-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

17 July 2007

Konflik dan Dualisme Penanganan TKI

SUARA PEMBARUAN DAILY
17 July 2007


Pengantar

Dua lembaga pemerintah yang mengurusi pe nempatan dan perlindungan TKI saling tidak akur. Jika ini dibiarkan, tentu yang rugi tenaga kerja Indonesia (TKI). Sebab, kondisi TKI saat ini masih terpinggirkan. Wartawan SP, Budi Laksono me nyoroti dualisme penanganan TKI tersebut dalam tulisan di bawah ini.

SP/Alex Suban

Tenaga kerja Indonesia beristirahat di kantor Badan Penempatan TKI Depnakertrans di Ciracas, Jakarta Timur.







"Saya tidak membekukan operasi, tetapi hanya tidak ingin TKI ditangani konsorsium asuransi nakal. Itu semua demi perlindungan kepada TKI,"(Kepala BNP2TKI Jumhur Hidayat)

Penanganan penempatan dan perlindungan TKI dalam satu departemen dinilai tidak cukup memberikan yang terbaik bagi para pahlawan devisa. Oleh karena itu, DPR dan pemerintah menelurkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 2004 tentang Penempatan dan Perlindungan TKI. Dalam UU itu, penanganan TKI tak lagi ditangani sendirian oleh Depnakertrans yang bertindak sebagai regulator sekaligus operator. Melainkan dipisahkan kerja operator dan regulator. Untuk itu, diamanatkan dibentuknya Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2-TKI).

Hal itu masih diperkuat lagi dengan Inpres tentang reformasi penempatan dan perlindungan TKI yang mengamanatkan penem patan dan perlindungan TKI harus makin baik, biaya murah, dan proses dokumentasi lebih cepat.

Memang saat ini tujuan mulia itu belum tercapai. Ketua Apjati Husein Alay drus menilai, proses dokumentasi tidak berubah dari masa sebelumnya. Bahkan biaya-biaya dokumentasi bukannya lebih rendah, justru kian meningkat. Contohnya, biaya kesehatan, Balai Latihan Kerja (BLK) dan uji kompetensi, semuanya merangkak naik. Sementara kualitas TKI yang dihasilkan tidak meningkat.

Sekarang, birokrasi malah tambah rumit. Sebab, daerah membuat ketentuan sendiri yang membebani PPTKIS, misalnya keharusan membentuk cabang di kabupaten, dan setiap daerah cenderung membuat peraturan sendiri. Misalnya mengharuskan PPTKIS mendepositokan uang berkisar Rp 20 juta sampai Rp 100 juta di bank daerah. Semestinya dana jaminan itu tidak perlu ada di daerah karena PPTKIS telah menepositokan jaminan kepada Pemerintah Pusat sebesar Rp 500 juta.

Di samping itu, calo-calo TKI juga semakin unjuk gigi. Sekarang ini, calo meminta uang jasa ke PPTKIS sebesar Rp 1,5 juta hingga Rp 2 juta per calon TKI untuk penempatan wilayah kawasan Timur Tengah. Sementara untuk kawasan Asia Pasifik biaya calo mencapai Rp 3 juta sampai Rp 4 juta.

Belum diketahui, apakah penurunan penempatan TKI selama dua bulan terakhir ini yang mencapai 30 persen disebabkan faktor-faktor tersebut atau faktor lain. Yang jelas, kalau kondisi ini tak segera diatasi, target penempatan 750 ribu TKI ke luar negeri tahun ini tidak bakal tercapai. "Ironis, di satu sisi permintaan dari luar negeri meningkat, sementara supply menurun," ujar Husein.

Sebelumnya, asosiasi penempatan tenaga kerja ke luar negeri juga berkumpul, memprotes kebijakan pengalihan sisko TKLN yang biasanya diakses langsung oleh perusahaan medis kini dilaksanakan tunggal oleh sebuah asosiasi. Lebih mencengangkan lagi, biaya medis naik dari Rp 150.000 menjadi Rp 250.000.

