing sebagai tergugat IV dan V.

Mengenai ganti rugi yang diminta penggugat memang terbilang kecil. Hanya Satu juta rupiah. Itupun hanya bersifat tanggung renteng. Namun kalau melihat bagian petitum lainnya, cukup membikin para tergugat deg-deg-ser. Betapa tidak, penggugat menuntut agar Peraturan Menakertrans bernomor Per-23/MEN/V/2006 tertanggal 23 Mei 1996 tentang Program Asuransi Tenaga Kerja Indonesia tidak memiliki kekuatan hukum mengikat bagi penggugat, dan khususnya TKI yang akan dan atau bekerja di luar negeri.

Muanas, kuasa hukum penggugat berpendapat, Undang-undang No 2 Tahun 1992 tentang Usaha Perasuransian tidak mengenal keberadaan asuransi tenaga kerja Indonesia. ”Sehingga sebenarnya tergugat I (Menakertrans, red) tidak berwenang untuk membentuk jenis atau program asuransi baru, yakni asuransi tenaga kerja Indonesia,” Muanas menjelaskan.


Pasal 3 huruf a UU Usaha Perasuransian

a. Usaha asuransi terdiri dari:

  1. Usaha asuransi kerugian yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko atas kerugian, kehilangan manfaat, dan tanggung jawab hukum kepada pihak ketiga, yang timbul dari peristiwa yang tidak pasti;
  2. Usaha asuransi jiwa yang memberikan jasa dalam penanggulangan risiko yang dikaitkan dengan hidup atau meninggalnya seseorang yang dipertanggungkan;
  3. Usaha reasuransi yang memberikan jasa dalam pertanggungan ulang terhadap risiko yang dihadapi oleh Perusahaan Asuransi Kerugian dan atau Perusahaan Asuransi Jiwa.
Di sisi lain, Muanas menambahkan, pihak yang memiliki kewenangan untuk membentuk jenis atau program asuransi baru seharusnya adalah Menteri Keuangan. ”Seharusnya yang berhak membentuk jenis dan program asuransi baru adalah tergugat II,” kata Anas, sapaan akrabnya.

Perkara ini bermula ketika HIMSATAKI mengikuti instruksi Menakertrans untuk mengikutsertakan TKI-nya pada program Asuransi Tenaga Kerja Indonesia. Instruksi ini ditindaklanjuti oleh Menakertrans dengan menunjuk GMU dan Jasindo masing-masing sebagai pialang dan penyelenggara perlindungan terhadap TKI. ”Penunjukkan itu tertuang dalam surat bernomor KEP-279/Men/VII/2006 tertanggal 21 Juli 2006,” imbuh Anas.

Dalam program asuransi tersebut, setiap TKI dikenai pungutan sebesar Rp 400 ribu dengan rincian untuk prapenampatan sebesar Rp 50 ribu, masa penempatan Rp 300 ribu dan purna penempatan sebesar Rp 50 ribu. Selanjutnya, Menakertrans juga menentukan agar GMU dan Jasindo bekerja sama dengan lembaga yang menangani perlindungan tenaga kerja asing di negara penempatan.

”Namun sayang. Di negara Timur Tengah, khususnya Arab Saudi, asuransi itu diharamkan. Jelas ini sangat merugikan TKI kita yang bekerja disana,” Anas berujar. Dengan demikian, lanjut Anas, keberadaan MGU dan Jasindo telah nyata tidak memberikan kontribusi apapun kepada TKI, khususnya yang berada di kawasan Timur Tengah.

Lebih jauh Anas mengatakan, izin yang diberikan Menkeu kepada GMU dan Jasindo hanya berlaku di wilayah Indonesia. ”Sehingga agak rancu ketika Menakertrans justru memerintahkan mereka (GMU dan Jasindo, red) untuk memberikan perlindungan TKI di luar negeri,” paparnya.

Kerancuan, masih menurut Anas, semakin bertambah ketika seharusnya yang bertanggung jawab memberikan perlindungan terhadap warga negara Indonesia (WNI) yang berada di luar negeri adalah Menlu. ”Itu dijelaskan dalam undang-undang no 37 tahun 1999 tentang Hubungan Luar Negeri bahwa kewajiban Menteri Luar Negeri untuk memberikan perlindungan kepada WNI dan badan hukum Indonesia yang berada di luar negeri.”

Selain itu, tambah Anas, perihal kewenangan Menlu untuk melindungi TKI diatur dalam UU No 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI di Luar Negeri. ”Dalam undang-undang itu malah dijelaskan secara rinci mengenai peran dan tanggung jawab Menlu,” tegasnya.

Pasal 18 UU Hubungan Luar Negeri
  1. Pemerintah Republik Indonesia melindungi kepentingan warga negara atau badan hukum Indonesia yang menghadapi permasalahan hukum dengan perwakilan negara asing di Indonesia.
  2. Pemberian perlindungan sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan sesuai dengan ketentuan hukum dan kebiasaan internasional.

Pasal 78 UU Penempatan dan Perlidungan TKI di Luar Negeri
  1. Perwakilan Republik Indonesia memberikan perlindungan terhadap TKI di luar negeri sesuai dengan peraturan perundang-undangan serta hukum dan kebiasaan internasional.
  2. Dalam rangka perlindungan TKI di luar negeri, Pemerintah dapat menetapkan jabatan Atase Ketenagakerjaan pada Perwakilan Republik Indonesia tertentu.
  3. Penugasan Atase Ketenagakerjaan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dilakukan sesuai dengan peraturan perundang-undangan.

Terhadap gugatan ini, Suherman kuasa hukum Menakertrans yang dihubungi hukumonline melalui telepon, tidak mau berkomentar lebih lanjut. ”Nanti dilihat saja pada jawaban kami,” ujarnya singkat.

(IHW)