Rabu, 04 Juli 2007
Undang-Undang
Jakarta, - Penegakan hukum pidana melalui Kitab Undang-Undang Hukum Pidana belum mampu memuaskan rasa keadilan masyarakat. Hal ini terdeteksi dari sikap publik yang cenderung pesimistik dan negatif terhadap proses penegakan hukum dan sanksi hukum yang tersedia.
Demikian kesimpulan dari polling yang dilakukan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) dan Aliansi Nasional Reformasi Hukum Pidana.
Direktur Jenderal Perlindungan Hak Asasi Manusia Harkristuti Harkrisnowo saat berpidato di acara Konsultasi Publik RUU KUHP, Selasa (3/7), juga mengatakan hal senada.
"Saya mengutip Nietzsche, hukuman itu untuk menjinakkan manusia. Hukum pidana itu sebenarnya untuk menakuti orang, bukan untuk menghukum orang. Tetapi, berdasarkan survei ini, KUHP ternyata tidak ditakuti," ungkap Harkristuti.
Dia menjelaskan bahwa upaya revisi KUHP sudah dilakukan sejak 40 tahun yang lalu. Revisi KUHP berisi sekitar 10 hal penting, yaitu tujuan pemidanaan; faktor-faktor yang ditentukan hakim dalam memutus; tidak dibedakan antara kejahatan dan pelanggaran; pidana mati tidak lagi menjadi pidana pokok, melainkan pidana istimewa; dan adanya sanksi bagi korporasi. Juga mencantumkan sistem trek ganda; merumuskan adanya tindak pidana yang disesuaikan dengan nilai-nilai tradisional; pemberian diskresi lebih luas kepada hakim, yaitu berupa pemberian maaf untuk perkara tindak pidana ringan; asas legalitas tetap dipertahankan; dan persoalan pidana denda.
Salah satu poin yang disoroti Harkristuti adalah soal adanya sanksi minimum. "Meskipun terdapat sanksi minimum, hakim kerap menyimpangi sanksi tersebut," katanya
Direktur Eksekutif Elsam Agung Putri mengatakan bahwa revisi KUHP sepantasnya menjadi gerbang bagi ultimum remedy, bukan malah menjadi pintu gerbang menyeleksi masyarakat. (VIN)