Sementara itu, Kepala Badan Nasional Penempatan dan Perlindungan TKI (BNP2TKI), Jumhur Hidayat mengatakan, masalah peningkatan biaya medis itu tidak berasal dari lembaganya, melainkan karena adanya ketentuan dari Departemen Kesehatan yang meningkatkan syarat kesehatan yang diperiksa laboratorium sebelum TKI ditempatkan di luar negeri.

Tambahan syarat kesehatan berupa observasi itu membawa konsekuensi peningkatan biaya. "Saya setuju dengan Depkes. Biar agak mahal, tetapi kesehatan TKI lebih terjamin. Ketimbang nantinya bermasalah diluar negeri karena sakit," ujar dia.

Adanya peningkatan syarat observasi itu buntut tingginya TKI bermasalah akibat penyakit yang semestinya sudah dapat terdeteksi sebelum diberangkatkan.

Menyangkut sistem online TKI, pihaknya tidak dapat berbuat banyak karena masalah itu terkait dengan kebijaksanaan Depnakertrans yang menjalin kerja sama dengan perusahaan swasta. Pada masa mendatang, sisko TKLN semestinya dibiayai dan dikelola pemerintah. Sehingga masukan dan akses data bias diberikan secara gratis. "Saya sedang memikirkan cara menghentikan kerja sama yang sudah ada meskipun nantinya harus terkena penalti berupa denda uang," ujar Jumhur.

Dikatakan, meskipun baru beberapa bulan beroperasi, BNP2-TKI telah melakukan sejumlah terobosan. Misalnya, mendekati sejumlah negara di Timur Tengah. Hasilnya, upah TKI bisa naik rata-rata 33,3 persen dari upah sebelumnya. Oleh karena itu, pihaknya mengeluarkan surat edaran (SE) perihal kenaikan upah itu berlaku 1 Agustus 2007.

"Kenaikan berlaku untuk TKI yang baru ditempatkan maupun yang memperbarui atau memperpanjang perjanjian kerja setelah perjanjian kerja yang lama berakhir," ujarnya.

Enam negara yang menyetujui kenaikan upah, Kuwait, Qatar, Oman, Yordania, Bahrain, dan Uni Emirat Arab (UEA). Dengan perincian, Kuwait, Qatar, Oman, Yordania, dan Bahrain, kenaikan upah dari US$ 150 menjadi US$ 200. Sementara UEA, dari 600 dirhams (Dhs) menjadi 800 Dhs. Sebelumnya, BNP2- TKI juga sudah menaikkan upah TKI di Arab Saudi dan Singapura. Terobosan itu patut diacungi jempol karena 20 tahun upah TKI tak pernah naik.

Sementara di bidang perlindungan TKI, BNP2-TKI juga tegas terhadap setiap bentuk pelanggaran. Misalnya konsorsium asuransi Jasindo yang melakukan sejumlah pelanggaran tidak diizinkan beroperasi. "Kami tidak melanggar ketentuan karena tidak melakukan skorsing, melainkan hanya surat edaran kepala badan di daerah agar tidak memproses TKI yang asuransinya ditangani konsorsium Jasindo," tutur Jumhur.

Bahkan, pihaknya melakukan hal serupa terhadap PPTKIS yang melanggar peraturan.

Tindakan tegas itu, rupanya dinilai kebablasan karena melampaui kewenangannya sebagai Kepala BNP2- TKI. Dianggap, tindakan itu porsi Menakertrans.

Hubungan Retak

Tak urung, gesekan dengan Depnakertrans pun kian memanas setelah sebelumnya Depnakertrans menegur BNP2-TKI atas langkahnya membentuk konsorsium Korea Selatan (Korsel). Gesekan antara BNP2-TKI dan Depnakertrans sebenarnya sudah terjadi sejak awal beroperasinya BNP2-TKI.

Retaknya hubungan itu mulai terlihat ketika acara serah terima dokumen dan pembiayaan dari Depnakertrans ke BNP2-TKI. Sumber SP menyebutkan, awalnya Depnakertrans hanya akan menyerahkan dana operasional 2007 sebesar Rp 3,8 miliar. Tapi jumlah itu ditolak Kepala BNP2-TKI yang meminta seluruh dana yang semula dikelola Ditjen PTKLN sebesar Rp 200 miliar. "Kepala BNP2-TKI mengancam tidak hadir pada acara serah terima bila dananya cuma Rp 3,8 miliar," kata sumber itu.

