-->

Headlines

The Ecosoc News Monitor

27 August 2007

Kucing-kucingan di Kuching

Gadis ini tiba di Pontianak dengan kelelahan dan kebingungan yang sangat. Dua hari dalam pelarian dari Kuching, Sarawak, Malaysia Timur, akhirnya ia tiba di Indonesia. Desa kelahiran Ngabang, Landak, Kalimantan Barat, tinggal selangkah lagi.

Satu tahun sudah Eny, sebut saja namanya demikian, meninggalkan kampung halaman untuk mengadu nasib di negeri orang. Jika bukan karena aniaya Lay Tshe Ling, majikannya, tentu dia tak serta merta mau meninggalkan negeri tumpuan harapan ribuan tenaga kerja Indonesia itu. Dia telah memilih hujan emas di negeri orang daripada hujan batu di negeri sendiri.

Namun, apa hendak dikata. Tak tahan menerima siksa, gadis 16 tahun ini kabur dari tempatnya bekerja. Ia melarikan diri dari rumah majikan di Kuching, ketika semua penghuni tidur lelap. Disibaknya jalan sepi kota asing itu. Tanpa sanak tanpa saudara. Untunglah seorang warga setempat menyelematkannya ke Konsulat Jenderal RI di sana.

Untuk kembali ke rumah bukan perkara mudah. Eny masih harus melewati gerbang batas antarnegara di Entikong. Berkat bantuan dua petugas Konjen yang akan kembali ke tanah air, perjalanan pulang menuju kebebasan menjadi lebih mudah. Tanpa pemeriksaan paspor dan dokumen lain, Eny melenggang melewati perbatasan. Kondisi itu jauh berbeda dari saat ia masuk ke Malaysia setahun lalu.

Eny terpaksa bekerja di Kuching karena himpitan ekonomi. Tawaran bekerja di kota itu dengan gaji tinggi langsung disambarnya tanpa perhitungan matang. Tekadnya membuatnya gelap mata. Berangkat bekerja ke Malaysia apa pun caranya. Kepolosan Eny dimanfaatkan agen penyalur tenaga kerja illegal. Gadis itu diseberangkan ke negara tetangga untuk bekerja, hanya menggunakan pas lintas batas.

"Kalau paspor kan hijau, tapi yang saya pakai itu merah," ujar Eny di beranda asrama penampungan korban trafficking Pemberdayaan Ekonomi Kerakyatan Pancur Kasih, Pontianak, Kalimantan Barat.

Mimpi bekerja dengan upah besar perlahan tenggelam bersama hari-hari suram Eny di perantauan. Ternyata gaji yang dibayarkan majikan langsung disetorkan kepada agen pengirim TKI yang dulu memberangkatkan Eny ke Malaysia. "Saya tidak tahu berapa gaji saya selama bekerja di sana. Semua dipegang agen. Nanti kalau sudah habis kontrak baru uang itu diberikan kepada saya, kata agen itu," ujarnya.

Menurut catatan International Organization for Migration (IOM), mitra kerja PEK Pancur Kasih, 530 kasus trafficking anak menimpa warga Kalimantan Barat. Lebih dari 1.677 kasus perdagangan manusia ke Malaysia menggunakan pintu masuk Entikong. Namun Kepala Kantor IOM, Fitriana Nur, meluruskan, kasus perdagangan manusia juga terjadi di dalam negeri. "Kasus trafficking tidak hanya terjadi di luar negeri, di dalam negeri pun banyak terjadi kasus trafficking," ujarnya.

Menurut Fitriana, faktor ekonomi memang menjadi pemicu utama perdagangan manusia, terutama anak-anak. Selain itu, rendahnya pendidikan masyarakat sering dimanfaatkan calo untuk menipu para korban. "Perdagangan orang baik anak maupun perempuan yang dimanfaatkan dengan maksud tertentu merupakan trafficking. Apalagi anak usia di bawah 18 tahun. Biasanya kasus ini terjadi terutama karena kondisi ekonomi."

Dalam penampungan sementara, selain menjalani terapi pemulihan mental pascatrauma penganiyayaan, Eny bersama korban trafficking lain diajarkan berbagai keterampilan dasar mengurus rumah tangga. Diharapkan melalui pembekalan kemampuan dan kesadaran soal hak-hak pekerja ini mereka tak lagi terjebak dalam perangkap perdagangan manusia.

"Saya tidak mau lagi kerja di Malaysia.Tidak enak rasanya. Semua kerjaan saya dianggap salah dan selalu diomeli serta di pukul. Bagaimana bisa kerja dengan baik dan tenang?" kata Eny. (*)

Penulis: Tony Kusmiran
Foto: Mahasiswa Indonesia menjadi korban trafficking di Malaysia (foto Kurniawan Tri Yunanto)