Kamis, 05 Juli 2007
Bandung, - Pengalihfungsian lahan pertanian terus terjadi. Akibatnya, jutaan petani kehilangan tanah garapan sebagai tempat mereka bekerja. Selain itu, banyak pula petani yang tidak memiliki lahan pertanian. Setidaknya, jumlah mereka sekitar 9,9 juta.
Demikian Sekretaris Jenderal Konsorsium Pembaruan Agraria Usep Setiawan dalam Semiloka Rancangan Undang-Udang (RUU) Pengelolaan Lahan Pertanian Pangan Abadi di Universitas Padjadjaran, Bandung, Rabu (4/7).
Pada tahun 2003, kata Usep, jumlah keluarga petani miskin 20,1 juta atau 82,7 persen dari total jumlah keluarga petani di Indonesia. "Kemungkinan jumlah tersebut meningkat tahun ini," ujarnya.
Sebagian petani gurem tersebut, lanjut Usep, adalah petani padi dan palawija yang jumlahnya mencapai 73,4 persen dari total petani Indonesia.
Sekitar 9,9 juta
Berkaitan dengan kemiskinan itu, data statistik pada September 2006 menunjukkan, 63,41 persen penduduk miskin di Indonesia tersebar di pedesaan. Berdasarkan sensus pada tahun 1993, dari 21,2 juta keluarga di pedesaan, sebanyak 9,1 juta keluarga adalah buruh tani. Bahkan, sekitar 9,9 juta adalah petani yang tidak punya lahan pertanian.
Menurut Usep, kemiskinan petani sangat erat kaitannya dengan semakin berkurangnya kepemilikan lahan. Berdasarkan empat kali sensus, penurunan kepemilikan lahan itu selalu terjadi. Pada tahun 1963, rata-rata penguasaan tanah oleh petani 1,05 hektar.
Sensus berikutnya menunjukkan, penguasaan tanah oleh petani terus menurun. Pada tahun 1973 tinggal 0,99 hektar, kemudian turun lagi menjadi 0,90 pada tahun 1983, dan akhirnya tinggal 0,81 hektar pada tahun 1993.
Masalah lahan pertanian seperti itu juga terjadi di sektor kehutanan dan perkebunan yang banyak dikuasai perusahaan besar. "Di Jawa, sebagian besar lahan pertanian menjadi lahan permukiman. Sementara di Sumatera sebagian besar menjadi lahan pertanian nonsawah," tutur Usep lagi.
Hingga saat ini, lanjut Usep, pemerintah belum menunjukkan upaya yang signifikan untuk menangani penurunan penguasaan lahan oleh petani.
"Terbukti, masih ditemukan rakyat yang kelaparan dan kekurangan gizi. Selama ini lahan pertanian lebih banyak diusahakan untuk meningkatkan devisa dari ekspor produk yang dihasilkan daripada untuk ketahanan pangan," ujarnya.
Menanggapi masalah itu, Bomer Pasaribu, Wakil Ketua Badan Legislatif DPR, mengatakan, itikad pemerintah untuk membangun ketahanan pangan ditunjukkan melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1996 tentang pangan. "Namun, UU ini baru mengatur usaha mewujudkan ketahanan pangan, dan tidak mengatur kedaulatan pangan," katanya. (ynt)