Akhirnya, acara tersebut ditunda. Serah terima baru dilaksanakan setelah Depnakertrans meningkatkan anggaran menjadi Rp 133,8 miliar. Sementara sisanya, sekitar Rp 67 miliar tetap dipegang Depnakertrans untuk proyek pembangunan terminal keberangkatan dan kepulangan TKI di Selapajang, menggantikan Terminal III Bandara Soekarno-Hatta.

Konflik keduanya memanas lagi pada saat rapat pembagian tugas dan wewenang antara Depnakertrans dan BNP2-TKI yang dihadiri Menteri Tenaga Kerja dan Transmigrasi Erman Suparno beserta jajarannya. Sementara BNP2-TKI dihadiri Kepala badan, Jumhur Hidayat dan beberapa staf.

Kericuhan mulai terjadi ketika Menakertrans minta izin meninggalkan acara itu setelah membuka pertemuan. Kepergian Menteri, menyulut kejengkelan Jumhur karena ketiadaan Menteri tidak akan menuntaskan pembagian wewenang karena tidak dihadiri langsung pengambil keputusan.Lalu, Kepala BNP2-TKI pun memilih angkat kaki. Sehingga acara pembagian kewenangan itu bubar, dan sampai sekarang tidak pernah digelar lagi.

Gesekan dua lembaga pemerintah itu kian memanas ketika BNP2-TKI membentuk Komite Korsel dengan melibatkan PPTKIS.

Depnakertrans menilai pembentukan komite itu menyalahi nota kesepahaman (MoU) antara Pemerintah RI dan Korsel. Sementara BNP2-TKI merasa tidak menyalahi MoU karena pelibatan swasta hanya sebagai konsultan pemasaran.

Tetap saja, langkah itu sempat dipertanyakan Pemerintah Korsel. Sebab perjanjian penempatan TKI ke Korsel hanya dilakukan antar pemerintah, tanpa melibatkan swasta. Depnakertrans menyatakan, komite yang dimaksud di MoU antara Indonesia dan Korsel adalah BNP2-TKI, bukan komite baru bentukan BNP2-TKI.

Ketegangan semakin menggila setelah Depnakertrans mempublikasi kesalahan pembentukan komite. Babak berikutnya, BNP2-TKI menghentikan pelayanan kepada Jasindo dan PPTKIS. Menurut Depnakertrans putusan itu bukan wewenang BNP2-TKI.

Menakertrans ketika dihubungi SP mengemukakan, tidak etis membuka perselisihan antara Depnakertrans dan BNP2-TKI. Sebab keduanya lembaga pemerintah.

"Kalau saya ungkapkan bisa mengurangi citra pemerintah. Sementara ini saya biarkan saja, dan sudah banyak pihak yang mengadu kepada saya, bahkan ada lembaga-lembaga yang mau menuntut BNP2-TKI. Kita lihat saja perkembangannya," kata Erman.

Sementara itu, Jumhur menyatakan enggan berkomentar tentang retaknya hubungan dengan Depnakertrans. Tetapi pihaknya tetap beranggapan, langkah-langkah yang ditempuhnya selama ini tidak menyalahi ketentuan."Saya tidak membekukan operasi, tetapi hanya tidak ingin TKI ditangani konsorsium asuransi nakal. Itu semua demi perlindungan kepada TKI," ujar dia.

Hubungan yang tidak harmonis antara Depnakertrans dan BNP2TKI sejauh ini memang belum berdampak langsung merugikan TKI.

Tetapi dari sisi pengambilan kebijakan strategis yang dapat lebih menguntungkan TKI pasti akan terganggu. Dapat dibayangkan, bila dua lembaga pemerintah itu tidak bersinergi, buntutnya akan mengganggu proses reformasi penempatan TKI. Terutama di tataran yang menyangkut sistemik.

Oleh karena itu, Presiden perlu memberikan perhatian khusus pada masalah ini, dan membagi batas kewenangan bagi dua lembaga itu secara jelas, tegas, dan rinci. Jika tidak rinci dan hanya mengandalkan penafsiran, maka bukan tidak mungkin gesekan akan semakin runcing. *

Last modified: 17/7/07